“Pak, ... putri kita hamil. Ternyata semuanya tidak sesuai rencana. Ayana dan Den Atlantis kebablasan.” Batin ibu Lastri bergejolak.
Ibu Lastri merasa diam bukan hal yang seharusnya dirinya lakukan. Bahkan meski Ayana bertekad membesarkan anaknya sendiri. Meski Ayana bertekad akan menjadi orang tua tunggal tanpa berharap kepada Atlantis. Karena jangankan berharap, mengabarkan kehamilannya saja, tampaknya Ayana memang tidak akan melakukannya.
“Kabarkan ke den Atlantis. Den Atlantis berhak tahu karena dia ayahnya!” Kedua tangannya meraih kemudian mengguncang kedua tangan Ayana.
Ayana menatap tak bersemangat sang ibu. “Enggak, Bu. Aku enggak mau dimadu, atau setidaknya merusak rencana pernikahan orang.”
“Baru rencana lebih baik ketimbang kamu justru membiarkan anakmu tanpa ayah, Ayana!”
“Sekarang saja, ... kamu yang sudah sebesar ini tanpa ayah kamu. Kamu tahu rasanya ... s-sakit, banget, kan? Padal kamu sudah terbiasa ditinggal ayahmu sejak kecil buat cari uang!” Air mata ibu Lastri pecah dan tangisnya sangat pilu.
Ayana yang sempat berusaha menutup diri dari Atlantis jadi ragu. Hatinya makin ngilu karena tangis sang ibu. Tampaknya, menjadi janda dan otomatis menjadi orang tua tunggal untuknya, membuat sang ibu mengharuskan diri selalu memberikan yang terbaik kepadanya.
“Kalaupun kamu tidak mau berurusan dengan den Atlantis, ... anak kalian tetap berhak mendapatkan kasih sayang ayahnya. Boleh para orang tua bertengkar bahkan bercerai. Namun, tidak dengan anak yang tetap mendapatkan keutuhan perhatian dari kalian!”
Emosi ibu Lastri membuatnya mengungkap fakta dan sebelumnya suaminya wanti-wanti untuk tetap dijaga. Fakta tentang Atlantis yang sebenarnya turut bersama pak Supri, ketika kecelakaan terjadi.
“Sebentar ... Ibu telepon ibu Dini dulu.” Karena tidak dijelaskan secara detail, Ayana belum tahu bahwa sebenarnya, Atlantis hanya pura-pura miskin. Ibu Lastri tak berani mengabarkan kepada Ayana, takut terjadi hal fatal.
“Ibu tahu Ayana seperti apa. Jangan sampai Ayana tahu, jika itu bukan Den Atlantis yang minta. Ayah enggak mau Ayana ngamuk-ngamuk ke Den Atlantis sekeluarga ... takutnya Ayana kenapa-kenapa. Andai memang sampai kejadian, rutenya harus dari den Atlantis dulu yang mulai ajak kita buat mengungkapnya. Lagian, ... sepertinya semuanya aman-aman saja Bu. Enggak perlu ada yang dikhawatirkan. Mereka sekamar karena drama mereka belum kelar. Apalagi tuh lihat, ... si Aishar saja masih mantau dari depan.” Itulah yang dikatakan pak Supri di malam ibu Lastri mempermasalahkan kebersamaan Ayana dan Atlantis. Ketika Ayana dan Atlantis tidur satu kamar, di malam yang memang menjadi malam pengantin kedua sejoli itu.
Dan kini, kekhawatiran ibu Lastri sungguh terbukti. Tidur satu kamar yang sempat dirinya permasalahkan, sungguh menjadi alasan putrinya hamil anak Atlantis.
“Kalau keadaannya sudah begini, tentu aku harus mengabari Den Atlantis. Aku harus mengabarinya lewat ibu Dini. Terakhir, katanya Den Atlantis sudah melewati masa kritis, tapi belum bisa diajak komunikasi.” Ibu Lastri sibuk berbicara dalam hati. Ia sibuk dengan pemikirannya sendiri, dan memang belum mau membagikannya kepada Ayana, meski Ayana sudah menanyakannya.
“Sebentar, ... Ibu mau tanya ke Ibu Dini dulu.” Sekali lagi ibu Lastri pamit.
Sambil melangkah meninggalkan kamar Ayana, ibu Lastri menyeka asal air matanya.
“Ternyata mas Atlantis juga ikut kecelakaan dan sempat kritis ...?” lirih Ayana.
Ayana bermaksud sang ibu. Namun wanita itu sampai mengunci kamarnya dari luar, sesaat setelah mengambil kunci yang terpasang di lubang kunci bagian dalam pintu.
“Kenapa sampai dikunci?” Ayana merasa bahwa ulah sang ibu terbilang janggal.
Sempat terdiam membeku di belakang pintu yang handle pintunya sudah berhasil ia pegang. Ayana mencoba berpikir jernih. Sebab selama ini, ibunya memang begitu. Ibunya tipikal yang terbiasa menganggap hal sepele menjadi masalah yang sangat besar. Bahasa kekiniannya, ibu Lastri, termasuk dalam tipikal orang rempong. Lain dengan sang ayah yang meski diam, pasti sudah paham strategi berikut cara mengatasi segala sesuatunya.
“Sebenarnya apa yang ibu katakan memang benar. Lebih baik membuat rencana pernikahan mas Atlantis gagal, dan anakku jadi dapat kasih sayang sekaligus peran ayah. Aku yang sudah sebesar ini saja, sangat terluka, dan tetap berat jika harus melanjutkan hidup tanpa ayah.”
“Setelah menikah dan punya anak pun, aku tetap bisa kerja ke perusahaan atau malah bikin usaha biar sekolahku enggak sia-sia. Aku dan mas Atlantis tetap kompak sama-sama kerja.”
Tiba-tiba saja, apa yang Ayana bayangkan terasa begitu indah. Ayana yang jadi gelisah, pada akhirnya terbuai dan berubah pikiran.
“Iya ... gitu saja. Aku harus menghubungi mas Atlantis dan mengabarkan semua ini. Dari kehamilanku, juga planning hubungan kami.”
Keputusan yang Ayana buat, membuatnya mendadak bersemangat. Dunia Ayana yang sempat terasa kelabu karena kematian sang ayah, menjadi mulai agak berwarna karena rencana barunya. Iya, mengabari Atlantis dan menjalani pernikahan dengan pria itu sesuai rencana Ayana. Dirasa Ayana, harusnya mereka masih bisa hidup layak.
“Kok Ibu lama banget ya. Mana kepalaku pusing lagi.” Terpaksa, Ayana kembali ke tempat tidur, kemudian meringkuk di sana.
Ayana masih menunggu sang ibu yang entah kenapa, tak kunjung kembali. Sudah mengunci kamarnya dari luar, tetapi tak kunjung kembali—Ayana yang sempat berpikir jernih, jadi mengakhirinya. Ia beranjak duduk dan kembali memakai sandal swallow warna merahnya.
“Sebentar ... ini ... ah iya. Bukankah ibu Dini itu, nama istrinya bos ayah, ya? Jadi, maksudnya ... ibu lagi telepon istri bos ayah?”
“Dan, ... setelah aku ingat-ingat ... kok baik ibu apalagi ayah, selalu panggil mas Atlantis den? Den Atlantis ...? Den itu, sebutan semacam jabatan dan posisi mas Atlantis apa gimana? Soalnya yang aku tahu dari KTP mas Atlantis. Nama lengkapnya itu Atlantis Samudra Wijayanto.”
“Ngapain juga orang tuaku panggil mantan suami dadakanku dengan panggilan den Atlantis?”
“Andai masih bagian dari sandiwara buatan ayah, dan orang tuaku manggil mas Atlantis gitu. Masa iya kebablasan sampai sekarang.”
“Apa jangan-jangan, mas Atlantis memang orang kaya?”
Ayana yang jadi menyikapi identitas mantan suami dadakannya dengan serius, segera memaksa dirinya untuk beranjak dari sana.
Di tengah kepalanya yang terasa pusing sekaligus berat, Ayana menggedor pintu dan berseru, meminta sang ibu untuk segera membuka pintunya. Tak butuh lama dari usaha Ayana, pintu kamarnya dibuka dari luar. Gerakan dibukanya kunci, dirasa Ayana sangat tak bersemangat. Kunci sampai tak kunjung berhasil dibuka.
Wajah ibu Lastri yang ketika kepergiannya meninggalkan Ayana sangat emosional, kini tertekuk dan perlahan menunduk.
“Bu, ... gimana? Gimana kabar mas Atlantis?” sergah Ayana tak sabar kepada sang ibu yang malah jadi loyo. Seolah, ada rasa sakit bahkan luka mendalam yang tengah ibu Lastri tahan.
“Den Atlantis sudah meninggal, Ayana. Lupakan dia.”
“Sekarang semuanya seperti rencana kamu saja. Kamu jadi orang tua tunggal. Atau ....”
“B—Bu....”
“Atau gugurkan saja janin itu. Kamu masih muda, dan masa depanmu masih panjang.”
Ucapan terakhir yang ibu Lastri sampaikan membuat d**a Ayana terasa begitu kebas, sakit sekali. Menggugurkan janinnya demi masa depannya yang masih panjang? Ayana sungguh tidak berpikir sejauh itu.
“Jahat sekali andai aku sampai menggugurkan janin ini. Dia enggak bersalah karena saat itu saja, mas Atlantis langsung mau tanggung jawab. Saat itu mas Atlantis enggak mau menceraikan aku. Namun sekarang, ... sekarang orangnya sudah meninggal. M—Mas ... ya Allah Mas, ... kenapa orang sebaik kamu harus meninggal secepat ini?” Batin Ayana amat sangat terluka. Bibirnya memang bungkam,tetapi tidak dengan air matanya yang tidak bisa berbohong.
Dalam diamnya, kedua mata ibu Lastri jadi kerap mengawasi gerak sang putri. Di hadapannya, Ayana yang biasa sangat tegar, lagi-lagi terduduk lemas di lantai. Air mata Ayana terus berlinang dan Ayana tampak sangat terpuruk. Tak kalah menyedihkan dari ketika putrinya itu harus dihadapkan pada fakta kematian sang ayah.
“Ayana ... maaf. Kamu masih punya aku,” ucap Aishar yang entah sejak kapan sudah ada di belakang ibu Lastri.
“Aku janji akan menjadi ayah yang baik untuk calon anakmu!” lanjut Ridwan yang membuat ibu Lastri menatapnya penuh keterkejutan.
Dari cara ibu Lastri menatap Aishar, Ayana merasa bahwa ibunya itu juga tidak tahu menahu bahwa mantan kekasih Ayana, ada bersama mereka.