11. Hamil

1067 Kata
“Makan. Jangan enggak makan!” “Mau kamu enggak makan sampai busung lapar, ayahmu enggak akan kembali, Ay!” “Malahan andai ayahmu sampai bangkit dari kubur, tentu itu sudah bukan ayah kamu lagi!” Begitulah ibu Lastri. Tidak ada lembut-lembutnya. Ucapannya begitu ketus, sekalinya wanita pendiam itu bersuara. Kondisi yang memang sudah Ayana sadari menjadi watak sang ibu. Faktor lingkungan sekaligus kehidupan mereka yang keras menjadi alasan kuat kenapa ibu Lastri kerap terkesan tak punya hati. Alasan yang juga membuat Ayana jauh lebih dekat sekaligus lebih membutuhkan sang ayah. Lirikan tajam sang ibu masih Ayana dapatkan. Makanan di meja dapur yang baru wanita itu suguhkan, tetap ia diamkan. Ayana tetap tidak berselera makan. Sebab ditinggal ayahnya membuat kehidupan Ayana seolah berhenti berputar. Seolah lelah pada Ayana yang tetap terpuruk karena kepergian ayahnya, ibu Lastri berlalu sambil menghela napas pelan sekaligus dalam. “Kehidupanku jadi sunyi, hampa, hambar. Walau ayah terbiasa meninggalkanku untuk bekerja di Jakarta. Kenyataan bahwa ayah sudah tiada, membuat luka ini menangis meronta-ronta di dalam d**a,” batin Ayana. Melalui ekor lirikannya, Ayana memperhatikan sang ibu. Ibunya baru saja duduk di bibir pintu. Tatapan ibu Lastri kosong menatap langit siang ini yang tetap saja kelabu. Semesta alam seolah sedang menemani kesedihan mereka. “Mmm!” Keputusan Ayana memakan nasi dan ikan gurame goreng yang ibunya siapkan, justru membuatnya kembali mual. Ibu Lastri terbengong-bengong melepas kepergian Ayana yang lari masuk ke dalam kamar mandi lagi. “Tahu-tahu punya riwayat tipes, lambung selalu bermasalah. Lah kok ... hah, ... Ayana!” batin ibu Lastri yang kemudian beranjak dari duduknya. Ibu Lastri masuk ke ruang rumah bagian dalam. Ia mengambil obat lambung dari dompet berisi stok obat miliknya. “Hm ... kok separah ini?” batin Ayana. Lambung bahkan tenggorokannya sungguh menolak nasi dan ikan yang ia makan. “Sering makan, tapi porsi dikit, Ay.” Ibu Lastri masih cerewet pada anaknya yang bolak balik ke kamar mandi hanya untuk muntah-muntah. Setelah terus berusaha tetap makan, meski yang ada tetap kembali muntah. Ibu Lastri refleks histeris lantaran sang putri justru jatuh pingsan. * “Pak Supri sudah meninggal, Bu.” Aishar mengabarkannya kepada sang ibu yang sampai detik ini masih ditahan di penjara. Mendengar kabar tersebut, ibu Sharmila langsung tersenyum puas. “Sudah mau tiga minggu, Bu. Karena jadi korban kecelakaan beruntun. Pak Supri kan ternyata masih jadi sopir di Jakarta.” “Lah ... katanya menantunya kaya raya, kok masih jadi sopir? Lawak bener!” “Ya kan kita tahu, alm. pak Supri orangnya enggak mau ngerepotin.” “Ya setidaknya kan menantunya—” “Ya beda cerita Bu. Mungkin andai Ibu yang mertuanya, mikirnya tinggal terima jatah dari menantu kaya. Alm. kan beda,” ucap Aishar sengaja memotong ucapan sang ibu yang juga sudah langsung membuat ibu Sharmila bungkam. Kemudian, Aishar juga mengabarkan bahwa Atlantis seharusnya benar-benar kaya. Bukti pesta dan juga sampai ada panjat pinang sudah sangat cukup menjadi acuannya. “Anehnya selama ini, dia belum ke sini. Padahal mertuanya meninggal. Sesibuk apa pun dia, harusnya dia datang meski sehari kan Bu.” Detik itu juga, ibu Sharmila jadi melirik sinis putranya. “Andai Ayana sampai jadi jandes, jangan harap restuku akan turun buat kalian, ya!” “B—Bu!” “Mending kamu enggak pernah menikah, daripada kamu dapat wanita miskin seperti Ayana!” marah ibu Sharmila yang kemudian berkata, “Sudah miskin, banyak tingkah, enggak banget pokoknya!” Di tempat berbeda, mantri yang dipanggilkan untuk mengecek kesehatan Ayana, mengabarkan. Bahwa alasan kesehatan Ayana drop, karena Ayana sedang hamil muda. Para tetangga yang membantu ibu Lastri mengurus Ayana, tentu bersuka cita mendengarnya. Apalagi mereka tahu, selain sudah menikah. Suami Ayana yaitu Atlantis, kaya raya. Namun, ibu Lastri yang tahu bahwa pernikahan Ayana dan Atlantis tak lebih dari formalitas, langsung ketakutan. “Itu anak den Atlantis?” sergah ibu Lastri penasaran. Ibu Lastri sengaja duduk di hadapan Ayan, di pinggir tempat tidur putrinya meringkuk lemah. Suasana rumah sudah sepi, dan memang sudah tidak ada tetangga yang terjaga di sana lagi. “Hah? A–anak Den Atlantis? Maksud Ibu, apa?” Suara Ayana tercekat. Dirinya yang merasa tak karuan, makin tak karuan karena ucapan sang ibu yang terdengar sangat ambigu di telinganya. Ibu Lastri yang masih menyikapi Ayana penuh keseriusan, mengangguk dua kali. “Mantri yang memeriksa kamu bilang, kamu lagi hamil. Makanya Ibu tanya, itu anaknya Den Atlantis?” Ketakutan yang dirinya rasakan, membuat nada bicaranya terdengar menginterupsi, bahkan di telinganya sendiri. “Hah? A–aku, ... aku hamil?” lirih Ayana. Hamil sungguh tidak pernah ada dalam kamus hidup Ayana. Bahkan meski Ayana sadar, di malam itu, dirinya dan Atlantis memang sempat melakukannya. Masalahnya, masa iya, hanya melakukan sekali, bisa langsung hamil? “Sepertinya saat itu, aku sedang masa subur,” gumam Ayana dalam hatinya. “Ay-ya-na!” ucap ibu Lastri menagih balasan Ayana. “I-ya, Bu. Malam itu, setelah minum teh manis atau liang teh dan rasanya sangat aneh, ... enggak tahu kenapa, rasanya pengar dan kami sama-sama enggak bisa mengontrol diri. Kami pikir, memang ada yang sengaja menaruh sesuatu di minuman kami,” sesal Ayana yang menunduk penuh kesedihan. “Ya ampun, Ayana ...!” lemah ibu Lastri. Tubuhnya berakhir merosot dan terduduk di lantai. Hatinya hancur. Air matanya yang jatuh membasahi pipi tak kuasa menyembunyikan kehancurannya. “Maafkan aku, Bu. Sebisa mungkin, aku tidak akan merepotkan Ibu. Aku akan merawat anak ini sendiri,” lemah Ayana bersama air matanya yang berlinang. Dengan sendirinya, tatapannya turun mengawasi perutnya yang nasih rata. Sungguh di luar dugaan, kini di dalam perutnya ada benih suami dadakannya. “Terus, ini harus gimana? Haruskah aku mengabari ibu Dini? Ah ... tidak ... tidak. Aku ... aku harus mengabari den Atlantis!” pikir ibu Lastri yang jadi mondar-mandir di sekitar Ayana. “Tolong jangan kabari mas Atlantis Bu. Aku enggak mau dipoligami. Aku juga enggak mau jadi alasan wanita lain gagal menikah. Insya Allah, Allah akan kasih rezeki agar aku bisa membesarkan sekaligus menghidupi anak ini dengan layak.” Ayana mantap dengan keputusannya. Ia tak mau berurusan lagi dengan Atlantis, bahkan meski janin yang bersarang di rahimnya, merupakan benih mantan suami dadakannya itu. Mendengar permintaan putrinya, dunia ibu Lastri seolah berhenti berputar. “Kenapa jadi begini?” isaknya seiring kedua tangannya yang jadi sibuk menjambak kepalanya. Lagi-lagi tubuhnya merosot dan berakhir terduduk di lantai. Dalam hatinya, ia berujar. Andai suaminya masih ada. Andai suaminya masih hidup, pasti rasanya tak seberat sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN