Berulang kali air mata bahkan tubuh Ayana terjatuh. Berulang kali Ayana menolak kenyataan yang tak hentinya membuat hidupnya dililit kesedihan sekaligus luka tak berkesudahan.
Perjalanan dari Bandung ke Jakarta, Ayana tempuh bersama sang ibu menggunakan taksi online. Sungguh, kabar kecelakaan beruntun yang menjadikan pak Supri sebagai salah satu korban, telah menghancurkan kedua wanita itu.
“Ayana ... Ayana, kuat, Ayana!” sergah ibu Lastri lantaran putrinya sudah langsung terduduk loyo di lantai, ketika mereka sampai di ruang jenazah korban kecelakaan.
Sebagian nyawa Ayana sungguh meninggalkannya, bersama pandangannya yang dihiasi brankar mayat di hadapannya. Di antara sederet tubuh kaku di brankar mayat dan tertutup kain putih, merupakan pak Supri. Ayah yang selama ini selalu memberikan yang terbaik untuk Ayana. Ayah yang juga akan menjadi garda terdepan untuk Ayana. Bahkan ketimbang ibu Lastri yang merupakan ibu dari Ayana, pak Supri memang jauh lebih dekat dengan Ayana.
“Ayah ... kenapa begini? Kenapa begitu tiba-tiba?” Dalam hatinya, Ayana yang tak lag bisa bersuara, meronta-ronta.
Ayana sangat menyesal karena selain dirinya belum bisa membahagiakan sang ayah. Sekadar kata perpisahan terakhir mereka saja, tidak ada. Terakhir, sebelum ke Jakarta bersama Atlantis, pak Supri hanya berpesan agar Ayana bahagia tanpa mendengarkan cibiran orang tentang Ayana. Sambil tetap memeluk Ayana di kamar Ayana, pak Supri juga meminta Ayana untuk belajar mengontrol amarahnya. Seolah, pesan-pesan yang biasanya tidak pernah sampai dibubuhi kalimat bahwa pak Supri sangat menyayangi Ayana itu, memang menjadi pesan terakhir pria itu.
“Sesakit ini ya Allah ... kenapa harus ayah? Kenapa bukan mereka-mereka yang jahat saja? Ayahku orang yang sangat baik ya Allah! Kenapa harus secepat ini! Aku masih sangat butuh ayah! Aku belum bikin Ayah bangga!” Sepanjang perjalanan di ambulans, Ayana terus mendekap tubuh jenazah sang ayah.
Tubuh pria yang telah menjadi panutan Ayana itu benar-benar tak lagi merespons Ayana. Bahkan meski air mata Ayana tak hentinya berjatuhan, dan Ayana berulang kali memanggilnya dalam diam.
“Bu, kenapa begini, Bu?”
Pertanyaan Ayana yang terdengar layaknya orang linglung, makin membuat hati ibu Lastri hancur.
Ibu Lastri yang jongkok di bawah brankar, berakhir terduduk loyo. Ia tetap menunduk, sementara kedua tangannya berpegangan pada brankar. Tak lama setelah itu, ibu Lastri teringat obrolannya dengan keluarga Atlantis. Mereka yang sedang berduka karena Atlantis saja masih kritis, membantu ibu Lastri sekeluarga.
“Semua biaya pemakaman termasuk transportasi, kami yang tanggung. Tolong makamkan pak Supri dengan layak yah, Bu. Setelah dimakamkan, acara tahlilan dan segalanya juga wajib digelar.” Berderai air mata, ibu Dini yang menemui ibu Lastri secara pribadi, mengabarkannya.
Bukan hanya biaya kematian pak Supri yang ditanggung keluarga Atlantis. Karena ibu Lastri juga akan tetap mendapatkan gaji pak Supri, setiap bulannya dalam jumlah utuh.
“Pak Supri orang yang sangat baik. Saya sekeluarga sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Jadi, jangan sampai kita putus silaturahmi ya Bu. Ibu harus selalu mengabari, jaga kesehatan. Sering-sering main ke sini.”
Terlepas dari semua bela sungkawa sekaligus perhatian ibu Dini sekeluarga. Dalam diamnya, bahkan hingga kini, ibu Lastri penasaran. Apa yang kiranya terjadi, andai ibu Dini sekeluarga yang tak segan merangkulnya maupun Ayana tahu. Bahwa Ayana merupakan mantan menantu mereka? Biar bagaimanapun, Ayana dan Atlantis, pernah menikah, kan?
“Sampai sekarang Ayana belum tahu, bahwa den Atlantis benar-benar bos ayahnya. Ayana juga tidak tahu, bahwa Atlantis ada bersama ayahnya ketika kecelakaan. Atlantis masih kritis,” gumam ibu Lastri dalam hatinya.
*
“Suami Ayana yang kaya raya, mana? Masa mertua meninggal, dia enggak ada?”
“Iya, ... dari tadi memang belum kelihatan. Padahal ini sudah beres dikebumikan!”
Obrolan tersebut, Ayana dan sang ibu dengar dengan samar. Pemakaman pak Supri sungguh sudah usai. Rumah orang tua Ayana yang sebelumnya baru menggelar pesta besar-besaran, kini justru dihiasi bendera kuning. Pesta dan sorak bahagia digantikan dengan sunyi yang sangat menyiksa. Dan kehadiran Atlantis, menjadi satu-satunya yang dipermasalahkan oleh tetangga.
Perjalanan pemboyongan jenazah dari Jakarta ke kampung halaman yang dilakukan tengah malam, memang baru sampai keesokan harinya. Sekitar pukul sebelas siang, dan langsung diurus untuk dimakamkan. Kebetulan, tetangga yang dihubungi sudah langsung menyiapkan semuanya. Kini saja, mereka kembali rewang untuk mengurus acara tahlilan dan juga beberapa tradisi kematian di sana.
“Eh ... dasternya. Itu daster acara kemarin, kan?” batin Ayana.
Tak sengaja melihat daster yang menjadi hadiah panjat pinang, kompak dipakai ibu-ibu yang rewang, hati Ayana langsung ngilu. Ayana ingat Atlantis, dan mendadak pria itu ada di sisinya. Entah kenapa, Ayana berpikir, dirinya akan merasa lebih baik, jika mantan suami dadakannya itu bersamanya.
Melangkah loyo dan mengurung diri di dalam kamar, keputusan Ayana tersebut malah membuatnya menyaksikan jejak kehadiran Atlantis di sana.
Atlantis yang memiliki kepribadian menyenangkan, rame, dan akan langsung menjadi garda terdepan Ayana.
“Harusnya, bukan perceraian yang menjadi akhir dari hubungan kita, Ay!” ucap Atlantis berkaca-kaca menatap Ayana, tak lama setelah pria itu memberikan talak yang Ayana minta. Talak yang sejak awal sudah disepakati menjadi akhir dari hubungan mereka.
“Iya ... kenapa harus bercerai ya, Mas? Kenapa kita harus bercerai?” Ayana tidak tahu, kenapa empat hari lalu, dirinya tidak berpikir lebih realistis.
“Mas Atlantis enggak mau cerai, dan aku pun merasa nyaman ke dia. Namun ... ah iya, ... dia akan menikah.”
“Ya sudah lupakan. Ngeri juga kalau aku sampai dipoligami!”
Yang Ayana takutkan dari pernikahannya dan Atlantis, andai Ayana nekat melanjutkan hubungan mereka. Bukan karena Ayana takut hidup miskin dan harus memiliki ipar berlusin-lusin layaknya kabar dari sang ayah. Yang Ayana khawatirkan, murni dirinya yang tak mau dipoligami. Karena Atlantis akan menikahi calon istri yang harus Atlantis nikahi, sebelum Atlantis justru menjadi suami dadakan Ayana.
***
Dua minggu berlalu dari kematian pak Supri, Ayana terbangun dengan rasa mual yang begitu kuat. Ayana lari kencang untuk sampai kamar mandi di rumahnya yang memang bersebelahan dengan dapur.
“Ayana, kamu kenapa? Kamu salah makan?” sergah ibu Lastri segera menyusul sang putri. Ia melakukannya sambil menggelung tinggi rambut sepunggungnya.
Terdengar suara Ayana yang masih mual-mual parah. Ibu Lastri yang sempat memijat-mijat tengkuk Ayana, segera kembali ke kamarnya untuk mengambil minyak kayu putih.
Di tempat berbeda. Di ruang ICU dirinya ditangani, Atlantis masih menjalani pengobatan secara intensif. Kedua mata Atlantis masih terpejam. Leher masih memakai gips, dan tubuhnya penuh alat bantu medis.
Jemari tangan Atlantis mulai bergerak-gerak meski kedua matanya tetap tertutup rapat.