9. Kabar Mencengangkan

1041 Kata
“Ayana Ayunda ... s—saya ... talak, kamu!” ucap Atlantis subuh tadi amat sangat berat. Suaranya tercekat, sementara dadanya yang bergemuruh, terasa begitu sesak. Rasa sesak dan juga berat, yang terasa hingga sekarang. Meski adegan talak yang Atlantis lakukan, sudah berlalu tiga jam lamanya. Sepanjang tiga jam itu dan Atlantis jalani dengan duduk diam di tempat duduk penumpang, pikiran Atlantis amat sangat kacau. Pak Supri sampai menegur, menanyakan kesehatan Atlantis. Terlebih, wajah Atlantis sampai pucat sekaligus berkeringat. “Hm ... ini aku merasa bersalah banget. Bukan hanya ke ... Rania, tapi juga ... tapi juga Ayana. Ayana ....” Dalam hatinya, seorang Atlantis, si pembasmi kejulidan, merasa sangat putus asa. Kondisi yang juga menjadi alasannya ambruk, sesampainya dirinya tiba di Jakarta. Dua hari berlalu dari kepulangannya, Atlantis sengaja beristirahat sekaligus mengurung diri di kamar. Wanita cantik bernama Riana dan tak lain calon istrinya, sudah berulang kali menghubunginya. Ponsel Atlantis makin berisik, termasuk ketika sang mama membawa wanita itu masuk ke dalam kamarnya. “Aku hanya sedang tidak enak badan,” ucap Atlantis masih bermalas-malasan. Ia menatap berat, Riana yang masih sibuk menghubunginya melalui sambungan telepon suara. “Sayang, ... jangan gitu dong. Riana kan kangen. Riana khawatir banget ke kamu.” Ibu Dini berusaha menjadi penengah. Wanita berhijab panjang biru toska itu bermaksud membuka gorden maupun jendela kamar di Atlantis. Namun, Atlantis melarangnya. “Jangan buka lah Ma. Aku enggak mau cahaya berlebihan di dalam kamarku.” “Sayang, ... kamarmu ini sudah rasa kutub utara. AC sedingin ini, pantas saja tubuh bahkan darah kamu beku.” Ibu Dini meyakinkan. “Gimana? Masih hidup kamu, Dek. Pulang-pulang, dua hari dua malam terus di kamar. Barusan, pak Supri Mas suruh buat cari tukang rukiah. Takutnya kamu kesambet!" komentar pria yang dari segi wajah, bahkan tubuh, sangat mirip Atlantis. Pria yang tak lain merupakan kembaran sekaligus kakak Atlantis. “Mas Tata ...,” ucap Atlantis lemah pada sang kembaran yang membopong bayi laki-laki di depan dadanya. Mendengar nama pak Supri disebut, Atlantis jadi memiliki keinginan untuk mencari tahu tentang Ayana. * “Pak, ... Ayana apa kabar?” tanya Atlantis, satu jam setelah dirinya dipaksa bangun, meninggalkan kamarnya yang kemudian langsung dibersihkan oleh dua orang ART. Pak Supri yang berdiri santun di depan Lexus hitam milik Atlantis, refleks mengernyit. Ia berangsur menengadah, menatap Atlantis yang memang bertubuh jauh lebih tinggi, darinya. Di hadapannya, Atlantis terdiam menunggu balasan darinya. “Aku kepikiran terus. Sepertinya, aku kangen. Andai punya nomor hapenya. Bagi nomor hape Ayana dong Pak!” ucap Atlantis yang hanya berani mengabarkannya di dalam hati. Alih-alih menjawab, pak Supri justru jadi gelisah. Pak Supri juga jadi tidak berani menatap anak majikan yang sempat dirinya mintai tolong untuk menikahi Ayana, sang putri. “Sayang, ... ih kamu jadi aneh banget sih? Kamu lagi ngapain? Mau ke mana? Ayo makan siang. Aku sudah masak sama mama kamu, spesial buat kamu!” ucap Riana. Wanita yang memakai pashmina merah muda itu melangkah buru-buru menghampiri Atlantis. Di tengah terik matahari yang sedang cetar-cetarnya, Riana keluar dari kediaman orang tua Atlantis. Riana rela membiarkan tubuhnya kepanasan hanya untuk menghampiri calon suaminya. Diam-diam, kedatangan Riana justru membuat pak Supri maupun Atlantis dilema. Pak Supir makin menundukkan wajah, dan tetap berdiri di depan mobil Atlantis yang diparkir di sebelah gerbang rumah. Setiap apa yang Riana lakukan, menjadi mirip adegan slow motion di mata seorang Atlantis. Atlantis menatap calon istrinya penuh beban. Beban yang seolah memenuhi kedua pundaknya. Tatapan yang jadi sangat berbeda, sebelum dirinya mengenal Ayana. “Rasanya jadi hampa, ... benar-benar menyiksa. * “Jangan mengembalikan semua perhiasan itu. Semua itu tetap milikmu. Terserah kamu mau pakai apa jual. Itu hakmu," ucap Atlantis yang jadi terngiang-ngiang oleh Ayana, bertepatan dengan dirinya yang tak sengaja mendapati dompet bunga-bunga berukuran cukup besar di ransel jinjingnya. Ayana sudah sampai Bandung. Ia langsung tinggal di salah satu kontrakan sederhana. Walau merasa lelah dan memang agak mabuk kendaraan, Ayana tetap membereskan barang-barangnya. Ketika dirinya bertugas menyusun pakaian. Di dapur, sang ibu tengah menyusun makanan dan barang-barang pengisi dapur, yang mereka bawa dari kampung. “Ini ... perhiasan dari mas Atlantis,” batin Ayana lemah. Keputusannya mbuka dompet tersebut, membuat kedua matanya berkaca-kaca. Perhiasan pemberian Atlantis yang jumlahnya memang sangat banyak, ada di dalam dompet tersebut. Tak ada satu pun perhiasan yang Ayana pakai. Ayana dilema, merasa tak berhak memakainya. “Aku simpan saja. Mana tahu, nanti kami kembali bertemu. Di kesempatan itu, aku akan mengembalikannya lagi," pikir Ayana yang tiba-tiba saja teringat betapa menyenangkannya seorang Atlantis. Ayana yang duduk sila di lantai depan lemari plastik dirinya menyusun pakaian miliknya maupun sang ibu, refleks nyengir. Ayana teringat ketika Atlantis mengatakan, bahwa wanita yang leher, kedua tangan, dan juga kedua kakinya sakit karena memakai banyak perhiasan. Jauh lebih mulia dari mereka yang terkena tipes setelah kekurangan gizi dan menahan sakit hati. “Bukan hanya itu. Dia juga selalu membelaku. Mas Atlantis selalu pasang badan di setiap ada yang berusaha melukaiku.” “Jadi baper ... kangen.” “Ya iya ... wanita mana yang enggak baper, kalau diperlakukan seperti yang aku terima dari beliau, kemarin itu?” “Sudah Mas Atlantis sangat romantis. Beliau juga sangat good looking!” Tak beda dengan Atlantis. Sebenarnya, Ayana juga kangen Atlantis. Ayana terus kepikiran, dan makin yakin, bahwa malam itu, baik dirinya maupun Atlantis, salah konsumi. Hingga baik dirinya maupun Atlantis, jadi sama-sama b*******h sekaligus sulit mengontrol diri. * Satu minggu kemudian, “Braggggg!” Mobil Lexus hitam yang dikemudikan pak Supri, dan menjadikan Atlantis sebagai satu-satunya penumpang, ditabrak dari belakang. Kecelakaan beruntun tak bisa terelakkan. Di jalan tol tersebut, bukan hanya mereka yang menjadi korban. Karena pengemudi lain juga menjadi korbannya. Baik Pak Supri maupun Atlantis langsung tak sadarkan diri. Dari kepala keduanya sama-sama dihiasi linangan darah segar. Atlantis meringkuk di tempat duduk. Sementara pak Supri dalam posisi kepala menyandar pada kemudi. Kabar kecelakaan pak Supri sudah langsung sampai ke Ayana. Ayana yang baru pulang kerja, langsung tercengang karenanya. Di tengah langit Bandung yang sedang gelap-gelapnya. Karena selain sudah petang, memang sedang mendung dan mulai gerimis, tubuh semampai Ayana terhuyung hingga berakhir ambruk. “Korban atas nama pak Supri, sudah meninggal dunia....” Kabar yang masih berlangsung membuat langit kehidupan seorang Ayana runtuh bahkan remuk. Kabar yang tentu tidak pernah ada dalam kamus kehidupan Ayana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN