Laura hanya diam ketika orang-orang salon mulai mendadani dirinya dan bahkan membersihkan tubuhnya. Mulai dari rambut, kuku, dan sampai ke hal ketiak. Laura ingin menolak. Tapi mereka tidak mendengar penolakan dari Laura. Mereka mengatakan kalau semua yang diperintahkan oleh Regan yang akan di dengar oleh mereka.
Laura tersenyum tipis. Pasti mereka hanya mendengarkan Regan, lagian Regan yang membayar mereka bukan Laura. Tentu saja mereka akan lebih mematuhi ucapan Regan dibanding Laura yang bukan siapa-siapa di sini.
“Nona, kau tinggal memakai gaun ini.” Ucap salah satu wanita yang memperlihatkan gaun warna biru muda yang begitu cantik dengan berlian di pinggang dan juga lengan gaun itu.
Laura menjadi takut memakai gaun mahal itu. Kalau nanti sobek bagaimana? Maka dia akan menambah masalah nanti dengan Regan. Dia tidak mau semakin terjebak dengan Regan walau sekarang memang sudah terjebak dengan CEO tampan itu.
“Nona! Kau harus memakai gaunnya sekarang.” Ucap wanita itu kembali.
Laura dengan cepat mengganti dan memakai gaun itu dibantu oleh dua wanita yang berada dalam kamar. Laura tidak bisa belarang kedua wanita itu untuk membantunya dan lagi hanya perintah Regan yang mereka dengarkan. Dan tidak akan pernah mendengarkan apa yang dikatakan oleh Laura.
“Ini aku?” Tanya Laura menunjuk cermin yang ada di depannya.
Dia ragu kalau itu dirinya. Mana mungkin dia secantik itu.
“Ternyata gadis gembel yang aku temui di klub malam memang sangat cantik sekali ya.” Ucap Regan memeluk Laura dari belakang. Memperhatikan wajah cantik Laura yang begitu mempesona sekali setelah didandani dan memakai pakaian yang memang mewah dan pantas untuk dikenakan oleh Laura.
Laura menelan saliva. Kata pujian sekaligus hinaan itu ntah kenapa membuat dirinya merasa senang dan percaya diri kalau dia memang cantik. Laura memang cantik.
“Kau siap menemui calon mertuamu? Kau harus bersikap baik pada ibuku, Laura. Dia wanita yang tidak suka dengan wanita pembangkang dan bersikap keras. Dan patuhi apa yang dia katakan. Kau mengerti bukan?” Tanya Regan pada Laura.
Laura mengangguk, dan menatap pada mata Regan yang tertuju pada belahan dadanya. Lelaki itu bisa melihat belahan d**a Laura. Membuat Laura menutupi dengan tangannya.
Regan menyingkirkan tangan Laura, perlahan mulai menyentuh belahan d**a Laura dan meremas lembut p******a Laura.
“Payudaramu kenyal Laura.” Bisik Regan di telinga Laura.
***
Laura berdiri terpaku di depan rumah megah bertingkat tiga dengan bercat abu-abu putih yang memancarkan kesan elegan dan modern khas Eropa. Dia merasa kecil dan tidak berarti di hadapan kemewahan itu. Rumah ini bagaikan istana yang hanya bisa ia lihat di majalah atau televisi. Tubuhnya gemetar, dan ia menelan saliva dengan gugup.
Regan, lelaki tampan yang kini berdiri di sebelahnya, melirik Laura sejenak. Dengan suara tenang namun penuh otoritas, ia berkata, "Ayo, Laura. Kita masuk."
Laura ingin sekali melangkah mundur, tetapi kontrak pernikahan yang telah ia tanda tangani beberapa hari lalu mengikatnya untuk berada di sini. Dia gadis miskin yang tidak memiliki pilihan lain saat Regan tiba-tiba menawarkan pernikahan kontrak. Awalnya, tawaran itu terdengar tidak masuk akal, tetapi kebutuhan hidup membuat Laura akhirnya menerimanya. Dan kini, ia berada di sini, di depan rumah orang tua Regan, untuk diperkenalkan sebagai calon istrinya.
Langkah Laura terasa berat. Setiap langkah seolah membawa bebannya bertambah. Dinding marmer yang dingin dan lantai yang mengkilap menyambutnya saat ia memasuki rumah itu. Aroma bunga segar bercampur wangi kayu manis samar tercium dari dalam. Di ruang tengah, seorang wanita anggun dengan gaun elegan berwarna krem duduk dengan postur sempurna di atas sofa putih. Wanita itu, Laisa—mama Regan—menoleh dengan anggun saat melihat putranya masuk, diikuti oleh Laura yang melangkah lambat seperti seorang anak kecil yang ketakutan.
"Jadi, ini wanita yang kau pilih?" tanya Laisa dengan nada dingin namun sopan, tatapannya menyisir Laura dari ujung kepala hingga ujung kaki. Matanya tajam seperti sedang menilai, membuat Laura merasa seperti barang yang sedang diperiksa kualitasnya.
"Ya, Mama," jawab Regan singkat sambil meletakkan tangannya di punggung Laura, seolah memberikan dukungan. "Namanya Laura Aphrodite. Dia akan menjadi istri saya."
Laisa mengangguk kecil, bibirnya sedikit mengerucut. "Lumayan cantik," gumamnya pelan, namun cukup keras untuk terdengar. Laura menelan ludah lagi, merasakan tatapan menusuk itu menembus dirinya.
"Silakan duduk," ujar Laisa, melirik ke sofa di seberangnya.
Laura mengangguk pelan dan dengan gerakan kaku, ia duduk di samping Regan. Tubuhnya terasa kaku seperti kayu. Tangannya ia letakkan di pangkuan, meremas-remas ujung jemarinya yang dingin. Ia hanya bisa menunduk dan memberikan senyuman tipis penuh rasa sungkan saat bertemu pandang dengan Rafles, ayah Regan, yang duduk di sebelah Laisa. Pria itu hanya mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa, tapi sorot matanya tajam, seolah membaca setiap inci dari kepribadian Laura.
"Jadi, Laura," suara Laisa memecah keheningan yang menyesakkan. "Kau berasal dari mana?"
Laura tertegun sesaat, merasa terpojok oleh pertanyaan sederhana itu. Ia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian sebelum menjawab. "Saya berasal dari desa kecil, Bu. Di pinggiran kota."
"Ah, begitu," Laisa mengangguk lagi, kali ini dengan tatapan yang sulit ditebak. "Dan pekerjaanmu apa sebelumnya?"
"Saya bekerja sebagai pelayan," jawab Laura jujur, meski ia tahu jawaban itu mungkin tidak akan memuaskan wanita di depannya.
Laisa tersenyum tipis, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Regan, yang merasakan ketegangan di udara, meraih tangan Laura secara tiba-tiba, membuat gadis itu menoleh dengan mata membesar.
"Laura akan menjadi istri yang baik," ujar Regan dengan nada tegas, seolah ingin menegaskan posisinya. "Aku memilihnya karena aku tahu dia adalah orang yang tepat untukku."
Laisa melirik ke arah tangan Regan yang menggenggam tangan Laura. Sekilas, ada sesuatu dalam tatapannya—apakah itu rasa lega atau masih ada keraguan, sulit untuk ditebak.
Laura ingin sekali berdiri dan melarikan diri dari situasi ini. Jantungnya berdetak kencang, dan kakinya terasa gatal untuk berlari ke luar. Namun, ia tahu ia tidak bisa. Kontrak itu sudah ditandatangani, dan hidupnya kini terikat pada Regan.
"Aku harap kau tahu apa yang kau lakukan, Regan," ujar Laisa akhirnya, suaranya datar namun tajam. "Menikah adalah tanggung jawab besar, terutama untuk seseorang di posisimu."
Regan mengangguk mantap. "Aku tahu, Mama. Percayalah, aku tidak akan mengecewakan keluarga ini."
Laisa menghela napas pelan sebelum akhirnya bangkit dari tempat duduknya. "Baiklah. Kalau begitu, kita lihat saja nanti." Ia menatap Laura sekali lagi, kali ini dengan sedikit senyuman di wajahnya. "Selamat datang di keluarga kami, Laura."
"Te-terima kasih, Bu," balas Laura dengan suara gemetar. Hatinya masih diliputi kegelisahan, tetapi setidaknya ada sedikit kelegaan karena ia tidak langsung ditolak mentah-mentah.
Malam itu, Laura merasa seperti seorang tawanan di dunia asing yang penuh kemewahan.