Bab 01

1240 Kata
Regantara Gaviano memijat pelipisnya dengan lelah. Ponselnya yang terus-menerus berdering sejak tadi membuat kepalanya semakin pusing. Notifikasi pesan bertumpuk dari sang mama, Laisa Gaviano, membuat Regan mendesah panjang. Isinya sama saja: permintaan mendesak agar dirinya segera menikah dan memberikan cucu. “Menikah? Apa-apaan ini?” gumam Regan sinis, membuang tubuhnya ke sandaran kursi. Bagi pria berusia 28 tahun dengan wajah tampan dan kekayaan melimpah seperti dirinya, pernikahan adalah topik yang tidak pernah sekalipun terlintas di pikirannya. Hidupnya sudah sempurna. Kesenangan yang dia dapatkan dari wanita-wanita berbeda setiap malam sudah lebih dari cukup. Tidak perlu tanggung jawab, tidak perlu drama, hanya kesenangan sesaat yang dibayar dengan sedikit uang. Namun, hari ini berbeda. Sang mama tampaknya tidak main-main. Ponselnya kembali berbunyi, kali ini sebuah panggilan masuk. Nama “Mama” terpampang jelas di layar. Regan mendesah lagi, menatap ponsel itu selama beberapa detik sebelum akhirnya menggeser layar untuk mengangkat panggilan. “Ada apa lagi, Ma?” jawab Regan malas, mencoba terdengar tenang meskipun ia sudah tahu apa yang akan dibahas. “Jangan tanya ada apa, Regan! Mama sudah kirim pesan dari tadi, tapi kamu tidak jawab sama sekali. Kamu pikir Mama bercanda?” suara lantang Laisa Gaviano terdengar memenuhi ruangan. Regan menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak, membiarkan sang mama meluapkan kekesalannya sebelum akhirnya menjawab dengan suara santai, “Ma, aku sibuk. Banyak kerjaan di kantor. Kalau cuma soal itu, kita bahas nanti saja, ya?” “Tidak bisa nanti! Kamu harus pulang sekarang juga!” potong Laisa dengan nada tegas. “Mama, aku benar-benar sibuk. Aku—” “Tidak ada alasan! Kamu CEO, kamu yang atur waktu, bukan pekerjaan yang atur kamu. Kalau kamu tidak pulang sekarang, Mama sendiri yang akan datang ke kantor kamu dan menyeret kamu pulang!” ancam Laisa dengan nada tinggi. Regan memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Ia tahu benar, mamanya tidak main-main. Jika dia menolak, ancaman itu pasti akan diwujudkan. Dan itu jauh lebih merepotkan daripada harus pulang sekarang. “Baiklah, baiklah,” jawab Regan akhirnya. “Dua jam lagi aku sampai di rumah.” “Bagus,” balas Laisa singkat sebelum menutup telepon tanpa menunggu jawaban lebih lanjut. Regan mendesah berat. Ia meletakkan ponselnya di meja, menatap layar komputer yang masih memuat laporan keuangan yang sedang ia pelajari. Kerjaan di kantornya memang banyak, tapi menghadapi mamanya selalu terasa jauh lebih melelahkan daripada pekerjaan apa pun. Dua jam kemudian, sesuai janjinya, Regan sampai di rumah besar keluarga Gaviano. Begitu memasuki ruang tamu, ia langsung disambut dengan pandangan tajam Laisa yang sudah menunggunya di sofa, mengenakan gaun mahal yang menambah aura berkuasa wanita itu. “Kamu sudah sampai. Bagus. Duduk,” perintah Laisa tanpa basa-basi. Regan hanya mengangkat bahu, melangkah santai dan duduk di sofa di hadapan mamanya. Ia menyandarkan tubuhnya, memasukkan tangan ke saku celana, dan menatap mamanya dengan ekspresi datar. “Jadi, apa yang mau Mama bicarakan sampai harus memaksa aku pulang?” tanyanya, meskipun ia sudah tahu jawabannya. “Kamu tahu apa yang Mama mau, Regan,” jawab Laisa sambil menyilangkan tangan di d**a. “Mama ingin kamu menikah. Kamu sudah 28 tahun, dan Mama tidak mau menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan cucu.” “Mama, aku masih muda. Nikah itu bukan hal yang gampang. Lagipula, aku masih sibuk dengan pekerjaan. Aku nggak punya waktu buat urusan kayak gitu,” balas Regan santai. “Sibuk? Omong kosong! Kalau kamu punya waktu untuk bersenang-senang dengan wanita-wanita itu setiap malam, kamu pasti punya waktu untuk menikah!” potong Laisa dengan nada tajam. Regan terdiam, tidak bisa membantah. Mamanya memang tahu segalanya tentang gaya hidupnya. “Mama sudah punya calon yang cocok untuk kamu,” lanjut Laisa tanpa memberi kesempatan Regan berbicara. “Dia anak teman Mama. Namanya Alya. Cantik, pintar, dan punya latar belakang keluarga yang baik. Kalian akan cocok.” Regan mengerutkan kening. “Mama bercanda? Aku nggak mau dijodohkan. Ini bukan zaman dulu, Ma.” “Ini bukan tentang zaman, Regan. Ini tentang tanggung jawab kamu sebagai anak keluarga Gaviano. Kalau kamu tidak mau memilih sendiri, biar Mama yang pilihkan. Kamu pikir semua ini untuk siapa? Untuk kamu juga!” Regan menatap mamanya dengan sorot mata tajam. "Mama benar-benar keterlaluan. Aku nggak akan pernah menikah dengan Alya atau siapa pun yang Mama pilihkan untukku. Aku nggak peduli soal perjodohan ini." Laisa Gaviano tidak langsung merespons. Wanita anggun itu hanya menatap putranya dengan tenang, menyilangkan tangan di depan d**a. Senyum tipis tersungging di bibirnya, tetapi ada aura otoritas yang kuat di sana. “Kamu pikir kamu bisa lolos dari ini, Regan? Kamu pikir Mama akan menyerah hanya karena kamu menolak? Kalau kamu tidak mau menikah dengan Alya, maka bawa calon istri pilihanmu sendiri ke sini dalam waktu seminggu,” kata Laisa dengan nada dingin. “Seminggu?!” Regan mendengkus tidak percaya, tubuhnya membungkuk ke depan, menatap mamanya dengan frustrasi. “Mama tahu nggak, ini bukan hal yang bisa diselesaikan begitu saja dalam seminggu? Aku bahkan nggak punya keinginan untuk menikah, apalagi mencari istri dalam waktu sesingkat itu.” “Itu masalahmu,” potong Laisa dengan nada dingin. “Mama tidak peduli dengan alasanmu. Kamu punya waktu seminggu, Regan. Satu minggu untuk membawa calon istri ke rumah ini. Kalau tidak, perjodohan dengan Alya akan tetap terjadi. Mama sudah bicara dengan keluarganya, dan mereka setuju. Jadi, pilihannya ada di tanganmu. Jangan salahkan Mama kalau kamu tidak bertindak.” Regan menggeram, mengepalkan tangannya dengan kuat. Ia tahu ibunya tidak main-main. Laisa Gaviano adalah wanita yang keras kepala dan tidak pernah mundur jika sudah mengambil keputusan. Namun, kali ini, Regan merasa ini terlalu berlebihan. “Mama tidak bisa memaksaku seperti ini,” katanya, mencoba terdengar tegas meskipun suara kemarahannya sedikit bergetar. “Oh, Mama bisa. Mama sudah bersabar terlalu lama, Regan. Kamu pikir gaya hidupmu selama ini tidak diketahui Mama? Setiap malam berpesta, berganti-ganti wanita tanpa memikirkan tanggung jawab. Itu semua cukup. Sekarang, waktunya kamu membuktikan bahwa kamu layak menjadi penerus keluarga Gaviano.” “Dan dengan menikah?” Regan mendengus sinis. “Itu pembuktian yang Mama inginkan? Pernikahan nggak akan mengubah apa pun, Ma.” “Cukup, Regan!” Laisa membanting gelas teh yang tadi ia pegang ke meja, suaranya menggema di ruang tamu yang megah. “Mama tidak peduli apa yang kamu pikirkan tentang pernikahan. Kamu hanya punya dua pilihan: bawa calon istri dalam seminggu, atau menikah dengan Alya. Tidak ada tawar-menawar.” Regan terdiam, rahangnya mengeras. Ia tahu percuma melawan. Mamanya tidak pernah mundur jika sudah membuat keputusan, dan ia tidak punya ruang untuk bernegosiasi. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Regan bangkit dari tempat duduknya. Ia meraih jaket yang tadi ia letakkan di sandaran kursi, lalu berjalan menuju pintu dengan langkah berat. “Kamu mau ke mana?” tanya Laisa dengan nada penuh kemenangan. “Mencari udara segar,” jawab Regan dingin, tanpa menoleh sedikit pun. *** Di dalam mobilnya, Regan memukul setir dengan kesal. Seminggu? Bagaimana ia bisa menemukan calon istri dalam waktu sesingkat itu? Ia bahkan tidak tahu harus mulai dari mana. “b******k,” gumamnya pelan, menyalakan mesin mobil dan melaju tanpa arah. Kepalanya penuh dengan pikiran, tapi tidak ada solusi yang terasa masuk akal. Regan menghabiskan waktu berjam-jam berkeliling kota, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, semakin lama ia berpikir, semakin jelas bahwa ia tidak punya jalan keluar. Tidak mungkin ia membiarkan mamanya memaksanya menikah dengan Alya. Tetapi, mencari seorang wanita yang bisa ia bawa pulang sebagai calon istri dalam waktu seminggu juga terasa seperti misi mustahil. “Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya frustrasi, menatap jalanan kota Jakarta yang dipenuhi lampu-lampu malam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN