Bab 02

1454 Kata
Tiga hari sudah berlalu sejak ultimatum yang diberikan oleh Laisa Gaviano, dan Regan masih belum menemukan jalan keluar. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya mencari solusi, tetapi tidak ada yang benar-benar berhasil. Pikirannya kacau, dan tekanan yang diberikan mamanya membuatnya merasa terjebak dalam situasi yang tidak ada ujungnya. Malam itu, seperti biasa, ia berada di salah satu klub malam di Jakarta. Bukan karena ia ingin bersenang-senang, tetapi karena ia butuh pelarian dari masalah yang terus menghantuinya. Di sampingnya duduk seorang wanita cantik dengan gaun merah mencolok, tangannya memegang segelas wine mahal yang baru saja disajikan pelayan. Wanita itu terus tersenyum menggoda, mencoba menarik perhatian Regan dengan sentuhan-sentuhan ringan di lengan dan kata-kata manis yang tidak pernah benar-benar ia dengarkan. Namun, malam ini berbeda. Regan bahkan tidak tertarik untuk bermain-main. Tidak ada keinginan untuk berbicara, apalagi menyentuh wanita itu. Pikirannya melayang, terus memikirkan bagaimana cara menemukan seorang wanita yang bersedia menikah dengannya dalam waktu singkat. Tapi bukan sekadar menikah—ia butuh seseorang yang bisa melakukannya secara kontrak. Tanpa emosi, tanpa beban, hanya sebuah perjanjian sederhana untuk memenuhi tuntutan mamanya. “Regan, kamu kenapa sih? Kok diam saja?” suara wanita di sampingnya terdengar manja. Regan hanya menatapnya sekilas, memberikan senyum tipis yang sama sekali tidak tulus. “Aku hanya sedang banyak pikiran,” jawabnya singkat, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke ruangan klub malam yang penuh dengan cahaya neon dan musik berdentum. Dan saat itulah matanya tertuju pada seorang wanita di sudut ruangan. Wanita itu bukan pengunjung. Ia seorang pelayan yang sedang mengantarkan minuman ke meja pelanggan. Rambut hitamnya diikat rapi, wajahnya polos tanpa riasan mencolok seperti wanita-wanita lain di ruangan itu. Seragam sederhana yang dikenakannya tidak mampu menyembunyikan pesona alaminya. Ada sesuatu dalam dirinya yang menarik perhatian Regan—kesederhanaan, mungkin. Atau mungkin fakta bahwa dia tampak seperti seseorang yang tidak terbiasa dengan dunia malam ini. Regan memiringkan kepalanya sedikit, memperhatikan setiap gerakan wanita itu. Lincah, cekatan, tetapi ada rasa canggung yang terlihat dari caranya berjalan, seolah dia belum sepenuhnya terbiasa dengan pekerjaannya. Bibir Regan menyeringai, pikirannya mulai menyusun rencana. “Siapa dia?” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. “Siapa?” tanya wanita di sampingnya dengan nada cemburu, mencoba mengikuti arah pandangan Regan. “Bukan urusanmu,” jawab Regan datar, lalu berdiri. Ia meninggalkan wanita itu tanpa banyak bicara, melangkah perlahan menuju sudut ruangan tempat pelayan itu berada. Wanita itu sedang membersihkan meja ketika Regan mendekatinya. Ia tidak menyadari kehadiran pria itu sampai suara berat Regan memanggilnya. “Hai,” sapa Regan santai, dengan senyum yang sudah menjadi senjata andalannya selama ini. Pelayan itu menoleh, matanya melebar sedikit saat melihat pria tampan berdiri di hadapannya. Namun, ekspresinya segera berubah menjadi waspada. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyanya sopan. Regan tertawa kecil, tangannya memasukkan ke saku celana. “Kamu baru di sini, ya? Aku belum pernah lihat kamu sebelumnya.” Wanita itu mengerutkan kening, tampak bingung dengan pendekatan tiba-tiba ini. “Iya, saya baru di sini. Tapi, maaf, kalau tidak ada keperluan, saya harus kembali bekerja.” “Tunggu,” potong Regan cepat, membuat wanita itu berhenti. “Aku hanya ingin bicara sebentar. Tidak akan lama.” Wanita itu ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Baik, Pak. Ada apa?” Regan menatapnya lekat-lekat, senyumnya melebar. “Kamu mau dapat uang 500 juta?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Pelayan itu terkejut, jelas tidak menyangka pertanyaan seperti itu. “Maaf?” “500 juta. Aku serius. Aku butuh bantuanmu,” lanjut Regan, kali ini dengan nada lebih tenang. “Aku ingin kamu menikah denganku. Tapi hanya sementara, kontrak.” Wanita itu menatap Regan seolah dia sudah gila. “Apa?” ulangnya lagi, kali ini dengan nada bingung dan sedikit marah. “Kamu dengar aku. Aku butuh seseorang untuk menjadi istriku selama satu setengah tahun saja. Ini hanya kontrak, tidak lebih. Aku akan membayarmu 500 juta sebagai imbalan. Setelah itu, kita bercerai, dan kamu bebas melakukan apa pun yang kamu mau.” Wanita itu terdiam. Kata-kata Regan jelas membuatnya bingung, tetapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya percaya bahwa pria ini benar-benar serius. “Saya tidak tahu apa yang Anda pikirkan, tapi—” “Dengar,” potong Regan, kali ini dengan nada lebih mendesak. “Aku tidak akan memaksamu, tapi aku butuh jawaban secepatnya. Ini kesempatan sekali seumur hidup, dan kamu tidak akan rugi apa-apa. Kalau kamu setuju, hidupmu akan berubah.” Wanita itu terdiam, matanya menatap Regan dengan keraguan yang jelas. Tapi di balik keraguan itu, ada sesuatu yang lain. Mungkin keinginan menerima. *** Laura Aphrodite duduk di halte tua yang hampir roboh, dengan ponsel butut tergenggam erat di tangannya. Matanya kosong menatap jalanan di depannya yang mulai lengang. Di tangannya yang lain, selembar kartu nama kecil dengan nama yang begitu mencolok: Regantara Gaviano. Ia tertawa pelan, tetapi tawa itu terdengar hambar, hampir seperti sebuah ejekan untuk dirinya sendiri. Seorang pria yang tidak ia kenal—yang tampaknya tidak hanya kaya raya tetapi juga tidak waras—baru saja menawarkan sesuatu yang tak masuk akal: 500 juta rupiah untuk menikah dengannya secara kontrak selama satu setengah tahun. “Menikah kontrak?” gumam Laura sambil tersenyum miris, mengulang kata-kata itu dalam pikirannya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mencerna kejadian aneh yang baru saja menimpanya. Tawaran itu seharusnya terasa seperti lelucon, tapi saat pria bernama Regan itu berbicara, tatapannya serius. Tidak ada keraguan dalam nada suaranya, seolah ia benar-benar yakin Laura akan menerima tawarannya. Namun, apa alasan pria itu memilihnya? Laura hanyalah seorang pelayan di klub malam, bekerja keras siang dan malam untuk menghidupi ayahnya yang sakit-sakitan. Hidupnya jauh dari kata nyaman, apalagi mewah. Ia melirik ponselnya yang sudah retak di beberapa bagian, lalu menatap kartu nama itu lagi. Nama Regantara Gaviano terpampang jelas di sana, diikuti dengan jabatan yang membuatnya semakin terkejut: CEO Gaviano Group, salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. “Ini pasti mimpi,” gumamnya, mengusap wajahnya kasar. Suara deru bus yang mendekat mengalihkan pikirannya. Laura buru-buru memasukkan kartu nama itu ke dalam saku jaketnya yang sudah usang dan bangkit berdiri. Ia naik ke dalam bus yang hampir kosong, duduk di kursi paling belakang sambil terus memikirkan tawaran itu. Setibanya di rumah, Laura mendengar keributan dari dalam. Bunyi barang-barang yang dilemparkan bergema hingga ke luar rumah kecil itu. Dengan jantung berdebar, ia segera berlari masuk. “Prang! Prang!” Suara pecahan kaca terdengar jelas saat Laura membuka pintu. Matanya langsung membelalak melihat dua orang rentenir kasar sedang memegang kerah baju ayahnya, sementara pria tua itu tampak lemas dan hampir jatuh ke lantai. “Ayah!” teriak Laura panik. Ia berlari mendekat, memeluk tubuh ayahnya yang sudah renta itu dengan erat. “Jangan sakiti ayah saya, tolong! Saya mohon!” Salah satu rentenir mendengus kasar. “Kalau mau dia selamat, lunasi hutangnya sekarang juga! Kami sudah cukup sabar.” Laura menatap mereka dengan mata berkaca-kaca. “Berapa? Berapa totalnya?” tanyanya dengan suara gemetar. “150 juta,” jawab salah satu dari mereka dingin. Laura terhenyak. Jumlah itu terasa seperti angka yang mustahil baginya. Dengan gajinya sebagai pelayan klub malam, bahkan untuk mendapatkan satu juta rupiah pun ia harus bekerja keras selama berminggu-minggu. “150 juta? Dari mana saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu?” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Salah satu rentenir mendekat, menatapnya dengan seringai yang membuat Laura semakin takut. “Itu urusanmu, Nona. Kami beri waktu dua hari. Kalau dalam dua hari uang itu tidak ada, jangan salahkan kami kalau pria tua ini akan menerima akibatnya.” Mereka mendorong ayahnya dengan kasar sebelum pergi, meninggalkan Laura yang berlutut di lantai sambil memeluk ayahnya erat-erat. Laura menangis terisak-isak, dadanya terasa sesak memikirkan nasib mereka. Ia menatap wajah ayahnya yang sudah pucat, matanya menutup karena kelelahan. “Bagaimana aku bisa menyelamatkanmu, Yah?” bisiknya pelan. Tiba-tiba, pikirannya kembali pada kartu nama yang ia simpan di saku jaketnya. Ia mengeluarkannya perlahan, menatap nama dan nomor telepon yang tertulis di sana. Tawaran Regantara Gaviano terlintas kembali di benaknya. 500 juta rupiah. Jumlah itu lebih dari cukup untuk melunasi hutang ayahnya dan memberinya kesempatan untuk memulai hidup baru. Namun, menikah dengan seorang pria asing, bahkan hanya untuk kontrak, bukanlah sesuatu yang pernah terlintas dalam pikirannya. Bagaimana jika ia terjebak dalam masalah yang lebih besar? Bagaimana jika ini hanya jebakan? Tetapi, di sisi lain, apakah ia punya pilihan lain? Laura menggenggam kartu nama itu erat-erat, air mata masih mengalir di pipinya. Di antara rasa takut dan keputusasaan, hanya satu hal yang pasti: ia harus melakukan sesuatu, dan ia tidak punya waktu untuk ragu. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya yang hampir tidak berfungsi, lalu mengetik nomor yang tertulis di kartu nama itu. Telepon berdering beberapa kali sebelum suara berat yang sangat familiar terdengar di ujung sana. “Laura Aphrodite,” suara itu terdengar dingin namun penuh keyakinan. “Jadi, kau akhirnya meneleponku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN