Jery berdiri di depan pintu kamar Hani, mengetuk pelan tetapi tegas. “Hani, temani aku makan malam.” Suara itu terdengar dalam dan hangat, tapi bagi Hani, setiap kata yang keluar dari bibir suaminya itu hanya membuat dadanya semakin berdebar aneh. Ia berdiri di tengah kamar, pandangannya berpindah-pindah antara pintu dan dirinya sendiri di cermin. Ia ragu. Hani menggigit bibir bawahnya, tangan kanannya sudah menyentuh kenop pintu, tetapi belum juga membukanya. Haruskah ia keluar? Ataukah lebih baik mengabaikan Jery saja? Selama ini, kehadiran Rania di antara mereka membuat segalanya terasa lebih… bisa diterima. Sejak awal, Hani sudah bertekad untuk tidak merusak batasan antara dirinya dan Jery. Jika harus makan bersama, harus ada Rania. Jika harus berbincang, harus ada Rania. Tapi