Istana ini memiliki banyak bangunan. Bangunan utama terletak di tengah area istana. Kediaman Radit adalah tempat yang Alena tidak sengaja datangi pada malam terkutuk itu. Sedangkan Alena ditempatkan di sayap bangunan yang bersebrangan dengan kediaman Radit. Alena menempati bangunan terkecil di istana itu namun tata ruangan yang ada di sana begitu memukau. Jika saja ia tidak menemukan kejadian mengerikan itu, Alena akan dengan senang hati menempati tempat ini.
Ini sudah beberapa hari setelah pengumuman itu diumumkan. Semua peserta sudah kembali ke tempat asalnya. Kecuali Alena, ia adalah wanita terpilih yang akan menempati posisi putri raja dalam waktu beberapa bulan ke depan. Sebelum dinikahkan dengan Radit, ia harus mengikuti beberapa pelajaran dan tatakrama sebagai seorang putri. Alena baru selesai menata semua barang-barang yang baru saja ia terima kemarin. Orangtuanya mengirimkan beberapa barang pribadi Alena ke istana karena tahu putrinya itu akan tinggal lama di dalam sini.
Melihat itu, Alena sedih.
Ini tidak seperti apa yang ia harapkan pada awalnya.
Untungnya, setelah hari pengumuman itu, Alena belum bertemu dengan Radit lagi. Itu melegakan pikirannya untuk sesaat.
Alena memutuskan untuk turun dan berjalan-jalan ke taman di depan kediamannya. Jika disbanding dengan taman utama, tamannya ini tidak ada apa-apanya. Sangat kecil. Namun ia tetap senang dapat menghirup udara bersih dikelilingi bunga yang baru bermekaran.
“Menyukai pemandangannya?”
Alena tersentak dan menoleh ke belakang. Radit berdiri di sana dengan tenang. kedua tangannya berada dalam saku celana kainnya. Pria itu tampak baru saja menghadiri acara formal karena pakaiannya yang rapi.
Alena meneguk ludahnya saat melihat pria itu.
Pria itu tersenyum hangat. “Jangan takut.”
Jangan takut? Alena hampir ingin pingsan setiap kali melihat pria monster itu.
“Aku bukan pria yang kamu lihat terakhir kali.”
Alena mengerutkan keningnya mendengar pernyataan pria itu. “Maksudnya?”
Pria itu beranjak mendekat. Meningkatkan kewaspadaan dalam diri Alena. Tanpa sadar ia mundur dan menjauh darinya namun kakinya sudah menyentuk pot bunga yang tingginya hampir selutut sehingga ia tidak bisa bergerak lebih jauh.
“Kamu harus bisa memilih waktu yang tepat untuk mendekatiku.”
Alena masih tidak mengerti.
“Jika aku terlihat seperti monster bagimu, jangan dekati aku.”
“Kamu terlihat seperti monster saat ini.” Ucap Alena kesal walaupun setelahnya ia menggigit bibir karena menyadari perkataan itu tidak pantas diucapkan pada seorang pangeran.
Radit tertawa kecil dan menurunkan badannya agar sejajar dengan Alena yang 20 centi lebih pendek darinya. “Perhatikan baik-baik. Apa aku terlihat seperti monster yang malam itu kamu lihat?”
Mau tidak mau Alena memperhatikan wajah tampan itu. Sial, kenapa Radit setampan itu? Alena mengerjapkan matanya dan focus untuk memperhatikan wajah pria itu kembali.
Benar. Pria itu terlihat sedikit berbeda di banding pria yang malam itu Alena lihat. Tidak, ini jauh lebih baik. Pria di hadapannya terlihat seperti Radit yang ia temui pertama kali. Tampan, memikat dan hangat.
“Kamu bipolar ya?” hanya itu jawaban yang Alena temukan dalam benaknya. Pria itu dapat berubah 180 derajat sangat berbeda. Bukankah itu bipolar?
Radit mengedikkan bahunya. “Anggap saja begitu.” Pria itu mengulurkan tangannya untuk mengelus pipi Alena. “Jadi, jangan dekati aku jika menurutmu bipolarku sedang kambuh. Oke?”
Alena hanya berdiri mematung. Separah apa bipolar yang dialami pria itu sehingga kepribadiannya dapat berubah sejauh itu?
Radit memegang tangan Alena. “Aku belum sempat mengajakmu berkeliling istana ini, bukan?”
Alena mengangguk. Sedikit demi sedikit rasa takutnya menurun. Hampir memudar. Pria itu tidak terlihat seperti akan melukainya. Lagipula ini masih siang dan masih banyak pelayan berkeliaran. Ia bisa berteriak meminta tolong jika Radit tiba-tiba berperilaku aneh.
Radit menuntun Alena berjalan melewati beberapa koridor istana untuk menuju ke bangunan utama.
Sebagian ruangan di Gedung utama sudah Alena datangi saat proses seleksi. Hanya beberapa yang privat yang alena belum datangi. Contohnya perpustakaan yang berada di ruangan paling kanan. “Ini perpustakaan terlengkap di istana. Kamu bisa membaca apapun di sini.”
Deretan buku tersusun rapi pada lemari besar yang menjulang tinggi di setiap dindingnya. Wangi aromatheraphy yang dipasang di setiap sudut ruangan itu membuat Alena memejamkan mata dan ikut menikmati.
Tanpa Alena sadari, Radit sedang tersenyum memperhatikannya. Tiba-tiba saja bibirnya gatal ingin menyentuh bibir wanita itu.
Alena sontak kaget dan membuka mata. Ia bertatapan dengan gelapnya kedua bola mata pria itu. Namun disisi lain mata gelap itu terlihat menyambut hangat. Kedua pipinya ditangkup oleh Radit dan bibirnya menempel semakin dalam. Pria itu mencicipi kembali kelembutan yang pernah ia rasakan.
Alena terhanyut dan membiarkan matanya terpejam kembali untuk merasakan hangatnya mulut pria itu di bibirnya. Tangan pria itu kini turun melingkari pinggang Alena. Membuat kedua tubuh mereka menempel.
Ketukan pelan di pintu memisahkan mereka berdua seketika walaupun lengan Radit masih berada di pinggangnya seolah memang disanalah seharusnya lengan itu berada. “Ada apa?” Tanya Radit pada orang yang baru saja mengetuk pintu.
“Raden mas, hari sudah hampir gelap.” Seorang pria paruh baya mengingatkan Radit seolah cowok itu tidak tahu waktu.
Radit menghela napas lalu mengangguk dan menyuruh pria itu pergi.
“Waktunya aku pergi.” Radit melepaskan lengan dari tubuh Alena. “Ingat. Jangan berkeliaran pada malam hari.”
Pria itu mengecup dahi Alena lalu pergi meninggalkannya dengan terburu-buru.
Alena berdiri kebingungan melihat punggung pria itu pergi menjauh dari hadapannya. Kekacauan apa yang sedang terjadi di hidupnya? Keluh Alena.