“RIO! Bibi minta maaf, Le. Bibi ngga bermaksud mencelakakan Papa dan Mama kalian,” tangis Bibi Arjani. Suamiku bergeming. Kedua bahunya jatuh lunglai, kepalanya menunduk, tatapannya lurus ke lantai. Aku bergerak cepat, mendekatinya, memeluknya erat. “Reina, tolong Bibi, Nduk. Maaf,” ujar perempuan itu lagi, masih menolak digiring pihak berwajib, sementara komplotannya yang dua lagi sudah keluar dari ruangan ini diikuti keluarga mereka masing-masing. “Anda pikir ini akhirnya? Tidak! Kami bahkan baru memulai! Siapkan diri Anda! Kami tidak akan melembutkan hati. Bahkan apa yang akan kalian terima tidak ada seujung kuku derita yang suami saya dan Nina alami!” balasku. “Dengarkan Bibi dulu, Nduk!” “Jangan panggil saya dengan panggilan sayang apa pun! Menjijikkan jika itu keluar dari mulut

