Shera’s POV
Adzan subuh berkumandang. Kukerjapkan mataku. Kutatap setiap sudut ruangan ini dengan perasaan tak menentu. Semalam aku tidur di kamar asing bersebelahan dengan laki-laki asing yang sekarang ini sudah menjadi suamiku. Kulirik sebelahku. Kendra sudah tak ada. Mungkin dia sudah bangun.
Aku dengar suara gaduh dari bawah. Aku keluar kamar menuruni tangga. Aku lihat Kendra sudah rapi mengenakan baju koko dan menggedor-gedor pintu kamar Axel.
“Xel bangun. Ayo sholat, udah adzan.”
Kendra mengetuk pintu kamar Axel sekali lagi, “Axel ayo cepat bangun. Kalau nggak bangun juga, kakak kirim kamu balik ke rumah ayah dan ibu.”
“Iyaaaa....” Suara Axel menggema dari dalam ruangan.
Tak berapa lama kemudian, Axel keluar dengan rambut depan basah bekas air wudhu. Matanya terlihat masih mengantuk. Kendra melirikku yang mematung di ujung bawah tangga.
“Udah bangun Sher. Aku dan Axel ke Masjid dulu ya. Kalau perlu sesuatu, mau minum atau apa ambil sendiri di kulkas.”
Aku mengangguk dan mengulas senyum. Kulangkahkan kakiku menuju kamar lagi untuk bersiap sholat. Diam-diam aku mengagumi Kendra yang mau bangun pagi untuk sholat di Masjid. Dia juga seorang kakak yang bertanggungjawab dan mengajak adiknya yang selengekan itu ke Masjid. Dia orang yang baik, tapi baik saja tak cukup untuk membuatku jatuh cinta.
Kendra’s POV
Aku memasak nasi goreng untuk menu sarapan kami. Aku dapat cuti tiga hari. Shera juga sepertinya dapat cuti juga. Dia tetap bekerja di coffee shop sambil mengajukan lamaran kemana-mana, dan dia sedang menunggu panggilan.
Nasi goreng yang aku masak kali ini seringkali menjadi menu favorit para tamu hotel, terutama orang-orang asing. Mereka selalu penasaran dengan nasi goreng ala Indonesia. Kali ini aku menyampurkan daging ayam, jamur tiram, sosis, telur, bawang daun ke dalam nasi goreng. Tak lupa irisan tomat, mentimun, selada dan telur ceplok kutata mengelilingi nasi.
Dari subuh menjelang jam tujuh tadi, banyak pesan w******p yang masuk dari teman-temanku. Sebagian besar mengucapkan selamat dan bahkan banyak yang meledek tentang malam pertama. Gimana malam pertamanya bro? Habis berapa ronde? Aku cuma bisa menjawab, “lancar” atau “luar biasa”. Kadang aku ingin membalas, kalian ingin tahu malam pertama kami gimana? Bayangkan saja ada perempuan cukup cantik, manis, ya cukup menggoda, tidur satu kamar dengan kalian, tapi dia dipajang di etalase dan pintunya tidak bisa dibuka. Jadi kalian cuma bisa memandangnya dan dia hanya sebagai pajangan, nggak bisa disentuh apalagi diapa-apain. Aku tersenyum sendiri. Apa Shera juga mendapat pesan WA seperti itu dari teman-temannya? Aku harap dia tidak bicara apa adanya dan sedikit menutupi perihal ini. Axel memang benar, dia ini polos, maklum belum pernah pacaran. Tapi aku harap dia bisa sedikit dewasa saat menghadapi ledekan teman-temannya tentang malam pertama kami.
Shera mendatangiku dengan t-shirt oblong warna biru pastel yang panjang hingga menutupi paha dan celana legging garis-garis biru tua-muda yang tidak begitu ketat. Ia gerai rambutnya begitu saja. Sebenarnya dia cukup cantik sih, namun itu tak serta merta membuatku tertarik, apalagi jatuh cinta. Harus kuakui, aku masih bingung dengan status pernikahan kami. Dibilang resmi ya memang resmi, dibilang settingan, ini bukan settingan. Coba kalau tidak ada perjanjian untuk nggak ada kontak fisik selama menikah, mungkin aku bisa memandang pernikahan ini sebagai pernikahan yang normal.
Shera menatap nasi goreng yang sudah aku hidangkan di meja.
“Kamu masak semua ini Ken?”
“Iya. Ini udah jadi kerjaanku sehari-hari Sher. Aku kan chef.”
Shera menarik kursi lalu duduk. Aku ikut duduk di sebelahnya.
“Makan yuk.”
Shera mengangguk dan tersenyum. Shera menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya, “enak banget Ken. Nggak seperti nasi goreng bikinan emak. Rasanya cuma ada asin ama pedes doang.”
“Kamu dong belajar masak sendiri.”
Shera tersenyum, “aku emang nggak bisa masak sih. Paling cuma masak nasi, mie instant, masak air, bikin nasi goreng, telur dadar masih bisa sih. Karena itu habis sholat subuh aku bingung Ken. Aku mesti ngapain? Apa aku harus masak, bersih-bersih rumah kayak yang emak lakuin? Eh tapi emak juga tipe yang nggak rajin sih. Kalau rajin dandan sih iya.”
Aku tertawa kecil, “kamu nggak perlu pusing harus begini begitu. Aku nggak masalah kalau kamu nggak masak, nggak beres-beres juga. Untuk masak aku bisa. Sehari-hari paling aku cuma masak buat sarapan sekaligus untuk makan siang Axel. Axel juga kadang nggak mau makan di rumah. Untuk bersih-bersih rumah, ada uwa Iyam. Uwa biasa datang ke sini jam delapanan, bersih- bersih, nyuci, nyetrika, ngepel. Kalau udah selesai pulang, biasanya nggak nyampai sore udah selesai. Kesininya tiga kali seminggu, sisanya aku dan Axel yang bersih-bersih. Anak itu harus diberi tanggungjawab Sher. Kalau nggak, bakal makin tengil nggak jelas.”
Shera tersenyum. Senyumnya manis sih. Rasanya nggak menyangka dulu dia mantan preman di sekolahnya.
“Seru ya punya adik. Adik laki-lakiku meninggal saat unur lima tahun. Kalau dia masih hidup, mungkin sudah sebesar Axel.”
“Adikmu meninggal kenapa?”
Shera menghela napas, “sakit Ken. Leukimia.”
Aku melihat ada setitik kesedihan di matanya yang berkaca.
“Jangan sedih lagi Sher, adikmu sudah di surga.” Aku tersenyum padanya. Dia membalas dengan senyum tipis.
“Aku tetap ingin belajar masak dan beres-beres sih Ken. Aku perlu belajar juga kan? Kita kan udah nikah, kalau aku nggak ngapa-ngapain, apa bedanya dengan kehidupanku sebelum menikah? Bagimu juga nggak ada bedanya juga kan?”
Aku tersenyum sekali lagi. Kudekatkan wajahku ke telinganya dan berbisik, “dari sejak malam pertama, aku ngrasa emang nggak ada bedanya. Jadi aku nggak masalah kalau semua masih sama seperti saat belum menikah.”
Kujauhkan kembali wajahku. Aku melihat dia sedikit kikuk dan terpekur.
“Hai selamat pagi semuanya,” Axel datang mengagetkanku.
“Wah ada nasi goreng spesial nih.” Axel menarik kursi mundur sedikit ke belakang, lalu dia duduk dan mengambil nasi gorengnya yang memang sudah aku siapkan.
“Gimana kak malam pertamanya?” Axel menggodaku dengan senyum genitnya.
Aku tak merasa aneh dengan sikapnya. Dia selalu penasaran dengan hal-hal seperti ini. Aku pernah memergoki ada film bokep di laptopnya. Saat itu juga aku hapus. Kalau aku nasehati dia, dia pasti membalas, “kakak kayak nggak pernah remaja aja.” Kalau dia sudah berkata seperti itu, aku tak bisa berkutik.
“Ini bukan untuk dikonsumsi anak di bawah 18 tahun.” Celetukku sekenanya.
“Gimana Sher?” Axel beralih menatap Shera.
Shera yang tengah makan pun jadi tersedak.
“Ehm tadi malam aku ngantuk, jadi aku tidur.” Jawab Shera dengan santainya. Aku cuma bisa menggeleng. Setelah ini Axel pasti akan bertanya lagi.
“Jadi kalian nggak ngapa-ngapain?”
“Udahlah Xel, habiskan makanannya. Nggak baik makan sambil bicara.” Ujarku dengan meninggikan intonasi suara.
Axel mengerucutkan bibirnya, memasang tampang cemberut yang sudah menjadi ciri khasnya saat aku menggertaknya, “iya iya...aku makan.”
“Oya abis ini aku mau main kak. Hari Minggu diem aja di rumah rasanya bosen. Kalian nggak kemana gitu? Nggak honeymoon?”
Lagi-lagi aku tercekat dengan pertanyaan Axel. Bagaimana mau honeymoon, kalau dalam pernikahan kami ada perjanjian untuk nggak ada kontak fisik yang aku sendiri juga nggak tahu mau sampai kapan.
“Gampang itu mah. Kakak cuma cuti tiga hari, paling jalan-jalan keliling kota aja.”
Saat kami bertiga sarapan, tiba-tiba ada ucapan salam dengan suara derap langkah yang berjalan beriringan. Kami menjawab salam dan menoleh ke sumber suara. Rupanya kak Deka datang bersama Gara, ponakanku.
“Hai Gara,” aku tersenyum pada anak itu meski anak itu diam, tak melihatku dan lebih banyak menunduk sambil menyipitkan matanya.
“Gara main sama om yuk,” Axel mendekati Gara dan melihatnya dari dekat.
Axel tentunya sudah paham bahwa Gara memiliki eye contact yang minim, jadi dia jarang sekali mau menatap lawan bicaranya. Axel mencoba menarik perhatian Gara dengan mengangkat tangannya. “tos yuk.. Gara tos dulu sama om.” Axel menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri mengikuti arah mata Gara. Akhirnya Gara mau menempelkan telapak tangannya ke telapak tangan Axel. Axel tertawa senang. Aku akui, di balik urakannya Axel, diantara anggota keluarga kami, Axel paling pintar menarik perhatian Gara untuk mau bermain dengannya.
“Kak, makan sekalian yuk.” Ucapku menoleh pada kak Deka.
“Aku buru-buru Ken. Aku bisa nitip Gara sebentar nggak? Mamanya lagi ikut kajian. Aku mau jemput temanku di bandara.”
“Iya nggak apa-apa kak.”
“Ini ada puzzle, nanti kasihkan ke dia kalau dia mulai bosan. Terus ini snacknya. Jangan kasih dia makanan manis, makanan bergluten atau yang mengandung kasein ya, dia harus diet.”
Kak Deka menyerahkan sekotak puzzle dan kotak bekal Gara. Gara memang harus menjaga makanannya. Dia berdiet CFGFSF, Casein free, gluten free dan sugar free. Makanan-makanan ini bisa memicu hiperaktif dan agresifitasnya.
“Hai Shera,” kak Deka tersenyum pada Shera. Dia berjalan mendekat ke arah kami.
“Sher, aku nitip Gara ya. Aku mau ke bandara dulu.” Ujar kak Deka dengan ramah.
“Iya kak, hati-hati di jalan.” Balas Shera ramah.
***
Shera’s POV
Kak Deka sudah berangkat ke bandara, Axel keluar katanya mau main sama teman-temannya. Sekarang tinggallah aku, Kendra dan Gara. Gara sedang bermain lego, dia jejerkan lego itu membentuk garis panjang.
“Gara hebat ya bisa bikin kereta api dari lego.” Aku berusaha mengajaknya berbicara meski dia belum bisa berkomunikasi dua arah. Dia tidak melihatku, tentu saja. Kendra sudah menjelaskan bahwa eye contact Gara sangat minim. Dia cenderung tidak peduli dengan sekitarnya, sibuk dengan dunianya sendiri.
Gara menggaruk-garuk belakang kepalanya.
“Kenapa Gara? Gatal ya?” Aku coba menyentuh belakang kepalanya. Gara terkesiap. Dia mundur dan menjerit sekeras-kerasnya. Aku kaget setengah mati.
Kendra yang saat itu tengah mengambil minum untuk Gara tak kalah kaget dan berlari mendekati kami.
“Ada apa Sher?”
“Gara tadi menggaruk kepalanya, aku menyentuh kepalanya di bagian belakang, dia menjerit-jerit, teriak-teriak. Aku bingung, padahal aku cuma nyentuh sedikit dan lembut banget.”
Gara masih menjerit-jerit.
“Gara mengalami gangguan sensorik Sher. Dia nggak suka disentuh terutama di bagian belakang kepala dan belakang telinganya. Dia juga hipersensitif terhadap suara.”
Aku mencelos mendengar penjelasan Kendra. Aku merasa bersalah.
“Maaf aku nggak tahu Ken. Kita harus apa Ken biar Gara tenang?” Aku mulai panik. Gara semakin keras berteriak dan dia mulai menangis. Suaranya begitu menyayat.
“Dia tantrum Ken..”
“Tenang Sher, kalau Gara lagi begini, kita biarkan saja sampai dia agak tenang. Kalau kita menyentuh atau mendekat, itu akan membuatnya semakin tak nyaman. Yang penting terus diawasi, jangan sampai dia menyakiti diri.”
Gara meraung-raung dan bergulingan di lantai.
“Ini bukan tantrum Sher. Tantrum itu kalau ada keinginan dia yang tidak terpenuhi atau ingin mencari perhatian, atau dia kesulitan untuk menyampaikan keinginannya. Ini namanya meltdown, dia ngamuk karena rangsangan sensori, sentuhan kamu tadi itu.”
Aku panik sekali melihat Gara semakin keras menjerit dan menangis. Sementara aku mematung tak bisa melakukan apapun karena kata Kendra lebih baik biarkan dia sampai agak tenang.
Agak lama kami menunggu sampai Gara bersikap lebih tenang. Suaranya melemah, teriakannya berkurang. Kendra melepaskan bajunya, dia melepas baju Gara pelan-pelan.
“Apa yang kamu lakukan Ken?” Tanyaku sedikit bingung.
“Saat anak meltdown dan dia sudah sedikit tenang, lakukan skin to skin contact di bagian tubuh yang membuat tenang, seperti di sepanjang tulang belakang.”
Kendra memeluk Gara dari belakang agar tulang belakang Gara bersinggungan dengan kulit Kendra. Hal ini bisa memberikan efek tenang.
Aku termangu menyaksikan semua ini. Sungguh, kak Deka dan istrinya benar-benar orang terpilih yang diberi anugerah anak istimewa seperti Gara. Melihatnya ngamuk-ngamuk tadi aku sudah merasa sangat panik dan takut, bagaimana mereka menghadapinya setiap hari yang mungkin sering bertingkah menakjubkan.
Gara mulai terlihat tenang. Kendra memakaikan baju Gara lagi. Dia juga mengenakan bajunya kembali. Kendra berjalan menuju meja makan dan mengambil air. Dia berikan pada Gara. Gara mau meminumnya.
“Shera puzzle Gara di mana tadi ya?”
“Oh ada di sofa, ntar aku ambilkan.” Aku segera berjalan menuju sofa dan mengambilkan puzzle.
Kendra meletakkan puzzle di hadapan Gara. “Gara main puzzle dulu ya.”
Gara sangat antusias membuka mainannya. Dia tersenyum. Ini pertama kali aku melihatnya tersenyum.
Aku dan Kendra duduk bersebelahan di sofa sambil mengamati Gara bermain puzzle.
“Dia hebat Ken. 100 pcs puzzle bisa ia rampungkan. Telaten sekali.”
Kendra tersenyum, “kemampuan visualnya sangat bagus Sher. Itu salah satu kelebihannya.”
“Kamu tahu banyak tentang keponakan kamu.” Aku menatap Kendra. Kendra tersenyum.
“Jika ada anak istimewa dalam keluargamu, semua anggota keluarga yang lain paling tidak harus tahu juga tentang dia, meski nggak tahu banyak. Saat aku libur kerja aku sering main ke tempat kak Deka, jadi aku biasa melihat bagaimana mereka berinteraksi dengan Gara. Gara setiap tiga kali semingggu dibawa ke therapy center, selebihnya home based therapy. Kak Imelda sampai resign biar fokus mengurus Gara.”
Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Kendra.
“Gara mengalami gangguan sensori perabaan dan pendengaran. Jadi dia nggak suka disentuh di bagian tubuh tertentu, nggak suka bersinggungan dengan pasir dan rumput, dia juga nggak suka suara bising kayak suara blender, kran, atau bahkan kursi bergeser pun dia nggak suka. Gara menjalani serangkaian terapi, termasuk reaksi dia menerima banyaknya impuls sensori yang masuk juga mesti dilatih, minimal bisa meminimalisir meltdownnya. Untuk menyentuh bagian-bagian tertentu yang dia nggak suka, kak Imelda nyentuh pakai kain handuk. Jadi dulu Gara coba diterapi sentuhan dengan berbagai kain. Dari sekian kain yang digunakan, Gara paling menyukai kain handuk. Kalau disentuh dengan kain lain dia menangkis.”
“Hebat banget ya kak Deka dan kak Imelda. Mereka membesarkan Gara dengan penuh cinta dan menerima Gara apa adanya.”
Kendra menghembuskan napas, “sebenarnya di awal-awal, kak Deka selalu menyangkal anaknya adalah ASD, autism spectrum disorder. Kak Imelda berjuang sendiri mencari dokter dan terapi. Dokter yang khusus menangani ASD sedikit di Indonesia. Dulu kak Imelda menunggu panggilan sampai tiga bulan. Jadi bener-bener masuk waiting list. Awalnya Gara perkembangannya normal. Di usia dua tahun sudah bisa mengucapkan beberapa kata, motoriknya juga bagus. Tapi lalu perkembangan dia mengalami regresi. Banyak kosa kata yang hilang, nggak ada eye contact, dipanggil juga nggak merespon. Akhrinya kak Imelda mencari informasi kesana-sini, mencari dokter dan terapi kemana-mana. Pelan-pelan kak Deka bisa menerima kondisi anaknya.”
Aku terdiam. Aku melihat Gara seperti aku melihat adikku dulu. Adikku meninggal di usia yang sama dengan Gara saat ini.
“Bagian terpenting dari memiliki anak istimewa itu adalah penerimaan orangtua terhadap kondisi mereka. Selama mereka belum bisa berdamai dengan kondisi anaknya, yang ada bakal ribut terus, saling menyalahkan. Dulu Gara ditest lab untuk tahu logam berat, alergi dan jamur di pencernaan, termasuk diperiksa DNAnya juga. Sampel rambut dan darah dia dikirim ke Amerika dan menunggu hasilnya selama tiga bulan. Hasilnya logam beratnya tinggi merkuri, timbal, aluminium, ada alergi telur. Makanya Gara nggak boleh makan makanan laut karena dikhawatirkan ada kandungan merkurinya. Masak makanan Gara pun jangan menggunakan alat masak dari logam, jadi dari panci yang berbahan kaca. Secara genetik memang ada beberapa mutasi di gennya. Jadi memang Gara sudah membawa gen autis.”
Aku mengangguk sekali lagi. Gara memang anak istimewa. Aku membayangkan betapa hebatnya perjuangan kak Imelda untuk melakukan yang terbaik untuk anaknya.
Kendra tiba-tiba merangkul bahuku dan membuatku terkesiap.
“Kalau kita punya anak nanti, kita juga harus siap berjuang untuk mereka.” Kendra mengulas senyum. Mata kami saling beradu. Kendra semakin mendekatkan wajahnya. Aku merasa deg-degan dan jantungku berdebar-debar. Apa kendra akan menciumku? Saat wajahnya semakin dekat ke arahku, bunyi smartphone Kendra membuyarkan moment yang sebenarnya bisa dibilang romantis ini.
Kendra tertegun memandang layar smartphonenya.
“Ada apa Ken?”
“Ada WA dari Rania, dia mengucapkan selamat.”
“Rania siapa?”
“Mantanku.”
Senyap...