Shera’s POV
Kendra ada di lantai bawah, sepertinya hendak mengambil air. Aku duduk di ranjang sambil memainkan smartphoneku. Tiba-tiba smartphone Kendra yang berada tak jauh dari jangkuanku bergetar dan berbunyi. Kulirik layarnya. Ada pesan WA bertuliskan nama Rania. Rania, mantan Kendra yang Kendra bilang seperti bidadari. Aduh kenapa aku jadi kepo ingin membaca isinya. Aku sudah menjadi istrinya, jadi aku berhak tahu apa isi di smartphonenya. Aku gerakkan jari-jariku pelan-pelan untuk menyentuh smartphone itu.
“Sher,”
Aku terkesiap mendengar suara Kendra. Adegan ini mengingatkanku akan kejadian lima tahun lalu saat dia memergokiku mengutil coklat. Sekarang dia memergokiku hendak mengambil smartphonenya.
“Kamu pingin lihat smartphoneku? Silakan aja Sher. Aku nggak merahasiakan sesuatu. Kita udah nikah, aku nggak keberatan kamu lihat-lihat smartphoneku. Kalau kamu mau tahu password semua media sosialku, aku akan berikan. Oya aku bahkan lupa, kita belum berteman di sss atau i********: ya?”
Aku tak menyangka Kendra malah mempersilakanku untuk melihat smartphonenya.
“Beneran aku boleh lihat?”
Kendra mengangguk lalu duduk di ranjang bersandar pada bantal yang ditata berdiri ke tembok. Dia tampak membuka-buka buku, entah buku apa yang sedang dia baca.
Aku raih smartphonenya. Aku buka pesan WA-nya yang membuatku penasaran.
Aku baca percakapan dia dan Rania.
Rania : Kendra selamat ya untuk pernikahanmu, semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Salam untuk istrimu ya.
Kendra : Makasih banyak Ran. Kamu kapan nyusul?
Rania : aku membatalkan pertunanganku Ken.
Kendra : oh maaf aku nggak tahu.
Rania : nggak apa-apa Ken. Dia mengkhianatiku Ken, jadi aku batalkan saja pertunangan ini. Aku nggak mau menikah dengan pengkhianat. Belum menikah saja dia udah berselingkuh, apalagi nanti.
Aku agak kaget juga mengetahui mantan terindah Kendra memutuskan pertunangannya.
“Ken,”
Kendra melirikku, “ada apa Sher?”
“Kamu belum baca WA terakhir dari Rania,” kusodorkan smartphonenya padanya.
Kendra meraihnya. Dia menatap layar smartphonenya.
“Itu kabar bagus apa bukan Ken?” Aku toleh dia dengan sedikit senyum.
“Bukan kabar yang penting lagi Sher. Aku udah menikah.” Kendra menatapku datar.
“Yakin nggak penting lagi? Dia mantan terindah kamu kan? Yang kamu bilang seperti bidadari?”
“Sini deh Sher, duduk lebih dekat biar lebih enak ngobrolnya.” Kendra menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya.
Aku sedikit ragu, namun akhirnya aku menurutinya. Aku duduk di sebelahnya. Kendra menutup bukunya dan meletakkannya di meja kecil di sebelah ranjang. Dia menatapku tajam. Sebenarnya aku kadang gugup saat dia menatapku lekat dan tajam. Aku belum pernah sedekat ini dengan laki-laki. Aku bahkan tak memiliki cerita cinta apapun untuk dikenang. Kendra menjadi laki-laki pertama yang masuk ke dalam kehidupanku, meski pernikahan kami tidak didasari cinta.
“Denger ya Sher, cerita masa lalu itu selamanya akan menjadi masa lalu. Kehidupan dia sudah tidak lagi menjadi urusanku.”
“Tapi kamu masih mencintainya kan?”
Kendra mengalihkan pandangannya. Dia tak menjawab.
“Nggak perlu dijawab Ken, aku udah tahu jawabannya. Oya kamu nggak bales WA Rania?”
Kendra menggeleng, “nggak Sher. Kalau aku balas, nanti bakal terus bersambung. Aku udah lama membatasi komunikasi dengannya. Bahkan semua media sosialnya aku hapus.”
Aku bisa melihat sorot mata Kendra yang tak bisa berdusta. Dia masih memiliki perasaan yang kuat terhadap Rania. Apa aku cemburu? Aku rasa tidak. Belum ada perasaan apapun diantara kami. Meski tadi siang dia berusaha menciumku, yang akhinya gagal karena WA dari Rania, tapi aku yakin itu bukan karena dia sudah memiliki perasaan terhadapku. Kata Roland, cowok bisa melakukan kontak fisik, entah ciuman atau bahkan lebih dari itu dengan wanita manapun tanpa cinta sekalipun.
“Kamu nggak ada sedikitpun cemburu?”
Pertanyaan Kendra membuatku sedikit tersentak.
“Cemburu? Kita belum ada perasaan apapun kan? Jadi untuk apa aku cemburu? Justru aku penasaran pingin liat fotonya. Instagramnya apa Ken?”
“Nama ig-nya @cahayarania.” Ujarnya datar.
Segera kubuka instagramku untuk stalking i********: milik Rania. Aku memang penasaran ingin tahu kenapa sosok Rania tidak bisa hilang dari hati Kendra.
Setelah aku melihat foto-fotonya, aku akui, dia memang sangat cantik. Pantas saja Kendra menyebutnya bidadari. Rambutnya lurus panjang dan indah, kulitnya putih bersih, wajahnya sangat halus tak ada satupun jerawat, benar-benar terawat, bibirnya tipis dan merona, bulu matanya lentik, matanya begitu indah, hidungnya mancung, mengingatkanku pada girlband Korea. Secara fisik dia jauh lebih sempurna dariku.
“Dia cantik banget ya Ken.”
Kendra hanya tersenyum tipis.
“Pantas saja waktu itu kamu bilang kalau dia seperti bidadari. Aku penasaran ingin tahu awal kalian bertemu.”
Kendra menatapku sekali lagi, “kamu yakin ingin aku bercerita soal ini?”
Aku mengangguk.
Kendra menghembuskan napas.
“Dulu kami bertemu di toko buku. Aku ceritain dari awal ya. Jadi dulu aku sempet akselerasi waktu SMA, umur 16 tahun aku udah kuliah di perhotelan ambil spesialisasi hot kitchen, kan ada pastry chef yang khusus perkue-an, kalau aku ambil yang makanan umum. Aku ambil yang satu tahun lulus. Setelah lulus langsung magang di hotel, jadi chef magang. Aku termasuk tipe yang ambisius mengejar karir. Makanya aku butuh waktu yang relatif cepat untuk naik pangkat karena aku benar-benar total dalam bekerja dan aku pelajari semuanya dari orang-orang yang posisinya setingkat lebih tinggi dariku. Aku kerja sambil lanjut kuliah. Umur 20, aku sudah menjabat commish 2. Di saat itulah aku ketemu Rania di toko buku waktu libur kerja. Waktu itu dia lagi nyari novel. Mungkin kayak cerita di drama atau ftv, kami bertabrakan dan novel yang dia pegang jatuh. Aku memang sudah terkesima dengannya sejak pandangan pertama. Dia kuliah psikologi. Dari situ kita kenalan. Enam bulan kemudian kita jadian setelah sebelumnya sering hang out bareng pas aku libur, sering curhat, ngobrol, awalnya kayak temen deket aja. Umur 21 aku naik posisi jadi demi chef, kerjaku masih shift-shiftan waktu itu. Umur 22, dia yang udah kelar S1nya lanjut ambil S2 ke Australia. Kita masih berhubungan dan komunikasi lancar. Setahun kemudian aku naik pangkat jadi chef de partie. Aku mulai makin sibuk, dia juga, tapi kita masih menjalani LDR. Setahun kemudian aku naik posisi jadi junior sous chef, kerjaanku tambah sibuk, dia juga, komunikasi mulai renggang, kadang ada bumbu cemburu. Di sinilah kita putus. Tak berapa lama kemudian aku tahu dia punya kekasih lagi. Setahun kemudian aku naik posisi jadi sous chef, dan di saat yang sama aku dengar dia bertunangan. Ini yang melatarbelakangiku menerima perjodohan kita. Patah hati ditinggal tunangan.”
Aku mengangguk-angguk.
“Kamu tidak punya pacar lagi setelah putus dari dia ya?”
Kendra menggeleng, “aku nggak pacaran lagi karena aku masih mencintainya. Dan ternyata aku malah langsung dapet istri selepas dari dia.” Dia tersenyum padaku. Senyum yang menurutku begitu manis. Aku juga tersenyum.
“Istri dari hasil perjodohan?” Kunaikkan alis mataku dan menyeringai.
Kendra tertawa kecil. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu dia mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berbisik, “istri yang ngasih syarat nggak mau kontak fisik selama menikah.”
Kugerakkan sedikit wajahku tuk melihatnya, hingga jarak kami menjadi sedemikian dekat. Matanya masih tajam menatapku seakan membiusku untuk terhipnotis dan menuruti keinginannya. Aku bahkan mendadak lupa dengan persyaratan yang aku ajukan sebelum menikah dengannya. Debaran jantungku makin tak menentu. Aku begitu gugup. Kendra makin mendekatkan wajahnya. Aku hanya bisa tergugu tanpa melakukan perlawanan padahal Kendra hendak melanggar janjinya untuk tak menyentuhku, tapi aku memilih membiarkannya. Aku belum pernah berciuman dengan siapapun dan sebenarnya aku penasaran juga dengan hal satu ini. Bibirnya hanya tinggal berjarak beberapa senti dari bibirku sampai akhirnya smartphonenya berbunyi.
“Ponselmu bunyi..”
“Biarkan saja..” Ucapnya lirih.
Dia semakin mendekat. Bibirnya hampir menyentuh bibirku, hingga akhirnya smartphone sialan itu berdering lagi, lebih lama. Kami pun terhenti. Jujur, aku begitu kesal.
Kendra mengangkat teleponnya, “Halo ada apa Ran malam-malam telepon?”
Ran? Dia bilang Ran? Apa Rania yang meneleponnya malam-malam begini. Ada perlu apa dia telepon malam-malam. Aku jadi senewen begini. Kok rasanya nggak etis banget, perempuan telepon suami orang malam-malam.
Kendra beranjak dari ranjang dan melangkah menuju pintu balkon. Dia buka pintunya dan berdiri di balkon. Lihat, dia sampai berdiri di balkon untuk berbicara dengan Rania di telepon. Itu artinya dia tak ingin aku mendengarnya atau ada sesuatu yang ia sembunyikan?
Tak lama kemudian Kendra berbalik. Dia melihatku tanpa ekspresi. Aku yakin tak susah untuknya membaca ekspresi wajahku yang sedang dalam fase cemberut maksimal.
“Sher,”
“Rania kan yang telpon?”
Kendra mengangguk.
“Ngapain dia telpon malam-malam? Kok nggak sopan banget ya. Cewek telpon mantan pacarnya yang udah jadi suami orang malem-malem.”
“Dia nanya kabar, mengucapkan selamat dan memang sedikit curhat soal pertunangannya yang dia batalkan. Mungkin karena aku nggak bales WA-nya.”
Aku tersenyum sinis, “harus ya curhat ama suami orang? Emang dia nggak punya teman lain?”
“Dia bilang rasanya kurang aja kalau dia cuma ngucapin lewat WA, jadi dia menelpon langsung.”
Aku tersenyum kecut, “pinter banget ya nyari alasan. Nggak sekalian ngucapin langsung di depan orangnya? Janjian ketemuan di mana.”
“Shera..”
“Hmm..” Kutoleh dia masih dengan ketus.
“Makanya tadi aku bilang ke dia kalau aku ngantuk, biar dia nutup teleponnya.” Kendra duduk kembali di sebelahku.
“Aku heran aja, seorang yang kamu bilang bidadari, kenapa mendadak menurunkan kualitasnya dengan menelpon suami orang malem-malem untuk curhat soal patah hatinya? Yang namanya bidadari tuh seperti ini ya? Apa dengan curhat begitu, dia berharap kamu bakal membantunya? Aku tetap nggak bisa menerima apapun alasannya.”
“Kamu mulai cemburu Sher.” Dia menatapku seakan penuh selidik.
“Aku cemburu bukan karena aku punya perasaan ama kamu ya Ken. Ini karena status kamu sebagai suamiku. Meski aku nggak cinta sekalipun ama kamu, bukan berarti aku bisa ngebiarin wanita lain telpon kamu malam-malam, curhat nggak jelas, dan lagi wanita itu adalah mantan pacarmu yang masih kamu cintai.” Intonasi suaraku agak meninggi.
“Sher,” Kendra mencoba menggenggam tanganku namun aku tangkis.
“Aku ingin kita meneruskan yang tadi tertunda,”
Perkataan Kendra barusan semakin membuatku jengah.
“Sebelum kamu menciumku, bilang dulu ke mantanmu, tolong jangan kirim WA atau telpon dulu. Aku udah nggak mood sekarang.”
Aku berbaring dan kutarik selimut menutupi tubuhku sampai kepala.
“Sher, aku pastikan aku nggak ada hubungan apa-apa sama Rania.”
Aku tak bergeming.
“Sher, kamu pasti belum pernah ciuman kan? Kamu nggak penasaran? Aku bakal ngajarin sampai kamu jago nanti.”
Seketika kulayangkan guling ke arahnya. Dia mengaduh, “aooo sakit Sher. Please jangan marah Sher.”
Aku tak memedulikannya dan kucoba tuk memejamkan mata.
Kendra’s POV
Aku hanya bisa terdiam mengamati Shera yang tidur dengan tenangnya. Dia sama sekali tak mengerti perasaanku. Bayangkan saja, aku hampir bisa menciumnya. Ibarat baru mau menyuapkan sesendok eskrim, eh eskrimnya jatuh ke lantai. Hati cuma bisa mencelos. Perjanjian pernikahan tanpa kontak fisik itu semakin kesini semakin kurasakan tak masuk akal. Aku ini laki-laki normal, tidur bersebelahan dengan Shera setiap malam, dan dia adalah istriku, istriku lho ini, yang sudah halal untuk aku sentuh, harus aku pandangi tanpa bisa kuapa-apain. Padahal yang tadi itu, dia sudah mulai bisa membuka diri, namun lagi-lagi gagal karena WA dan telpon dari Rania.
Sebenarnya aku juga tak bisa menyalahkan sikap Shera yang cemburu dan marah padaku. terlepas dari ada atau tidaknya perasaan terhadapku, dia memang berhak untuk marah dan cemburu. Aku juga tak menyangka Rania akan menelponku malam ini. Aku sangat bingung waktu Shera bertanya apa aku masih mencintainya atau tidak. Aku akui getaran dan desiran di hati masih ada setiap mendengar namanya apalagi saat mendengar suaranya. Terkadang kenangan indah yang pernah kami lalui dulu melintas begitu saja. Tapi aku sadar posisiku sekarang. Aku sudah menikah dan aku tahu, aku harus melupakan Rania dan belajar untuk mencintai Shera. Aku rasa membangun kontak fisik dengannya bisa menjadi salah satu cara untuk menumbuhkan perasaanku terhadapnya. Andai saja Shera mengerti hal itu. Atau aku harus berterus terang padanya, aku sudah tak bisa lagi menepati janjiku untuk tidak menyentuhnya. Semua ini demi pernikahan kami juga. Kami harus belajar untuk membangun perasaan kami masing-masing dan kurasa cinta adalah sesuatu yang sangat penting dalam pernikahan.