Author’s POV
Semilir angin menyibak dedaunan dan menghempaskan kesejukan di suasana taman. Mega tampak cerah, sementara bunga-bunga warna-warni bermekaran menambah indahnya pemandangan sekitar.
Di taman belakang itu ada sekumpulan empat murid laki-laki yang tengah berbincang, sesekali bercanda dan tertawa. Jam pelajaran Biologi yang seharusnya sudah dimulai sepuluh menit yang lalu tidak dimulai juga bersamaan dengan tidak ada tanda-tanda kehadiran guru Biologi, jadi empat sekawan itu memutuskan untuk berkumpul di taman belakang.
Seorang murid diam-diam menyalakan rokok dan mengepulkan asapnya sambil celingak-celinguk memastikan kondisi aman.
“Aman Xel, nggak usah takut.” Ujar murid berambut ikal bernama Defaz yang mengenakan handband warna merah menghiasi pergelangan tangannya.
“Takut? Maaf ya, gue bukan penakut.” Axel terus mengepulkan asap rokok dan membuat Dimas, teman satu genk yang duduk di sebelahnya terbatuk.
Anggota genk lain bernama Bryan memicingkan mata ke arah pohon mahoni yang tumbuh tak jauh dari tempat mereka duduk.
“Itu siapa yang sembunyi di balik pohon?”
Axel, Dimas dan Defaz melirik ke arah pohon. Axel bisa melihat sekelebat seragam putih terlihat di balik pohon.
“Woi siapa itu, ayo keluar.” Ucap Axel sedikit keras.
Seorang murid laki-laki berkacamata dan berbadan agak kurus menampakkan diri pelan-pelan.
“Ya elah si cupu itu lagi,” Dimas menggelengkan kepala.
“Sini lo,” Axel meminta anak itu mendekat dengan ketus.
Murid laki-laki cupu bernama Arya melangkah pelan mendekati Axel and the genk.
“Lo mau apa ngintipin kita?” Defaz bertanya dengan sewot.
“Jangan bilang lo mau masuk jadi anggota genk kita,” Axel seolah sudah mengetahui keinginan murid berkacamata itu.
Arya hendak membuka suara namun sedikit ragu. Tapi akhirnya ia beranikan diri untuk berbicara, “i..i..iya Xel. Aku ingin masuk ke genk kalian.”
Axel tak kaget, karena beberapa hari yang lalu Arya pernah meminta untuk diterima menjadi anggota genknya. Perkataan Arya membuat Defaz, Dimas dan Bryan tertawa ngakak.
“Lo mau jadi genk kita? Ya ampun, belajar dulu jadi laki sejati baru kita terima.” Defaz tersenyum sinis.
“Aku juga mau belajar kok, aku mau belajar dari kalian.” Jawab Arya.
“Duduk dulu sini,” pinta Axel. Arya menurut dan duduk di bangku lain di sebelah Axel.
Axel setengah berbisik, “apa yang mau lo pelajari? Ngerokok? Minum? Clubbing? Manipulasi umur atau nyogok penjaga pintu biar bisa masuk night club khusus dewasa? Berantem? Bolos? Tawuran? Atau apa?”
Arya menaikkan gagang kacamatanya, “semuanya.”
Axel menyeringai, “lo udah bener kayak gini. Jadi anak manis, pinter, rajin ngerjain PR, dapat ranking, nggak neko-neko, nggak pernah bolos, disayang mama papa, disayang guru, nggak usah ikut-ikutan kayak kita. Gue nggak mau ngrusak anak orang.”
“Tapi Xel, aku pingin banget jadi temenmu.” Arya terus mendesak.
“Lo naksir Axel? Homo ya lo? Segitunya ngefansnya ama Axel.” Defaz bicara secara frontal membuat Arya gelagapan.
“Nggak... nggak gitu. Aku cuma pingin diakui eksistensinya, biar nggak ada yang bully lagi.”
“Eh Ar, dengerin. Lo kalau dibully, gue siap belain lo. Pokoknya kalau ada yang berani gangguin lo, gue bakal hadapi. Tapi gue nggak bisa nrima lo jadi anggota genk kita. Kalau lo masih pingin temenan ama gue, gue minta satu hal, tetep jadi anak baik, nggak usah macem-macem.” Tegas Axel. Arya speechless.
“Rupanya lagi pada ngumpul di sini.” Ucapan seorang murid laki-laki berpenampilan sangar mengagetkan Axel dan teman-temannya.
Daren ketua genk TheSky yang dikelilingi tiga temannya menatap Axel dan teman-temannya dengan penuh kebencian.
“Ngapain lo ke sini?” Axel sewot menanggapi.
“Gue mau bikin perhitungan ama lo Xel.” Daren menatap Axel dengan dendam membara.
“Salah gue apa?”
“Nggak usah pura-pura polos ya. Gara-gara lo tebar pesona ke Mira, gue diputusin. Lo udah ngrebut Mira dari gue!”
Axel tersenyum, “cewek lo aja yang keganjenan. Cewek lo yang agresif, ngrayu-ngrayu gue. Gue cowok mah nyante aja, dia ajak jalan, ya gue mau aja. Lagian gue nggak pernah nembak dia. Kalau dia merasa gue ini pacarnya ya itu bukan salah gue.”
Daren mendekat ke arah Axel. Dicengkeramnya kerah baju Axel. Seketika kepalan tangannya mendarat di wajah Axel hingga sudut bibir kanan Axel berdarah. Tak terima dengan perlakuan Daren, Axel berbalik memukul Daren. Mereka pun saling berbalas, saling pukul satu sama lain. Teman-temannya berusaha melerai. Kegaduhan tak terelakan lagi hingga akhirnya ada beberapa guru yang mendengar kegaduhan ini.
Shera’s POV
Aku sudah beraktivitas lagi seperti biasa. Kembali masuk kerja. Kemarin aku memenuhi panggilan interview dari salah satu perusahaan yang aku idam-idamkan. Aku berharap aku bisa diterima.
Hari ini coffee shop lumayan rame pengunjung. Sebagian besar pelanggan coffe shop ini adalah mahasiswa karena lokasinya dekat kampus. Kadang aku bertemu adik-adik angkatanku di sini.
Aku ingat saat tadi pagi Kendra berangkat kerja. Dia bilang, dia mungkin tak akan sempat mengirim WA ataupun menelpon karena pekerjaannya sangat sibuk. Dia baru pulang jam delapan malam, kalau ada event bisa sampai jam sebelas malam. Sepertinya jam kerjanya memang sangat menyita waktu.
Dering smartphoneku berbunyi nyaring. Kutatap layar smartphoneku. Kendra menelpon. Surprise, apa dia kangen aku ya? Aku tersenyum sendiri.
“Halo Ken ada apa?”
“Sher bisa nggak kamu datang ke sekolah Axel? Aku nggak bisa izin. Please aku minta tolong.”
Suara Kendra mengagetkanku. Ada apa dengan Axel?
“Axel kenapa Ken?”
“Dia berkelahi dengan temannya. Dia sering bikin onar. Aku aja pusing gimana ngehandle anak itu.”
“Ya udah aku coba minta izin ke bosku ya.”
“Makasih ya Sher.”
Tut tut tut...
Ya elah kirain dia kangen atau mau nanya udah makan belum. Tadi dia bicara terburu-buru, sepertinya pekerjaannya memang sangat menyita waktu. Axel, anak itu memang bandelnya nggak ketulungan. Semoga saja bosku memberiku izin.
***
Aku duduk mematung dan mendengar ceramah dari guru BK di sekolah Axel. Selain aku, di sebelahku ada mama dari anak yang berkelahi dengan Axel. Axel dan cowok yang entah siapa namanya, yang tadi berkelahi dengan Axel berdiri dengan wajah tertunduk. Suasana seperti ini mengingatkanku akan masa-masa SMA-ku. Dulu aku berada di posisi Axel. Sedang posisiku diisi oleh emak atau ayah. Tak kusangka aku akan bernostalgia seperti ini dengan posisiku sebagai wali murid. Aku harap kelak anakku di masa depan tak akan pernah membuatku atau ayahnya rutin mendatangi sekolah hanya untuk mendengarkan ceramah guru BK yang biasanya memberi tips parenting menghadapi anak remaja. Ternyata sangat tidak menyenangkan dan seolah kita menjadi pihak tertuduh karena nggak becus mendidik anak. Mungkin inilah yang dirasakan emak dan ayah dulu. Pantas saja emak selalu saja marah-marah, bawelnya nggak ketulungan setiap kali dipanggil ke sekolah.
“Saya mohon kerjasamanya ya untuk lebih mengarahkan anak di rumah. Terutama Axel, poin pelanggarannya sudah sangat banyak. Jika dia terus berbuat ulah seperti ini, bukan tidak mungkin suatu saat dia akan dikeluarkan dari sekolah.”
Aku dan Axel saling berpandangan. Kupelototi dia. Axel memasang muka cemberut dan kembali tertunduk.
Aku keluar dengan perasaan kesal. Anak ini benar-benar merepotkan. Axel mengikuti langkahku dari belakang.
“Sher, makasih ya.”
Aku mendengus. Kuhembuskan napas perlahan lalu kukeluarkan lagi.
“Aku nggak bisa terus-terusan izin kerja cuma buat dengerin ceramah gurumu ya Xel. Jadi tolong ke depan lebih dijaga lagi kelakuanmu.”
Axel memasang muka innocent unyu-unyunya. Dia pikir aku akan melunak.
“Aku tadi diserang duluan. Jadi wajar kan kalau aku membela diri?”
Aku tak tahu harus menjawab apa. Dulu aku juga pernah ada di posisinya. Aku pernah berkelahi dengan kakak kelas. Semakin tambah usia, aku semakin sadar bahwa kenakalan-kenakalan di masa remaja itu sama sekali nggak ada manfaatnya. Nggak akan dipakai buat ngejar IPK cumlaude atau mencari pekerjaan yang bagus.
Kutatap Axel sekali lagi. Dia sesekali tertunduk. Mungkin dia merasa nggak enak juga karena telah merepotkanku.
“Aku pergi dulu. Aku masih harus kerja. Awas jangan bikin ulah lagi,” aku memelototinya sekali lagi.
“Hati-hati di jalan Sher.”
Kendra’s POV
“Aku minta maaf atas kelakuan Axel ya Sher. Aku jadi ngrepotin kamu.”
Shera bediri di tepi pagar yang mengitari balkon. Aku mendekat ke arahnya.
“Axel udah biasa ya bikin onar gini?” Shera menatapku datar.
Aku mengangguk.
“Kenakalan-kenakalan apa yang udah pernah dia lakuin Ken?”
Kedua tanganku bertumpu pada pagar balkon. Kuamati langit gelap yang tak berhias satupun bintang.
“Sudah banyak Sher. Berkelahi, tawuran, pernah berkelahi di night club, aku pernah memergoki ada minuman keras di kamarnya, dia juga pernah ikut balapan liar. Aku kadang bingung gimana ngadepin dia. Makin dikerasi, dia akan makin berontak, dilembuti juga kayak nggak ngasih efek jera ke dia. Sebagai mantan anak bandel, kamu pasti lebih paham.”
Kulirik Shera. Dia tersenyum kecil, “sebandel-bandelnya aku dulu, aku nggak pernah clubbing, minum miras. Aku punya teman-teman genk yang meskipun mereka brengseknya kayak gimana, mereka juga menjagaku Ken. Mereka nggak ngizinin aku ikut mereka ke night club, nggak pernah memengaruhi untuk ikutan minum miras. Kalau berkelahi, tawuran, bolos sekolah itu kayaknya udah jadi hobiku sih.”
Aku tersenyum. “teman genkmu yang suka ama kamu? Yang kata kamu badboy, yang ganteng banget itu?”
Shera menolehku dan mengangguk.
“Dia nggak pernah ngubungin kamu?”
“Dia nggak seperti Rania Ken. Begitu tahu aku resmi nikah, dia jaga jarak dan nggak pernah kirim WA lagi.”
Aku tergugu. Aku kembali teringat malam dimana dia marah dan cemburu gara-gara telpon dari Rania.
Kulihat Shera dari samping. Wanita ini adalah istriku. Apa hanya aku suami paling malang sedunia ya? Sampai sekarang bahkan aku belum bisa mendapat ciuman pertamanya. Kucoba menggenggam tangannya yang sedang bertumpu di pagar balkon. Shera mengamati genggaman tanganku. Dia tidak mengelak.
“Aku rasa kamu harus belajar untuk memberi kita kesempatan untuk saling bersentuhan Sher.”
Shera menatapku, “sebenarnya hal-hal seperti ini adalah hal baru untukku Ken. Digenggam, disentuh, dan hampir saja dicium olehmu, itu semua adalah pengalaman baru untukku. Mungkin aku hanya perlu beradaptasi. Aku masih suka kikuk dan nervous.”
Aku tersenyum, “kalau dibiasakan nggak akan nervous Sher. Aku nggak keberatan untuk belajar mencintaimu Sher. Aku juga ingin kamu melakukan hal yang sama. Belajar untuk mencintaiku. Aku ingin ada tujuan dan arah yang jelas dari pernikahan ini.”
Kuraih kedua tangan Shera dan kugenggam erat.
“Seharian nggak lihat kamu, aku kangen lho Sher. Pingin cepet-cepet pulang ke rumah.”
Shera tersenyum semakin merekah. Aku bisa melihat semburat merah di pipinya.
“Masa sih? Kamu lagi nyoba nggombalin aku ya?”
Aku tertawa kecil lalu kutatap dia dengan tatapan tertajamku, “aku serius.”
Kami saling menatap. Mata kami beradu. Aku mulai merasa ada yang berdesir saat menelisik detail wajahnya yang baru aku sadari dia begitu manis. Aku sentuh pipinya, lalu ibu jariku menyentuh bibirnya. I think this is the right time to kiss her. Kudekatkan wajahku pada wajahnya. Dia tak bergeming dan seakan menungguku untuk terus bergerak mendekat padanya. Saat jarak kami begitu dekat, lagi-lagi kami dikejutkan dengan dering smartphoneku. Sungguh aku kesal. Kucoba membiarkan tapi deringnya semakin keras.
“Ken diangkat dulu aja, kali aja penting.”
Aku pikir Shera akan marah. Dia bersikap lebih santai.
Kuambil smartphoneku yang aku letakkan di meja di depan pintu balkon.
Rupanya ibu yang telpon, “Halo assalamu’alaikum Bu.”
“Ken, Deka dan Imelda kecelakaan. Saat ini kritis di rumah sakit.” Kudengar isak tangis ibu membuat suaranya bertambah parau. Aku menganga sekian detik. Aku tak bisa berkata-kata, seakan semua sudut terlihat gelap dan langit jatuh tepat menimpa kepalaku.
“Ada apa Ken?” Tanya Shera sedikit panik.
“Kak Deka dan kak Imelda kecelakaan.”