Kendra’s POV
Ada sesuatu yang hilang kala bulir demi bulir tanah berjatuhan menyelimuti tubuh kakakku yang terbungkus kafan. Ada rasa sedih berkecamuk, menggerogoti pertahananku dan aku hanya bisa menghadapinya dengan isakan tangis yang kutahan. Sekuat-kuatnya aku mencoba untuk tabah dan ikhlas menerima, pada akhirnya aku hanya manusia biasa yang akhirnya hanya bisa membiarkan tetes-tetes air mata menghujani wajahku.
Kakakku disemayamkan di peristirahatannya yang terakhir dan makamnya bersebelahan dengan kak Imelda, istrinya. Kau ingin tahu bagaimana rasanya kehilangan kakak? Seseorang yang terkadang seperti sahabat, belahan jiwa dan kalian tumbuh bersama-sama dari kecil hingga sebesar ini, sekarang tak bisa lagi kau temui dan dia hanya hidup dalam ingatan dan hatimu. Rasanya itu seperti kehilangan jiwa kita yang lain. Seperti kehilangan sebelah sayap hingga kita sulit untuk terbang. Ada perasaan sakit luar biasa menyesakkan d**a, ingin teriak tapi tak bisa, ingin protes, tapi kita tak mungkin menyalahkan Allah. Kematian adalah bagian dari takdir dan satu-satunya jalan terbaik menghadapi realita pahit ini adalah dengan menerimanya.
Kakakku dan istrinya meninggal karena kecelakaan mobil. Waktu itu mereka hendak pergi belanja sayur dan buah organik untuk Gara. Gara dititipkan pada ibu karena Gara tidak begitu menyukai tempat ramai. Menurut saksi mata mobil mereka oleng karena menghindari tabrakan dengan kendaraan di depannya, dan mobil itu ringsek menabrak tiang listrik. Kak Deka dan kak Imelda sempat kritis dan Allah lebih sayang mereka.
Kak Deka...
Lihatlah, ada seorang wanita yang sedari tadi menyeka air matanya. Wajahnya terbenam dalam genangan air mata yang membanjiri pipinya. Dia sesekali memanggil namamu. Sesekali beristighfar karena beliau tahu tidak baik meratapi orang yang sudah meninggal. Dia bahkan sudah pingsan beberapa kali. Dia yang selalu memanjatkan doa-doa terbaik untuk kita dalam setiap sujudnya. Dia yang selalu ingin memastikan bahwa kita baik-baik saja sekalipun kita sudah menikah. Dia yang terkadang selalu memandang kita seperti bayi yang setiap kali kita datang, selalu dilayani segala sesuatunya, dimasakkan makanan favorit kita, diambilkan makanannya dan ketika pulang mobil penuh dengan kantong oleh-oleh. Dia yang tak pernah mengeluh dan mencintai kita apa adanya. Dia... ibu kita.
Kak Deka..
Lihatlah adalah seorang laki-laki paruh baya yang terlihat tenang, diam, dan seolah ini bukan kejadian yang meluluhlantakkan hatinya, tapi aku tahu dalam hatinya menjerit dan menangis sejadi-jadinya. Aku bisa melihat, ada banyak air mata yang seakan mengkristal di sudut matanya. Dia berusaha menahannya karena dia tahu, dia harus menjadi sosok yang kuat untuk mendampingi dan menenangkan istrinya. Dia yang tak pernah lelah berjuang untuk kita, untuk keluarga. Kita belajar bagaimana menjadi pria darinya. Kita belajar untuk menjalani setiap waktu yang kita tempuh dengan penuh tanggungjawab melalui serangkaian contoh baik yang dia lakukan untuk kita. Laki-laki itu... ayah kita.
Kak Deka..
Lihatlah ada seorang anak laki-laki, yang meski dia bilang, “aku udah besar, aku bukan anak-anak”, tapi di mata kita dia tetap adik kita yang kecil, yang kadang manja. Umurnya baru menginjak tujuhbelas, tapi dia sering bertingkah seperti orang dewasa yang merasa punya hak untuk melakukan apa saja. Dia mungkin lupa, menyiapkan sarapannya pun masih saja aku yang mengerjakan karena dia belum bisa bertanggungjawab sepenuhnya atas dirinya. Dia jarang bersikap cengeng, kurang peka, bahkan untuk menelpon ibu pun masih sering aku ingatkan. Bukan dia tak rindu, bukan dia tak peduli. Sesungguhnya dia peduli pada kita, hanya saja gejolak darah mudanya membuatnya seperti apatis dengan sekitar. Tapi kali ini, aku seakan melihat sosok lain darinya. Dia mengurung diri di salah satu kamar. Aku intip dari balik pintu. Tatapannya kosong. Dia terpekur seakan sedang mengenang sosokmu. Dan yang membuatku menitikkan air mata untuk kesekian kali, aku melihatnya menangis, terisak, tapi dia benamkan wajahnya di atas lututnya yang menekuk dan ia dekap begitu kencang. Dia berusaha sekuat mungkin membendung tangisnya agar tak terdengar oleh orang lain. Remaja bandel itu... Axel... adik kita.
Kak Deka...
Lihatlah, anak laki-laki berusia lima tahun yang begitu kau banggakan. Yang akan kau bela mati-matian kala beberapa kali dia dikembalikan sekolah karena pihak sekolah merasa tak sanggup menangani anak itu. Mereka bilang anak itu tidak normal. Dan kau akan marah. Kau bilang, jika menjadi berbeda dikatakan tidak normal, jika memiliki kemampuan terbatas dalam berbicara diangap tidak normal, jika terlahir membawa suatu gen yang kita sendiri tidak punya kuasa untuk mengaturnya disebut tidak normal, jika seringkali flapping mengepakkan tangan untuk menyamankan diri sendiri dibilang tidak normal, lalu seperti apakah bentuk kenormalan yang seharusnya ada? Apa dengan tidak bisa menerima segala sesuatu yang kita anggap beda dan jauh dari jangkauan pemikiran kita sudah bisa menyebut diri kita normal?
Kau juga sering mengatakan, andai semua orang di dunia ini tahu suara hati anak autism mungkin mereka akan belajar untuk menerima. Seperti halnya dirimu yang awalnya belum bisa berdamai dengan kondisi buah hatimu, lalu akhirnya kau mampu menerimanya setelah mencoba merenungi perasaan anak-anak special yang mungkin jika mereka bisa berbicara lancar, mereka akan mengatakan,
“ My autism is part of who I am, not all of who I am.”
“Cahaya, suara, sentuhan, aroma, rasa makanan yang mungkin menurut kalian biasa saja, bahkan luput dari perhatian kalian, bisa menjadi sesuatu yang menyakitkan untuk kami. Kadang otakku tak bisa memfilter untuk semua input yang masuk, aku dalam keadaan overload, dan ini membuatku meraung, berteriak, menjerit, menangis, meltdown ini membuat kalian kewalahan. Aku juga tak suka tantrum, meltdown, atau agresif menyakiti diri atau menyerang kalian, tapi sungguh aku juga tak tahu caranya menyampaikan keinginanku.”
“I just want you try to focus on what I can do rather than what I can’t do.”
“And the last, please love me unconditionally.”
Dan kaupun mengerahkan segala yang kau bisa untuk memberikan dan melakukan yang terbaik untuk Gara. Kau ikut melanglangbuana kesana kemari untuk mencari dokter dan therapy center yang tepat untuk anakmu. Kau berikan dia makanan terbaik, kau perhatikan diet yang harus dia jalani, kau menjadi lebih rajin menabung untuk membiayai segala keperluan anakmu.
Kak Deka.... anak laki-laki yang sedari tadi menangis karena tidak nyaman berada di tengah banyak orang, yang mengepakkan tangannya berkali-kali, yang sempat berguling-guling di lantai... mungkin dia sudah tahu, bahwa mulai hari ini dan seterusnya akan menjadi hari yang berbeda untuknya. Semua tidak lagi sama... Anak itu.. Gara.. anakmu.. keponakan yang sangat aku sayangi.
Kau orang yang sangat baik kak. Terbukti dari banyaknya orang yang datang melayat. Bahkan teman-teman kuliahku, teman-teman SMA-ku yang dulu pernah mengenalmu juga datang, padahal banyak dari mereka yang sudah jarang bertemu denganku. Kabar meninggalnya kalian di media sosial menggiring mereka untuk datang ke sini. Dan ada satu sosok yang membuatku bergetar hebat adalah saat aku melihat wanita yang dulu pernah mengisi hatiku juga datang ke sini. Tapi ini sama sekali bukan moment yang tepat untuk bernostalgia. Aku justru menghindarinya karena sudah ada Shera yang kan menggantikan tempatnya di hatiku.
***
Shera’s POV.
Tamu-tamu perlahan berpamitan pulang. Suasana rumah tidak seramai tadi. Kami duduk di satu ruang besar namun hati kami seakan menyempit karena rasa kehilangan ini begitu menyesakkan. Di sini pula aku pertama kali bertemu dengan Rania. Dia tampak akrab dengan semua anggota keluarga, terlebih lagi dengan ibu mertua. Dia juga yang berjasa besar karena berhasil menenangkan Gara. Tampaknya Gara nyaman bersamanya. Dalam obrolan singkat kami tadi, Rania memiliki therapy center untuk ASD, dia juga ikut menjadi terapis di therapy center yang ia kelola. Aku ingat, Kendra pernah bercerita bahwa dulu Rania kuliah psikologi. Jadi wajar sekali dia mengambil pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Seperti sebuah kebetulan yang manis. Kendra memiliki ponakan ASD dan dia sangat kompeten di bidang terapi untuk ASD.
Melihat kedekatan Rania dengan keluarga Kendra menerbitkan perasaan yang aku sendiri tak tahu bagaimana menjelaskannya. Jika aku bilang dia mengancam posisiku tentu ini begitu kekanakkan mengingat posisiku lebih kuat karena aku sudah menjadi istri Kendra. Tapi mengetahui fakta Rania sudah memutuskan pertunangannya, ditambah melihat keakrabannya dengan ibu mertua dan Gara, membuatku berkecil hati. Secara status aku lebih kuat, tapi secara keintiman, dia yang lebih kuat. Bagaimanapun juga Rania bukan orang baru di keluarga Kendra. Dia sudah lebih dulu hadir dalam kehidupan Kendra, dan aku baru saja masuk ke kehidupan Kendra. Aku menikah dengan Kendra melalui perjodohan singkat dan aku merasa memang belum akrab dengan keluarga ini.
Tiba-tiba aku merasa menemukan kesedihan lain selain kehilangan kakak ipar. Aku sedih karena mungkin aku cemburu pada Rania. Dia lebih memesona dibanding fotonya. Benar-benar potret wanita sempurna dengan kecantikan ragawi, kecerdasan intelektual, lulusan S2 luar negeri yang katanya dalam waktu dekat akan melanjutkan S3nya, pekerjaannya bagus dan mulia karena membantu banyak anak istimewa dan dia juga ramah. Aku merasa kecil sekali jika dibandingkan dengannya.
Tiba-tiba Kendra menepuk bahuku. Aku menolehnya. Dia menggandeng tanganku dan menuntunku ke ruangan lain.
“Sher,”
“Ya Ken, ada apa?”
“Aku kepikiran untuk mengangkat Gara menjadi anak kita. Ibuku sudah terlalu tua untuk mengasuh Gara. Gara tidak memiliki kakek, nenek atau saudara dari ibunya karena kak Imelda adalah anak yang dibesarkan di panti asuhan dan tidak ada yang tahu siapa orangtua maupun keluarganya. Kak Imelda waktu bayi, ditemukan di toilet Masjid, tak ada yang tahu siapa yang membuangnya. Jadi keluargakulah yang memiliki hak sepenuhnya untuk mengasuh Gara. Kalau kamu setuju, aku ingin Gara tinggal bersama kita. Kamu tak perlu takut kehilangan pekerjaanmu. Kamu bisa tetap kerja, aku akan mencari therapy center yang fullday untuk Gara.”
Aku berpikir sebentar. Aku menyukai anak itu meski aku tahu tak mudah untuk mengasuhnya.
“Aku setuju Ken. Aku juga menyayangi Gara. Soal therapy center, kayaknya kamu nggak perlu mencari yang fullday. Aku mungkin akan mempertimbangkan untuk resign dari pekerjaanku. Aku juga ingin tahu bagaimana cara menerapi Gara di rumah, bukan sepenuhnya menyerahkan pada pihak lain. Aku juga ingin belajar menjadi ibu untuknya. Apalagi biaya untuk terapi fullday pasti mahal. Bukannya aku nggak mau berkorban uang untuk Gara, tapi aku berpikir kita bisa menghemat biaya dan mengalokasikan dana untuk kepentingan Gara yang lain, misal untuk terapi biomediknya, untuk makanan dan suplemen Gara. Kita ambil terapi yang seminggu tiga kali, sisanya aku akan mencoba home based therapy.”
Kendra tertegun beberapa detik, lalu tiba-tiba dia menarikku dalam pelukannya. Dan ini adalah pelukan pertama kami. Kubalas pelukannya, kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Dia mengecup keningku, dan ini adalah moment di mana dia mengecup keningku untuk pertama kali. Tak terasa ada setitik air yang membuat pipiku menghangat. Aku tak ingin kehilangan pria ini, tak peduli bagaimana pernikahan kami terjadi tanpa didasari cinta. Aku rasa perlahan aku mencintai pria ini dan aku tak mau kehilangannya.