Make friends with your husband’s ex-girlfriend, is it possible?

3828 Kata
Shera’s POV Aku membaca daftar makanan yang tidak boleh dikonsumsi Gara dalam buku catatan perkembangan Gara. Intinya Gara mesti menghindari gluten, kasein dan gula. Aku sudah menyingkirkan tepung terigu, mie, pasta, keju, s**u plain. Gula pasir dan merah aku tempatkan di toples dan kutulisi “sugar” dengan huruf kapital untuk mengingatkanku bahwa Gara tidak boleh mengkonsumsi gula. Telur juga akan selalu aku ingat sebagai makanan pencetus alergi yang jangan dulu diberikan pada Gara. Makanan laut tidak boleh diberikan pada Gara karena kandungan logamnya yang tinggi, terutama merkuri. Gara juga tidak boleh makan daging, ikan yang diawetkan, daging olahan, buah yang dikeringkan atau diawetkan, sebisa mungkin hindari sayur dan buah yang terkontaminasi pestisida, jadi kami membeli bahan makanan organik untuk Gara, sekaligus untuk keluarga lain. Biar praktis kami mengikuti makanannya Gara. Segala jenis jamur juga tidak boleh diberikan. Tempe juga harus dihindari karena pembuatannya menggunakan fermentasi ragi. Anak ASD kadang bermasalah dengan jamur di pencernaannya, jadi harus lebih berhati-hati memilih makanan yang terbentuk dengan bantuan fermentasi, termasuk kue yang dibuat dengan gula dan yeast. Aku melirik beras merah di lemari. Gara terbiasa mengkonsumsi beras merah. Kandungan gula pada beras putih itu banyak sekali, jadi lebih baik mengkonsumsi beras merah yang kandungan gulanya lebih rendah. Kuambil beras merah itu dan kucuci bersih, baru setelah itu dimasak di magicom. Soal memasak nasi aku mah bisa, ini soal gampang. Untuk lauknya Gara aku belum tahu mau masak apa, belum lagi masak untuk Axel dan Kendra. Aku bersyukur Kendra cekatan membantuku beres-beres. Dia tengah memakaikan baju pada Gara. Sempat ada drama menangis saat mandi tadi, alhamdulillah bisa diatasi. Selama memandikan Gara, Kendra meniup bola sabun yang mampu menarik perhatian Gara untuk menyentuh bola-bola sabun itu dan memecahkannya. Aku dengar mereka tertawa dengan riang. Aku putuskan masak sop. Ini bisa sekalian untuk orang serumah. Punya Gara diangkat terlebih dahulu, untuk yang lain tinggal ditambah gula dan merica bubuk. Ah, ternyata aku pintar juga mencari solusi bagaimana menghidangkan masak untuk satu keluarga dengan dua perlakuan yang berbeda. Aku senyum sendiri. Soal resep mah gampang, aku tadi sudah browsing dan menemukan resep sop yang cukup simple. Axel datang dan menatapku dengan terbengong-bengong. “Kamu bisa masak Sher?” “Aku udah jadi ibu sejak tadi malam, jadi aku harus bisa masak. Mumpung kamu di sini, tolong bacakan resepnya,” aku berikan smartphoneku pada Axel. Axel menatap resep yang terpampang di layar smartphoneku, hasil browsing tadi. “Siapkan bahan dan bumbu. Untuk bumbu halus menggunakan empat siung bawang putih, garam satu sendok teh dan merica secukupnya, semuanya diulek.” Axel membacakan kata demi kata. “Stop dulu, aku mau ngulek dulu.” “Kok cuma bawang putih ama garam yang diulek? Merica butirnya mana?” Axel melongok dan mengamati caraku mengulek bumbu. “Aku pakai merica bubuk, jadi tak perlu diulek. Nanti mau aku masukin belakangan. Gara tidak mengkonsumsi merica bubuk. Apalagi rasanya pedas kan?” “Lanjut Xel.” Ujarku lagi. “Masukkan daging dan rebus hingga empuk.” Aku turuti langkah-langkah di resep. Aku masukkan daging ayam organik yang sudah aku cincang. Beberapa menit kemudian. “Udah empuk belum dagingnya?” Axel bertanya tanpa menoleh. Dia sedang memainkan ponselnya sambil sesekali menyeruput jus apelnya. “Sepertinya udah. Ayo lanjut lagi.” “Masukkan irisan wortel dan kentang, jangan lupa masukkan bumbu halus. Tambahkan sejumput gula pasir. Menjelang matang masukkan brokoli dan bawang merah goreng.” Aku ikuti instruksi resep, kecuali untuk merica bubuk dan gula pasir. Aku tuang sop ke mangkok untuk Gara, sisanya yang masih ada di panci, aku tambah merica bubuk dan gula pasir. “Tadi sejumput gula pasir? Sejumput itu berapa sih Xel?” Axel menggeleng, “mana aku tahu soal begituan. Kak Kendra lebih tahu.” “Szzttt... jangan bilang-bilang ke kak Kendra. Ini surprise.” Aku masukkan gula pasir sesuai feeling saja. Menjelang matang masukkan brokoli dan bawang merah goreng. Alhamdulillah ada persediaan bawang goreng dari ibu mertua. Sebelum aku matikan apinya, aku cicipin dulu rasanya. Sepertinya sudah pas. Kendra datang bersama Gara. Axel langsung menggandeng Gara dan mengajaknya ke ruang tengah. “How about playing puzzle with me Gara?”Axel menyiapkan puzzle. “Axel kamu nggak sekolah?” Tanya Kendra dari dapur. “Libur kak, kelas 12 ada try out, jadi kita libur.” Jawab Axel sambil melirik ke arah kami lalu kembali mengajak Gara bermain. Kendra sudah rapi dengan kemejanya. Dia berjalan mendekat ke arahku. Semalam aku sudah tampil polos di depannya, tapi kenapa aku masih deg-degan seperti ini setiap kali dia mendekat. Dan sejujurnya ada rasa malu, tersipu jika mengingat semalam. Aku begitu kaku saat dia menciumku. That was my first kiss. Aku begitu gugup. Orang sering bilang malam pertama begitu menakjubkan dan indah. Tapi aku melewatinya dengan perasaan tak menentu. Aku bahagia bisa sedekat itu dengannya, tapi ada rasa takut dan cemas yang aku sendiri tak tahu bagaimana mendeskripsikannya. It was so emotional. I think everybody knows when a woman has s*x for the first time, it can be painful. And I didn’t enjoy it at all. It might be a reason why I cried last night, or I was too scared to lose my virginity? Bagi seorang perempuan, melepas keperawanan adalah satu keputusan besar dalam hidupnya, sekalipun untuk pasangan yang sudah halal. Itu adalah peristiwa yang sakral yang tentu saja akan terus membekas dalam ingatan. Aku sangat bersyukur, Kendra sosok yang begitu pengertian dan dewasa. He said, “if it hurts you a lot, we can stop it.” Ini juga pengalaman pertama untuknya. Aku rasa semalam aku telah mengecewakannya. Kendra terus menatapku dan tersenyum. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. “Ada apa Ken? Kenapa kamu senyum-senyum?” “Aku suka melihatmu belajar masak.” Aku tak menduga Kendra bakal memeluk pinggangku dari belakang dan dia mengecup leher dan pipiku. Aku cukup tersentak. “Makasih untuk semalam,” bisiknya lirih. “Ken ada Gara dan Axel. Jaga sikapmu.” Kuperhatikan Gara dan Axel yang sedang bermain puzzle. Mereka memang tidak melihat ke arah kami. Tapi aku takut kalau mereka tiba-tiba menoleh ke sini dan mendapati Kendra tengah memelukku. Kendra melepaskan pelukannya, “aku lupa.” Kami saling melempar senyum. Kurasa wajahku sudah memerah sekarang. “Sher, kamu mau mengantar Gara terapi kan?” “Iya Ken. Aku mungkin mau mampir ke coffee shop untuk bilang ke bosku kalau aku mau resign.” “Kamu bisa nyetir?” Tanyanya sambil menaikkan alis matanya. “Bisa, punya ayah mantan sopir angkot mah rugi kalau nggak belajar nyetir.” Kami tertawa kecil. “Kalau gitu kamu yang bawa mobil. Aku naik motor aja. Biar Gara lebih nyaman dan aman.” Aku mengangguk. “Kamu sarapan dulu ya. Tapi aku nggak tahu masakanku ini enak apa nggak. Sebenarnya aku minder sih. Kamu udah expert banget untuk urusan masak. Mungkin masakanku nggak ada apa-apanya di lidahmu.” Kendra tersenyum, “aku lebih menghargai usahamu Sher. Ayo sopnya bawa sini. Aku nggak sabar pingin makan.” Aku bersemangat menghidangkan sop ayam yang masih hangat ke hadapannya. Kupanggil Axel dan Gara untuk ikut bergabung. Kulihat Gara sudah terampil makan sendiri, meski kadang dia tampak berusaha menyeimbangkan tangannya untuk bisa memegang sendoknya dengan baik. Dan yang paling membuatku senang adalah dia sepertinya suka dengan masakanku. Kutengok Axel dan Kendra yang sedang memakan sopku. “Gimana rasanya?” Kendra dan Axel saling berpandangan. “Nggak enak ya?” “Untuk ukuran pemula, it’s not bad Sher,” jawab Axel tersenyum dan terus melanjutkan makannya. “It’s not bad, it means it’s not delicious.” Balasku. “I didn’t say like that.” Sela Axel. “It’s okay Xel. Aku menghargai kejujuranmu.” Kulemparkan senyum. “Apapun rasanya, makanan ini tetap enak buatku Sher. Karena di dalamnya ada bumbu cinta.” Kendra mengedipkan matanya padaku. “Ehemm...” Ledek Axel sambil mencibirkan bibirnya. Aku tertawa kecil. Kutoleh Gara. “Gara do you like it? Suka ama sopnya?” Gara tak menjawab, dia terus memakan sopnya. “Sepertinya Gara sangat menyukainya Sher. Lihat dia terus menyantap tanpa berhenti. “Syukurlah Ken. Aku sempet takut Gara nggak akan suka.” *** Kulajukan mobil dengan sangat hati-hati. Gara duduk di sebelahku. Sesekali aku lirik dia dan mengajaknya bicara meski dia tidak merespon. Dia memainkan mpbil-mobilan kecil berwarna merah. Sepertinya mobil-mobilan ini menjadi mainan favoritnya karena Gara sering sekali memainkannya. Kondisi jalan lumayan padat. Menjumpai keadaan jalan yang lengang seakan menjadi sesuatu yang sangat langka di kota ini. Lampu merah menyala, kuhentikan laju mobil. Suara truk yang berhenti di sebelah mobil menimbulkan suara bising dari gesekan rodanya karena rem mendadak. Tiba-tiba Gara berteriak hebat. Dia menjerit dan menangis. Dia menggigit jari-jarinya. Aku panik melihatnya mengamuk di dalam mobil. Sepertinya suara bising truk tadi telah mengganggunya. Aku lupa, Gara memiliki masalah sensori terhadap perabaan dan pendengaran. Kucoba memegangi tangan Gara agar tidak menggigit jari-jarinya. “Gara, everything’s gonna be alright. Don’t be afraid okay?” Gara semakin kencang menangis. Aku makin bingung. Suara klakson terdengar bersautan dari mobil-mobil yang ada di belakang. Aku pun melaju lagi. Gara belum bisa tenang. Kulihat sekeliling, mencari tempat yang memungkinkan untuk menepi. Kutepikan mobilku. Aku pun berhenti. Gara menendang-nendang dashboard dan masih meraung-raung. Kuputuskan untuk menelpon Kendra. Semoga saja dia sedang tak begitu sibuk dan bisa menjawab telponku. “Halo assalamu’alaikum Sher, ada apa? Bentar, aku dengar suara Gara nangis dan menjerit.” “Iya, Gara ngamuk. Tadi dia dengar suara bising dari truk yang ngerem mendadak.” Aku tidak bisa menutupi kecemasanku. “Jangan panik Sher. Tenang ya. Aku lupa tadi nggak ngasih tahu buat masang earphone ke telinganya Gara agar Gara tidak terganggu suara bising selama berkendara. Atau nyalain musik lembut di mobil ya, itu bisa menenangkannya.” “Okay makasih ya Ken. Aku coba nyalain musik yang lembut.” Kendra benar, setelah musik berirama lembut menenangkan mengalun, Gara pun menghentikan tendangan-tendangannya. Tangisnya berhenti. Dia tidak menjerit lagi. Selanjutnya dia memainkan mobil-mobilan merahnya. “Gimana Sher? Dia sepertinya sudah tenang ya? Aku nggak denger tangisan lagi.” “Iya alhamdulillah Ken, dia sudah tenang.” “Ya udah aku kerja lagi ya Sher. Be careful, i miss you Sher.” Dadaku berdebar mendengarnya mengucap I miss you. Ada getaran dan desiran yang seakan membuatku beku seketika. “Kamu beneran kangen aku? Kita baru pisah beberapa jam Ken.” “Beneran Sher. I think I start falling in love with you.” Rasanya bunga-bunga di hatiku yang sedari tadi kuncup, kini bermekaran satu per satu. Aku nggak bisa melukiskan dengan kata-kata, tapi aku sangat bahagia mendengarnya. Seperti terbang dan ini pertama kalinya aku bisa terbuai oleh kata-kata romantis. “I miss you too Ken.” “Give me a kiss please.” “Apa? Gimana caranya?” Aku tersenyum mendengar permintaan anehnya. “Like this, muach.” Telingaku serasa memanas. Kecupan Kendra dar ujung telepon terdengar seperti nyata. Aku masih bisa merasakan jejak bibirnya yang begitu kuat di bibirku. He is a good kisser. Dia melakukan dengan sangat baik semalam. Membayangkan kendra mengecup bibirku membuatku tersipu. Kutirukan cara Kendra mengecupku dari ujung telpon, “muach.” “Yang agak lama Sher, muaacccchhhhh.” Kulirik Gara. Mudah-mudahan dia tidak menertawakan kelakuan daddy dan mommynya yang nggak kalah dari remaja yang sedang kasmaran. “Kita kayak anak SMA aja Ken. Alay banget sih,” aku tertawa, “Ayolah Sher, sebelum aku tutup telponnya.” “Muuaaacchhhhh.” Akhirnya kuturuti permintaannya, meski sedikit geli juga. “Makasih Sher, muach.” Tut tut tut.. Telpon mati. Dan aku mematung dengan senyum yang tak lepas dari bibirku. Kendra yang biasanya bersikap dewasa, kali ini seperti remaja yang tengah dimabuk asmara. Aku seolah melihat sisi lain darinya. *** Akhirnya kami tiba di pelataran parkir therapy center milik Rania. “Children’s World, therapy center for autism spectrum disorder (ASD)” k****a plang besar yang berdiri gagah di sebelah pintu gerbang. Gedung therapy center ini cukup besar. Halamannya juga luas dan dihiasi banyak wahana permainan anak seperti perosotan, ayunan, terowongan, spider wall, dan masih banyak lagi. Ada pula taman kecil yang sepertinya khusus ditanami bunga-bunga dan beberapa pepohonan. Suasananya begitu menyenangkan dan aku yakin, anak-anak banyak yang menyukai suasana seperti ini. Kami berjalan memasuki gedung utama. Pandanganku dikejutkan pada sosok berambut panjang hitam legam yang ujungnya mengombak, mengenakan blazer warna coklat dipadu blouse putih yang memiliki aksen kerah berpita dan celana kain warna serupa dengan blazernya. Dia adalah figur yang menggambarkan bahwa bidadari itu nyata. Rania tersenyum dari kejauhan. Dia berjalan mendekati kami. “Hai Shera, Rania menjabat tanganku. Kemudian dia menyapa Gara, “hai Gara, nice to see you again.” Senyumnya selalu merekah dan ramah, berbeda sekali dengan sosoknya yang pernah menelpon mantan kekasihnya yang sudah jadi suami orang untuk sekedar curhat tentang patah hatinya. “Yuk kita masuk,” Rania mengurai senyum lagi dan merangkulku. Kami berjalan menuju salah satu ruangan. Rania mengambil beberapa lembar quesioner dan memintaku untuk mengisinya. Ada tentang biodata anak, penggunaan bahasa anak di rumah, apakah menggunakan bahasa Indonesia, english atau bilingual, tentang beberapa perkembangan motorik anak dan kendala yang dihadapi dalam mendidik anak. Kuserahkan buku catatan perkembangan Gara padanya untuk menentukan jenis terapi apa yang cocok untuk Gara. “Gara mengalami gangguan sensori perabaan dan pendengaran ya. Jadi nanti dia mengikuti terapi sensori integrasi. Gara juga punya echolalia dalam berkomunikasi, dia bisa ikut terapi wicara juga. Oya di sini ada empat terapi Sher, ada terapi sensori integrasi, terapi wicara, terapi ABA (Applied Behavior Analysis) dan terapi okupasi. Kamu mau ambil terapi apa aja?” Rania menjelaskan terapi-terapi yang akan dijalani Gara. “Aku ambil semuanya Ran.” “Okay, untuk hari pertama bagaimana kalau Gara terapi ABA? Aku yang akan menghandle sendiri karena aku spesialisasinya memang di ABA. Nanti untuk terapi yang lain, ada terapis lain yang akan membimbing Gara.” Aku pun setuju. Rania dan Gara duduk saling berhadapan. Rania meminta asistennya untuk menyiapkan alat peraga yang akan digunakan. Sebelum memulai dia menjelaskan sedikit tentang terapi ABA ini padaku. “Oya Sher terapi ABA ini adalah terapi yang dilaksanakan untuk mendidik dan mengembangkan kemampuan perilaku anak yang terhambat dan mengurangi perilaku yang tidak wajar, kemudian menggantikannya dengan perilaku yang bisa diterima masyarakat. Terapi ini bisa dibilang terapi dasar untuk anak autis yang belum bisa eye contact atau eye contact masih minim dan belum bisa duduk mandiri, karena dasar terapi ini adalah kepatuhan. Kepatuhan ini nanti diperlukan untuk mengikuti terapi yang lain.” Aku megangguk mendengar penjelasan dari Rania. Rania meletakkan mobil-mobilan, squishy berbentuk buah apel, dan robot mainan di atas meja. Gara masih asik dengan flappingnya. Rania memegang sebuah bola kecil berwarna merah. Dia mengangkat bola itu di sebelah matanya. “Gara look at this ball.” Gara belum mau melihat bola itu. Rania menyentuh kedua pipi Gara dan Gara beraksi menangkis tangan Rania. “Mungkin kamu bisa mencoba menggunakan kain handuk untuk menyentuhnya Rania, dia sensitif sekali dengan sentuhan. Sebenarnya dia hipersensitif di bagian belakang kepala dan telinga. Tapi mungkin kadang dia akan menolak disentuh di bagian lain.” Ujarku. “Dia merasa belum nyaman Sher, karena ini memang tempat baru.” Rania menggerakkan bola ke arah pandangan mata Gara. “Look at this ball Gara.” “Ball.. ball.. ball...” Gara menirukan. “Yes, look at this.” Rania mengangkat bola di sebelah matanya. Gara melihat bola itu, lalu perlahan Rania menurunkan bolanya. Dan Gara pun menatap mata Rania. Apa yang dilakukan Rania cukup berhasil mendapat eye contact dari Gara. “Okey Gara, look at these three toys in front of you. Which one do you like?” Rania mengangkat satu per satu, mulai dari mobil-mobilan, robot mainan dan squishy. “Which one do you like?” Gara menirukan sambil mengamati ketiga mainan itu. “A car, robot or squishy?” Balas Rania. Gara mengambil mobil-mobilan. Rania kembali mengambil mobil-mobilan itu dari Gara, “do you want it? I will give it to you after we play something okay?” Rania menyingkirkan robot dan squishy di lantai, sedang mobil-mobilannya ia letakkan di ujung meja. Sekarang Rania memegang kartu. Rania mengambil satu kartu dan menunjukkan pada Gara. Kartu itu bertuliskan “in”. Dalam buku catatan perkembangan Gara, Gara memang sudah bisa membaca meski belum begitu lancar. “What does this card say?” Gara menatap kartu itu, “in” “Good job,” Rania mengangkat tangannya dan menawari Gara untuk tos. Gara menyambutnya. Rania kembali mengangkat salah satu kartu bertuliskan what, “what about this?” “wa.. wa... wa..” ujar Gara. “What.” Rania membenarkan. “What.” Tiru Gara. “Good job.” “What about this one?” Rania mengangkat salah satu kartu lagi. “On.” Jawab Gara. “Good job,” Rania merespon dengan senyum. “Okay, where is your head?” “Where is your head?” Gara menirukan pertanyaan Rania. “Where is your head?” Tanya Rania sekali lagi. Gara memegang kepalanya. “Good job Gara.” Rania tersenyum mengembang. Aku ikut tersenyum. Aku tak menyangka kemampuan Gara sudah sebagus ini. Dan satu yang aku pelajari, apa yang dibilang Kendra memang benar. Anak autism memiliki kemampuan visual yang menonjol. Gara lebih mudah menangkap instruksi dengan media gambar. Rania meletakkan tiga kartu di atas meja, masing-masing bergambar kucing, sapi dan bebek. “Give me a cat please.” Ucap Rania. Gara mengambil kartu bergambar kucing. Lagi-lagi aku terkesima. “Good job Gara.” “Can you replicate a cat sounds?” Gara memutar matanya, pandangannya beralih ke segala sudut, seolah tampak sedang berpikir. “Meoowwww,” ucap Rania sambil mengangkat dua tangannya dan ia gerakkan membuka dan menutup. Gara menirukan, “meeoowww,” Mereka berdua tertawa. Ini pertama kali aku melihat Gara tertawa setelah kepergian ayah dan bundanya. Aku akui Rania hebat dan aku banyak belajar darinya dalam menghadapi Gara. Rania kembali meletakkan tiga kartu. Masing-masing bergambar sepasang sepatu, dasi dan baju. “I want a tie, can you give a tie for me?” “A tie for me... a tie for me..” Gara kembali dengan echolalianya. Namun akhirnya dia mengambil kartu bergambar dasi. “Good job.” Rania tersenyum. “Do you know how to wear a tie?” Tanya Rania lagi. Gara tempak bingung dan melayangkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Echolalianya muncul lagi, “wear a tie.. wear a tie.. wear a tie..” “Okay, on which part of the body do you wear tie?” Tanya Rania sambil mengangkat kartu bergambar dasi dan menunjukkannya di depan Gara. Gara memutar bola matanya, “neck?” “Yes you are right, Good job Gara.” Senyum Rania begitu merekah. “Where is your neck?” Tanya Rania. Gara memegang lehernya. “Good job” Rania tertawa. Lagi-lagi aku takjub. Aku tak menyangka kemampuan Gara sudah sehebat ini. Sepertinya komunikasi dengan media visual memang lebih mudah untuknya. Kosa katanya cukup bagus. Berbeda saat aku mengajaknya berkomunikasi tanpa peraga visual. Dia lebih banyak diam atau lebih sering echolalia. Bahkan kadang harus dituntun untuk mengucap sesuatu. Selanjutnya Rania meletakkan enam buah kartu di depan Gara. Dia membaginya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama masing bergambar sendok, gelas dan piring. Di kelompok kedua pun bergambar sama. “Okay Gara look at these cards. Can you match the cards in the left side with the cards in the right side? Choose the cards with the same image, okay?” Rania mengambil kartu bergambar piring di sebelah kanan. “Which of these cards have the same image?” Rania menunjukkan kartu bergambar piring. Gara mengambil kartu bergambar piring di sebelah kiri. “Good job.” Rania mengangkat tangannya untuk mengajak Gara tos. Gara tertawa, lalu menepukkan tangannya ke tangan Rania. Mereka begitu akrab. Gara bisa mencocokkan semua kartu. “Okay Gara, we have done it all, now you can get the prize.” Rania menyerahkan mainan mobil-mobilan yang sejak awal dipilih Gara untuk reward. Gara tersenyum lebar. “Please say...thank you.” Rania mengulas senyum. “Thank you.” Ucap Gara masih dengan senyum cerianya. “You are welcome smart boy.” Gara bermain-main di taman dengan mobil-mobilan hadiahnya. Aku dan Rania duduk di bangku memanjang sambil mengawasi Gara. Sebenarnya aku mau langsung pulang, tapi Rania menahan kami. Dia ingin berbicara sebentar. “Shera aku ingin tahu di mana kamu dan Kendra bertemu? Aku kaget mendengar kabar pernikahan kalian, karena setahuku Kendra nggak punya kekasih selepas putus dariku.” Aku mencerna pertanyaan Rania, dan aku mencoba mencari jawaban yang tepat. “Kami sebenarnya dijodohkan Ran. Tapi sebenarnya kami sudah pernah bertemu lima tahun yang lalu. Saat itu aku masih SMA.” “Oya? Sepertinya menarik. Apa kamu mau menceritakannya?” Kutatap wanita yang dulu pernah begitu istimewa di hati Kendra. Aku rasa wanita ini masih memiliki tempat yang spesial di hati Kendra meskipun tadi di telpon Kendra bilang sudah mulai jatuh cinta padaku. “Dulu aku pernah mengutil di minimarket ayah Kendra. Aku dulu remaja yang bandel Ran. Kendra memergokiku dan memintaku mengembalikan coklatnya, tapi aku malah lari. Kendra mengejarku. Aku terjebak di gang buntu. Dia meminta kartu identitasku, dan esoknya dia datang ke sekolah untuk melaporkan perbuatanku.” Rania tertawa, “lucu sekali ceritanya Sher.” Aku ikut tertawa. “Setelah kalian dipertemukan saat perjodohan, apa kalian saling jatuh cinta?” Aku tersenyum, “tidak Ran. Bahkan aku masih marah. Dia juga belum tertarik padaku. Cinta baru tumbuh setelah kami resmi menikah.” “Jadi kalian sudah saling jatuh cinta sekarang?” Ada tatapan menyelidik yang bisa aku tangkap dari cara Rania menatapku. “Aku mungkin sudah jatuh cinta. Tapi aku nggak tahu bagaimana perasaan Kendra. Tapi tadi di jalan, dia sempat bilang di telpon kalau dia mulai jatuh cinta padaku dan dia juga bilang dia kangen aku.” “What? Dia bilang kangen di telpon? Dulu saat kami masih pacaran, dia orangnya sangat kaku dan nggak pernah mengucapkan sesuatu yang romantis. Bahkan selama pacaran, dia nggak pernah berani macam-macam. Hanya pernah menggenggam tanganku. Itu juga jarang sekali. Aku kaget dia bisa menjadi seromantis itu.” Aku menelan ludah dan apa yang barusan aku dengar membuatku terperanjat. Rania bilang Kendra selama pacaran nggak pernah macam-macam dan hanya berani meggenggam tangannya, itu juga jarang sekali? Ini beneran? Aku pikir Kendra begitu berpengalaman. Dia seringkali merasa sok berpengalaman di depanku. Artinya ciumannya yang semalam itu adalah ciuman pertamanya juga? Tapi dia terlihat seperti sudah berpengalaman. Ah kenapa aku jadi naif. Manusia punya insting untuk melakukan hal-hal seperti itu meski belum pernah melakukannya sebelumnya. “Kamu beruntung mendapatkannya Sher, dia orang yang sangat baik dan setia.” Rania menggenggam tanganku. “Aku pernah menyesal telah memutuskan hubungan kami. Tapi sekarang tidak ada yang perlu disesali lagi. Aku ikut bahagia untuk kalian.” Rania menyunggingkan seulas senyum. Senyum yang aku tangkap sebagai senyum patah hati dan seperti ada rasa sakit yang ia sembunyikan di balik senyumnya. “Kita bisa berteman baik kan?” Tanya Rania. Aku bisa merasakan ketulusannya. Aku mengangguk, “tentu Ran. Kenapa tidak? Apalagi ke depannya aku bakal butuh bantuanmu untuk mendampingi Gara selama terapi.” Kami saling melempar senyum. Sepertinya aku sudah bisa menetralisir rasa cemburuku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN