Shera’s POV
Gara tertidur di perjalanan pulang dari tempat terapi. Safe belt yang melingkarinya cukup aman menahan tubuhnya. Kuingat cara Rania saat melakukan terapi untuk Gara. Aku akui dia hebat dan pintar mengambil hati Gara. Seolah semua potensi Gara diekspos saat itu juga. Sesuatu yang tidak aku lihat di rumah, bisa aku saksikan di tempat terapi. Atau mungkin aku yang kurang ahli menangani Gara. Ini wajar sih, mengingat aku belum pernah berpengalaman berinteraksi dengan anak ASD sebelumnya, sedang Rania, jam terbangnya sudah tinggi.
Aku berencana untuk mempraktekkan apa yang aku dapat dari therapy center di rumah. Mungkin aku harus lebih rajin lagi mencari informasi terkait ASD ini, terutama untuk home based therapy.
Akhirnya tiba juga di rumah. Gara masih terlelap, rasanya tak tega membangunkannya. Aku gendong Gara menuju ke dalam. Aku lihat ada beberapa pasang sepatu di teras. Sepertinya ada tamu, mungkin teman-teman Axel. Kuucap salam. Aku sedikit kesulitan membuka pintu. Terdengar jawaban salam dari wanita yang tak asing. Uwa Iyam membuka pintu dan tersenyum ramah menyambutku. Uwa Iyam hanya akan beres-beres rumah sampai sore, terkadang belum sampai sore sudah selesai. Dia datang ke sini tiga kali seminggu. Sebenarnya aku sudah meminta Kendra untuk tidak dulu menggunakan jasa asisten rumah tangga, aku bisa belajar mengerjakannya. Tapi Kendra tidak mau aku terlalu capek dan dia lebih menginginkanku fokus menemani Gara, bukan mengerjakan pekerjaan rumah.
“Gara tidur ya neng?”
“Iya wa. Oya ada tamu siapa wa?”
“Temen-temennya aa Axel neng,” jawab uwa Iyam.
Mereka tidak terlihat di ruang tamu maupun ruang tengah, mungkin ada di kamar.
Aku berjalan menapaki tangga dengan hati-hati masih sambil menggendong Gara. Kubuka pintu kamar Gara perlahan. Kubaringkan dia dengan hati-hati. Gara agak menggeliat sedikit, namun matanya masih terpejam. Dia kembali tenang. Tidurnya begitu lelap. Sesekali kudengar suara canda tawa dari bawah, dari kamar Axel. Aku beranjak menuju kamar. Rasanya ingin beristirahat sejenak.
***
Setengah jam kemudian aku menuruni tangga menuju dapur. Aku ingin memasak untuk makan malam nanti. Gara masih tidur. Sudah menjelang sore, tapi rasanya tak tega membangunkannya.
Saat aku melewati kamar Axel, kulihat suasana di dalam begitu berantakan. Gelas dan kemasan makanan ringan menumpuk di meja, tidak ada yang membersihkan. Uwa Iyam sepertinya sudah pulang. Kulihat Axel sedang tiduran di sofa menonton televisi. Teman-temannya sepertinya sudah pulang semua.
Aku masuk ke kamar Axel untuk mengambil kemasan-kemasan makanan ringan yang berserakan dan membereskan gelas-gelas yang sudah kosong juga. Kupungut kemasan itu satu per satu. Satu kemasan terjatuh di lantai. Saat hendak memungutnya, mataku tertumbuk pada sebuah benda kecil, seperti kemasan permen karet. Kuambil benda itu. Aku belum pernah melihat benda seperti ini sebelumnya. Kuamati baik-baik, ini permen karet atau apa? Kemasan persegi panjang kecil, seperti permen karet. Dipencet terasa lunak. Mataku terbelalak kala kudapati tulisan kecil berbunyi “kondom” di atas permukaan bungkusannya. Darahku seakan mendidih. Untuk apa Axel menyimpan benda seperti ini? Astaghfirullah... Segera kudekati Axel di ruang tengah dengan gejolak amarah yang ingin aku luapkan seketika.
“Axel.”
Axel terkesiap. Dia bangun dari rebahannya dan duduk menatapku.
“Ada apa Sher?”
“Bisa dijelasin nggak kenapa ada benda seperti ini di kamarmu?”
Axel tak kalah kaget. Wajahnya memerah. Dia mungkin tak menyangka aku bisa menemukan benda itu di kamarnya.
“Ini bukan punyaku Sher.”
Axel mencoba berkelit. Aku tak bisa memercayainya begitu saja.
“Kamu mau bilang ini punya salah satu dari temanmu yang tadi datang? Jangan banyak alasan Xel. Aku mau kamu jujur. Atau aku akan mengatakannya pada kakakmu.”
Axel berdiri dari duduknya, “jangan bawa kak Kendra Sher. Aku jujur, jujur sejujur-jujurnya, kondom ini bukan punyaku. Aku nggak pernah nyimpen barang beginian. Aku akui otakku itu kadang 90 persen eror-10 persen bener, atau 80 persen m***m-20 persen anak baik-baik, atau mungkin 90 persen isinya ngeres, sisanya isinya kimia biologi matematika. Tapi sumpah ya Sher, aku masih takut dosa buat nglakuin hal kayak gini. Aku pastikan ini punya salah satu dari temen aku. Kalau kamu nggak percaya, aku bakal hubungi mereka satu per satu.”
“Okay, aku kasih kamu kesempatan buat buktiin.” Aku masih ketus sambil bersedekap.
Axel mengambil smartphonenya dan tampak sibuk mengetik.
Kuhempaskan badanku di sofa sebelahnya. Aku duduk dengan tatapan awas tak lepas dari bocah tengil itu.
Kira-kira sepuluh menit kemudian, Axel menyerahkan smartphonenya padaku.
“Silakan dibaca semua chatku ama Bryan.”
Aku baca isi percakapan Axel dan temannya yang bernama Bryan itu.
Axel : woi, kondommu ketinggalan ya di kamarku? Tadi lo main bawa kondom?
Bryan : Apa iya? Gue tadi emang bawa kondom sih. Ntar gue cek di sakuku. Gue lagi di kostnya Amel.
Bryan : bener bro, kondom gue nggak ada di saku. Wah gawat, gak jadi nih.”
Axel : nggak jadi apanya?
Bryan : Ah lo kayak baru kenal gue semalam.
Axel : lain kali kalo main ke rumah orang ati-atilah. Gara-gara kondom sialan itu, kakak ipar gue marah-marah, gue dituduh yang nggak-nggak.
Bryan : maaf Xel. Besok kondomnya balikin ya, bawa ke sekolah.
Axel : kondomnya ada di kakak ipar gue. Hidup dibenerin dulu, pikirannya ke sana mulu.
Bryan : kayak hidup lo udah bener aja. Besok malam gue mau dugem. Rencananya mau nyari mangsa, buat ONS.
Axel : parah lo. Awas kena penyakit lo. Kalo kita clubbing bareng, lo ngotot mau ONS, mending keluar dari geng gue.
Bryan : yang penting gue ONS pas nggak bareng lo. Sesekali nyobain Xel, dijamin ketagihan. Ntar gue cariin yang perawan buat ONS pertama lo.
Axel : No, thanks
Aku sedikit pusing membacanya, “ONS itu apaan?” pekikku.
“One Night Stand,” jawab Axel datar.
“One night stand? Berdiri satu malam? Berdiri semalaman?”
Axel menggaruk kepala belakangnya dan menghela napas, “one night stand itu berhubungan seks untuk semalam saja. Selebihnya nggak ada kelanjutan, cuma buat have fun. Kadang malah pelaku ONS nggak kenal ama pasangan ONSnya.”
Aku terkejut bukan main seakan seperti tersengat listrik. Potret kehidupan remaja sekarang tuh kayak begini?
“Ya ampun, astaghfirullah. Parah amat Xel. Kamu temenan ama orang seperti ini? Yang otaknya cuma buat seneng-seneng, have fun nggak jelas? Pantes aja pikiran kamu kadang ngeres bin mesum.”
“Yang penting aku nggak ikut-ikutan.” Balasnya singkat.
“Pengaruh teman itu kuat banget Xel. Kadang kita dinilai dari siapa teman kita, dengan siapa kita bergaul.”
Axel bebalik menatapku tajam, “kamu dulu juga bandel kan? Temen-temenmu juga bandel-bandel. Kenapa kamu tetep temenan ama mereka?”
“Mereka mau brengseknya kayak apa, mereka nggak pernah ngajak yang buruk-buruk. Nggak pernah ngajak clubbing, nggak pernah ngajak minum, apalagi O-EN-ES segala. Lha temenmu tadi malah nawarin kamu buat nyoba ONS, bilang mau dicariin perawan juga. Ya ampun. Ini udah kelewatan Xel. Yang namanya teman sejati itu nggak akan menjerumuskan teman sendiri.”
“Dia cuma bercanda kok. Dia juga tahu aku nggak bakal kepengaruh.”
“Kamu harus tetep ati-ati Xel. Atau jangan-jangan pergaulan kamu ini yang bikin kamu jadi bandel dan suka bikin onar di sekolah? Kayaknya aku perlu ngobrolin ama Kendra tentang masalahmu ini. Coba kalau ayah ibu tahu kelakuanmu di sekolah kayak gimana, mereka pasti bakal sedih dan kecewa.”
Axel menggaruk kepala belakangnya lagi, “aku masih muda Sher. Aku ingin menikmati masa mudaku sesuai caraku.”
“Justru karena kamu masih muda, makanya kamu mesti mikir ribuan kali buat nyia-nyian masa mudamu. Aku pernah ada di posisimu ya Xel. Aku pernah berumur 17 tahun dan tahu banget gimana masa itu, aku pingin diakui eksistensinya, aku bertindak tanpa pikir panjang yang penting aku suka. Nyeselnya itu setelah lewat masa-masa itu Xel. Kenakalan-kenakalanku yang dulu, yang aku banggain, yang bikin aku tenar meski negatif, yang bikin eksistensiku diakui, yang bikin guru-guruku kalau ketemu aku pasti bilang, oh ini Shera yang dulu bandel banget, suka bolos dan berkelahi.. Semua itu nggak ada artinya lagi sekarang ini. Nggak ngasih manfaat apa-apa. Nggak bantuin aku buat belajar gimana ngurus Gara dengan baik, nggak dipakai buat jadi istri yang baik. Coba kalau dulu aku manfaatin waktuku buat hal-hal yang baik, misal jadi aktivis sosial untuk anak berkebutuhan khusus, mungkin saat ini aku bisa belajar dari pengalaman tentang bagaimana menghadapi Gara. Coba aku belajar binis dari dulu, mungkin sekarang aku udah punya usaha sendiri dan nggak perlu nglamar kerja kesana kemari. Pikirkan ke arah situ Xel.”
Axel diam terpekur. Aku harap dia bisa mencerna kata-kataku.
“Biarpun orangnya berantakan, tapi tolong ya kamarnya jangan dibikin berantakan. Kalau abis makan, sampah-sampahnya dibuang di tempatnya, gelas-gelas kosong ditaruh di dapur. Beresin semua sebelum kakakmu pulang.” Ujarku sedikit ketus.
“Iya, nanti aku beresin. Tapi kembaliin kondomnya, diminta ama Bryan.”
“Nggak. Kondom ini hanya boleh dipakai pasangan sah yang mau mengatur jarak kehamilan atau menunda kehamilan.”
“Kalian mau pakai? Nanti aku nggak dapet ponakan dong.”
Kulayangkan bantal kursi ke arahnya. Dia tertawa terkekeh.
***
Hari ini Kendra pulang lebih awal. Seusai Maghrib dia sudah tiba di rumah. Aku senang sekali menyambutnya pulang, berasa ditinggal lama sekali. Baru kali ini aku merasakan bagaimana aku bisa sedemikian bosan menghitung waktu dan seolah jarum jam bergerak lambat kala menunggunya. Rasanya lega tatkala melihat senyum mengembang di wajahnya. Aku memang pernah menyukai seseorang sebelum Kendra, tapi apa yang kurasakan terhadap Kendra sungguh jauh berbeda. Sepanjang hari aku selalu memikirkannya. Bagaimana dengan pekerjaannya? Di sana dia makan apa? Apa dia memikirkanku? Aku harus menahan jariku untuk mengetik pesan WA untuknya karena aku takut mengganggunya. Dia pernah bilang pekerjaannya begitu sibuk hingga ia kadang tak sempat memegang ponsel.
Ini pertama kali aku merasa berdebar hanya dengan mendengar deru motornya yang memasuki halaman. Hatiku membuncahkan rasa bahagia tiada terperi saat mendengar derap langkahnya memasuki rumah. Apa seperti ini rasanya benar-benar jatuh cinta?
Yang aku suka darinya adalah dia selalu menyukai apa yang aku masak untuknya. Meski dia tahu aku mendapatkan resepnya dari hasil browsing atau berselancar ke grup-grup masak di f*******:, tapi dia sangat menghargainya. Kadang ada orang meledek, enak ya punya suami chef, tiap hari dimasakin. Ehem, aku hanya bisa tersenyum. Ketika dia pulang ke rumah, masuk ke dapur adalah sesuatu hal yang tidak akan dilakukannya, dia sudah seharian mencium aroma dapur, tentunya dia ingin beristirahat. Dia biasanya masak saat pagi, itu juga jarang karena sudah ada aku yang menggantikan tugasnya. Jika weekend telah tiba, dia tak keberatan memasak menu favorit keluarga.
Malamnya setelah Kendra dan Axel pulang dari Masjid seusai sholat Isya, aku mencoba mengajak Gara mengulang kembali metode terapi yang tadi siang kami lalui. Sekaligus ingin memberi gambaran pada Kendra tentang terapi ABA ini. Gara sudah memiliki kartu sebagai media visual untuk berkomunikasi. Sepertinya kak Imelda rutin menggunakan kartu saat terapi sendiri di rumah.
“Gara.. now we learn about family, okay?”
Gara belum mau menatapku. Dia asik menggerakkan mobil-mobilannya maju mundur.
Kucoba menarik perhatiannya dengan menunjukkan helikopter mainan.
“Look at this Gara, do you want to fly with me?” Aku gerakkan helikopter itu ke kanan dan ke kiri. Gara mulai memerhatikan ke arah helikopter. Aku hentikan helikopter di sebelah mataku.
“Look at me Gara.”
Gara menatapku sepersekian detik. Ini sudah cukup baik. Kendra dan Axel duduk di sofa mengamati kami.
Aku memperlihatkan fotoku di smartphone kepadanya.
“Who is this?”
“Who is this?” Gara menirukan pertanyaannya.
“This is your mommy. Mommy..”
“Mommy,” Tiru Gara.
“Good job.” Aku tersenyum.
Ada perasaan bahagia sekaligus haru mendengarnya mengucap mommy meski dituntun.
Lalu kuraih tangannya dan kuletakkan di dadaku.
“This is mommy. I’m your mommy.”
“Mommy.” Gara menirukan.
“Yes I am your mommy.”
“Who am I Gara?” Kucoba bertanya lagi. Gara mulai hilang fokus lagi dan tak ada eye contact lagi. Kesulitan menghadapinya ini memang selalu seputar memusatkan perhatian dan mendapat eye contactnya. Gara kembali memainkan mobil-mobilan merahnya.
Kali ini aku coba menarik perhatiannya lagi dengan bertepuk tangan.
“Gara, look at me please.”
Kutepukkan tanganku di depan wajahnya. Dia mau melihatnya. Aku angkat tanganku ke depan wajahku sampai akhirnya matanya mengikuti ke arah mana tanganku berhenti. Aku mendapat eye contactnya lagi. Bagian terpenting mengajari anak autism berkomunikasi adalah membuatnya mau berkomunikasi dua arah.
Aku tunjukkan foto Kendra di depan wajahnya.
“This is daddy.”
“Daddy,” tirunya.
Aku lirik Kendra, “Sini Ken.”
Kendra beranjak dari tempatnya dan duduk di sebelahku. Aku raih tangan Gara dan kuletakkan di d**a Kendra.
“He is your daddy.”
Gara mengamati Kendra dan dia menyipitkan matanya. Dia diam saja.
“Daddy,” aku coba mengarahkannya. Dia masih membisu.
Kendra mengambil alih tanganku yang sedang memegang tangan Gara. Gantian dia yang menggenggam tangan Gara.
“I am your daddy now. You may ask why you should call me daddy, because you used to call me “om Kendra”. The situation is different now. I will explain everything after you can understand it. Kamu akan memahaminya suatu saat nanti.”
“I am your daddy.” Ucap Kendra lagi.
“I’m your daddy.” Tiru Gara.
“Daddy.” Ujar Kendra.
“Daddy,” balas Gara.
“Good job,” Kendra tersenyum dan mengelus pipi Gara. Gara sedikit tersenyum.
Aku mulai memainkan beberapa kartu. Kendra masih duduk di sebelahku. Bahkan Axel juga ikutan melihat dari dekat. Aku letakkan tiga buah kartu di depannya, masing-masing bergambar apel, pisang dan anggur. Aku juga melatakkan buah real di bagian meja lain, apel, pisang dan anggur.
“Gara look at these cards.” Aku tunjukkan ketiga kartu itu di depannya.
“Give me apple please.”
Gara mengambil sebuah kartu. Dia mengambil kartu bergambar apel. Axel dan Kendra bertepuk tangan.
“Good job Gara.” Kataku sambil tersenyum.
Aku letakkan tiga buah real di sebelah kartu-kartunya.
“Can you show me where is apple?”
Aku tunjukkan kartu bergambar apel di depannya. Dia sudah mengamati ketiga buah itu sekarang. Penting untuknya tahu bahwa objek yang ada di kartu adalah objek yang real, yang bisa ia temukan di sekitarnya. Agak lama, tapi Gara berhasil mengambil sebuah apel.
“Good job Gara,” senyumku pun merekah.
Aku kembali memintanya untuk mengambil salah satu kartu bergambar pisang. Kali ini Gara sudah tak mau memerhatikan. Mungkin dia sudah bosan.
“Gara please look at these cards. I still want to play with you.”
Gara malah asik bermain mobil-mobilan dan mengambil lego yang ada di sebelah sofa.
“Gara, don’t make me look like a failed therapist please.”
Axel tertawa kecil, “usahamu udah bagus banget kok Sher.” Dia lalu beranjak mendekat ke arah Gara.
“Tapi tadi siang, dia mau bermain lama dengan Rania. Apa aku ini membosankan? Aku ini mommynya kan? Tapi kenapa aku nggak bisa membuatnya mau bermain lebih lama denganku.”
“Semua butuh proses dan waktu Sher. Dia juga perlu waktu untuk lebih mengenalmu dan beradaptasi juga dengan posisiku sebagai daddynya sekarang. Anak auitsm punya pola atau jadwal yang rutin dan berulang, bila terjadi perubahan, ini akan membuatnya tak nyaman bahkan juga berontak. Dia memang kurang flesksibel dengan perubahan Sher. Dia sedang menghadapinya sekarang. Dia terbiasa melihat ayah bundanya. Dia terbiasa full home based therapy dengan bundanya. Sekarang dia punya kegiatan baru ke therapy center bersama seseorang yang sekarang menjadi mommynya. Dia juga harus memanggilku dengan sebutan daddy, padahal sebelumnya dia mengenalku sebagai om-nya. Dia telah kehilangan banyak terutama moment bersama ayah bundanya yang sudah tidak mungkin lagi dia lalui. Kita mesti bersyukur karena dia tak sampai tantrum, berontak atau mengamuk dengan perubahan ini.”
Aku mengangguk, “ya Ken. Aku harus belajar untuk lebih memahaminya. Aku akan berusaha yang terbaik yang aku bisa untuk menjadi ibu yang baik untuknya. I’ll do my best.”
Kendra mendaratkan kecupan di keningku. Untuk kesekian kali aku seperti membeku, tak berkutik dan aku masih saja deg-degan setiap kali dia melakukan kontak fisik denganku