Kendra’s POV
Aku mengamati Shera yang tengah menyisir rambutnya dan bercermin. Sepertinya dia sudah tidak risih lagi mengenakan baju tidur yang agak tipis saat berdua denganku di kamar. Kemarin malam adalah pengalaman menakjubkan untuk kami. Meski aku jadi agak takut juga untuk memulai lagi malam ini karena dia sempat menangis lirih kemarin. Apa malam pertama bagi perempuan itu sangat menyakitkan? Mungkin aku harus menunggu sampai dia benar-benar siap.
Dia mungkin tak tahu. Ciuman kami itu bukan hanya ciuman pertama untuknya tapi juga untukku. Selama berpacaran dengan Rania dulu, aku memang jauh dari romantis, kaku dan aku enggan bersentuhan fisik dengannya selain menggenggam tangannya, itu juga jarang. Aku selalu teringat nasihat kak Deka untuk nggak macam-macam dengan anak gadis orang sebelum dia resmi kita nikahi. Mungkin karena itu Rania bosan denganku. Aku selalu tutup kuping. Sebelum Rania memutuskanku, banyak selentingan kabar tentang kedekatannya dengan seorang dokter muda. Dan semua itu terbukti setelah dua bulan kami putus, dia sudah resmi jalan dengan dokter muda itu. Aduh, kenapa aku masih mengingat masa lalu. Sekarang ini aku harus fokus pada istriku.
Shera duduk di sebelahku. Kami menyandarkan punggung kami di tembok. Kami saling menatap. Tiba-tiba suasana jadi agak canggung. Sebenarnya aku ingin mengulang lagi malam kemarin, tapi aku takut Shera tidak menginginkannya.
“Ken.”
“Ya Sher.”
“Aku ingin ngobrol banyak malam ini.”
Sebelum tidur, kami memang biasa pillow talk. Aku sih berharap, pillow talk ini akan berujung ke hal lain. Tapi mendengarnya mau mengobrol banyak, kayaknya harapanku untuk bisa meneruskan malam kemarin harus pupus. Tak apa sih, dia juga kayaknya belum siap untuk memulai lagi.
“Cerita aja Sher.” Aku tersenyum ke arahnya.
“Tapi kamu nggak ngantuk kan? Kamu nggak capek?”
Aku menggeleng, “aku sudah menantikan saat-saat bisa berduaan sama kamu sejak di tempat kerja. Aku bisa nunggu sampai Gara tidur. Masa iya aku harus melewatkan kesempatan ini.” Kulirik rok gaun tidurnya yang agak tersingkap di atas lututnya. Sabar Ken..
Shera tersenyum dan tersipu.
“Ehm, ada banyak yang mau aku ceritain. Pertama soal terapinya Gara, soal Rania, dan soal Axel juga. Kamu mau aku cerita apa dulu?”
“Ya soal anak kita lah Sher. Aku pingin tahu juga gimana hasil terapinya.”
Shera mengambil bantal dan ia letakkan di atas pahanya. Hmm, sepertinya dia tahu, mataku sedari tadi jelalatan ke sana.
“Gara waktu diterapi di sana tuh hebat banget Ken. Aku lihat kosakatanya sudah bagus. Memang echolalianya masih sering muncul. Tapi dia sudah bisa merespon setiap pertanyaan dan menjawabnya. Jadi memang ya penggunaan alat peraga visual itu sangat membantu kita untuk berkomunikasi dengan anak ASD.”
“Iya Sher. Dulu aku sering lihat kak Imelda berkomunikasi menggunakan kartu bergambar dengan Gara. Tapi pastikan gambar-gambar itu sudah Gara kenal atau sudah pernah Gara lihat. Kalau gambar objek itu masih asing untuk Gara, juga bakal susah. Makanya mengenalkan Gara pada objek yang ada di sekitarnya juga penting.”
Shera mengangguk, “Rania juga hebat sih. Dia berhasil membuat Gara melihatnya. Eye contactnya selama terapi cukup bagus. Gara juga beberapa kali tertawa. Kayaknya kemampuan bahasa Gara cukup bagus ya Ken. Dari yang aku baca, setiap anak ASD memiliki kelebihan masing-masing. Ada yang kemampuan berbahasa dan sosialnya bagus, tapi kemampuan matematikanya kurang. Ada yang bahasanya kurang bagus, tapi kemampuan matematika bagus banget. Ada yang kognitifnya bagus, tapi motoriknya lemah banget. Nah aku belum mengenali semua potensi Gara. Aku baru menemukan kelebihannya di bahasanya yang cukup bagus. Aku rasa semakin sering diterapi, kemampuan sosialisasinya pasti akan makin bagus juga. Beberapa kali dia sudah bisa diajak komunikasi dua arah, meski cuma sebentar, tapi ini pertanda bagus.”
Aku senang mendengar cerita Shera. Sepertinya dia benar-benar menganalisa Gara untuk bisa memahami karakter Gara beserta segala kelebihan dan kekurangannya. Aku merasa, aku beruntung menemukan wanita ini, meski pertemuan pertama kami dulu, begitu tak terduga dan sama sekali bukan pertemuan yang manis apalagi romantis.
“Iya Sher, kemampuan berbahasa Gara memang cukup bagus. Dia bisa memahami bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Setahuku, motorik halusnya Gara masih lemah. Dia belum bisa mewarnai dengan rapi. Jadi setiap mewarnai, warnanya pasti keluar garis. Seolah dia sulit membedakan bagian mana yang harus diwarnai, mana yang dibiarkan kosong. Kemampuan menulisnya juga masih lemah dan harus dilatih serius, apalagi dia sudah lima tahun. Kenapa kak Imelda memilih homeschooling untuk Gara karena Gara sudah beberapa kali dimasukkan ke sekolah, baik sekolah umum maupun inklusi, tapi selalu saja dikembalikan, alasannya guru-gurunya merasa tidak sanggup mengajar Gara. Selain karena Gara kadang tantrum, kalau sedang tertekan dia bisa agresif melukai diri atau orang lain, hipersensitif terhadap perabaan dan pendengaran yang kurang dimaklumi oleh orang lain, kemampuan menulis Gara juga lemah sekali. Jadi dia selalu tidak bisa mengikuti kegiatan menulis.”
“Ini bakal jadi PR buat aku, gimana caranya bikin Gara senang belajar menulis. Kalau nanti Gara udah bisa menulis lebih baik, udah banyak kemajuan, mungkin kita bisa mulai lagi mencari sekolah inklusi untuk Gara.”
Aku mengangguk, “iya Sher. Aku yakin kamu pasti bisa memberikan yang terbaik untuk Gara. Kita akan berjuang bersama.”
“Oya Ken, aku ingin bisa seperti Rania yang pintar mengambil hati Gara. Mereka akrab dan tertawa bersama. Aku juga ingin seperti itu. Kayaknya aku dan Gara belum pernah ketawa-ketawa bareng dan belum bisa seakrab Rania.”
Kulihat sinar wajahnya seakan meredup karena mungkin dia merasa sedih belum bisa menjalin keakraban dengan Gara.
“Jangan sedih gitu Sher. Semua hanya soal proses dan waktu. Lama-lama Gara akan terbiasa dengan kebersamaan kalian.”
Shera menghela napas. Semakin aku menatapnya, dia semakin terlihat menarik. Dia menoleh padaku dan aku agak salah tingkah karena kepergok tengah mencuri pandang ke arahnya.
“Oya Ken, aku sempat ngobrol ama Rania. Dia lumayan kepo lho tentang cerita kita kenapa kita bisa menikah.”
Aku tidak lagi merasakan getaran atau desiran apapun saat mendengar namanya. Apa itu artinya perlahan aku sudah bisa menghapus jejaknya dari hatiku?
“Dia bilang dia kaget mendengar berita pernikahanmu karena setahu dia kamu nggak punya pacar lagi pasca kalian putus, jadi dia ingin tahu gimana awal kita ketemu.”
“Terus kamu bilang apa?” Aku penasaran juga apa yang dikatakan Shera untuk menjawab pertanyaan Rania.
“Aku bilang, kita dijodohkan. Tapi sebenarnya kita udah bertemu lima tahun yang lalu. Dia sempat kepo tentang pertemuan kita lima tahun yang lalu. Aku ceritakan semuanya dan dia sempat tertawa, karena cerita kita lucu. Terus dia juga sempat nanya, apa kita saling jatuh cinta.”
Aku terkesiap. Rania kepo untuk hal sensitif seperti itu.
“Jawaban kamu apa?”
“Ehm rahasia.”
“Kok rahasia sih?” Aku jadi penasaran juga dengan jawaban Shera.
“Ini pembicaraan antar perempuan. Tapi aku berkesimpulan kalau Rania masih ada perasaan sama kamu dan dia sempat menyesali keputusannya untuk meninggalkanmu.” Shera memandang tajam padaku seakan ingin menyelidiki seperti apa reaksiku menanggapi pernyataannya. Entah dia menyesali atau tidak, semua itu sudah tak lagi penting untukku.
“Kenapa kamu diam Ken?”
Aku menatap Shera tajam, “dengar ya Sher. Aku nggak peduli dengan perasaannya. Semua sudah berlalu. Saat ini yang terpenting adalah kita, aku, kamu, Gara. Ini kehidupanku sekarang. Rania hanya cerita cinta yang pernah singgah di masa lalu.”
“Jadi kamu sudah benar-benar nggak ada perasaan sama dia Ken?”
Pertanyaan Shera sebenarnya sulit untuk kujawab. Aku tak bisa mendefinisikan seperti apa perasaanku terhadap Rania, tapi yang pasti aku sudah mulai mencintai Shera.
“Apa ini penting untukmu? Aku mulai mencintaimu Sher.”
“Penting karena aku nggak mau kamu menyimpan perasaan sedikit pun padanya. Dan waktu kamu bilang kamu mulai mencintaiku, seakan aku tahu satu fakta bahwa seseorang mungkin bisa mencintai orang yang baru, tapi di dasar hatinya masih ada sedikit rasa untuk masa lalunya. Dan aku nggak kan menuntutmu untuk benar-benar mencintaiku penuh, nggak terbagi dengan sosok lain, karena semua emang perlu waktu.”
Aku meraih tangan Shera dan kugenggam dengan erat.
“Aku memang nggak tahu sebesar apa perasaanku padamu. Aku belum bisa bilang bahwa hati aku sepenuhnya untukmu atau tidak. Tapi saat ini aku sedang bahagia-bahagianya karena aku masih bisa membuka hatiku dan merasakan indahnya mencintai seseorang setelah sekian lama aku pikir aku nggak bisa jatuh cinta lagi. Aku lagi seneng-senengnya ngrasain gimana berbunga-bunganya saat aku kangen ama kamu, mikirin kamu, berada di dekat kamu, denger suara kamu meski cuma di telpon, denger muach kamu di telpon, lihat kamu lagi setelah seharian kerja, bisa berduaan seperti ini lagi, aku sedang menikmati proses ini, jadi jangan pernah melibatkan masa lalu lagi. Aku nggak mau apa yang aku rasain saat ini dirusak oleh kenangan masa lalu.”
Kami saling menatap. Dia mengulas senyumnya.
“Aku nggak bermaksud melibatkan masa lalu. Cuma bagi perempuan, terkadang kami hanya ingin tahu apa pasangan kami benar-benar mencintai kami sepenuhnya. Jadi jangan heran kalau seorang perempuan bisa bertanya hal yang sama dan berulang-ulang pada pasangannya, “kamu sayang nggak sih sama aku?” Atau “kamu cinta sama aku nggak?” Ini bukan echolalia ya.. Tapi ini semata karena perempuan ingin ketegasan bahwa pasangannya memang mencintainya. Ada perasaan bahagia dan tenang ketika dia tahu bahwa pasangannya masih dan akan selalu mencintainya apapun yang terjadi.”
Aku bisa memahami penjelasan dari Shera. Bukan hanya perempuan yang berpikir seperti itu, bagi laki-laki pun penting untuknya tahu bagaimana perasaan pasangannya terhadapnya. Kucoba mendekatkan wajahku padanya. Setidaknya kalau malam ini tidak berakhir intim, aku masih bisa mendapatkan ciumannya.
“Oya Ken, ada satu lagi yang mau aku omongin.”
Aku pun berhenti. Apa tidak bisa diselingi dulu. Aku merutuk dalam hati.
“Ini soal Axel.”
“Apa dia bikin ulah lagi Sher?”
“Tapi kamu janji, jangan buru-buru marah.”
“Emang dia kenapa sih?” Aku jadi makin penasaran. Awas kalau dia sampai bikin onar lagi.
“Janji dulu please. Kami udah bicara dan kayaknya dia udah mengerti. Aku harap kamu jangan bereaksi apa-apa sebelum aku selesai bercerita.”
“Okay Sher.”
“Tadi siang teman-teman Axel main ke sini. Mereka ngobrol di kamar. Jadi setelah mereka pulang, keadaan kamar Axel berantakan karena sampah-sampah makanan kemasan. Waktu aku memungut kemasan-kemasan itu, aku menemukan sesuatu. Aku pikir itu permen karet, pas aku baca, aku shock. Ternyata itu kondom.”
Aku langsung kaget setengah mati, “apa? Anak itu nyimpen barang kayak gitu di kamarnya?” Sungguh ini seperti disambar halilintar di siang bolong.
“Kamu janji nggak akan marah dulu. Dengerin aku sampai selesai.”
Aku mencoba menenangkan pikiranku. Rasanya api di dalam hatiku berkobar dengan besarnya dan sulit untuk dipadamkan.
“Aku tanya ke Axel, untuk apa dia nyimpen barang itu di kamarnya. Dia bilang kondom itu bukan punya dia dan itu milik dari salah satu temennya yang tadi siang datang. Dia WA semua temannya itu, dan dia menunjukkan percakapan dia dengan salah satu temannya yang memiliki kondom itu. Jadi benar, kondom itu punya temannya. Dia nggak sengaja menjatuhkan di lantai kamar Axel. Yang bikin aku miris dan mengkhawatirkan Axel, temannya ini pergaulannya udah parah banget. Jadi dia itu sengaja beli kondom buat persiapan one night stand. Aku baru tahu istilah one night stand ya dari Axel tadi. Aku cuma takut Axel akan terpengaruh. Dia sih bilangnya nggak akan kepengaruh. Tapi yang namanya anak muda kan rasa penasarannya tinggi, apalagi kalau yang berbau negatif gini, cepat menyebarnya dan banyak yang terbawa arus.”
Aku memejamkan mata sebentar. Aku kadang nggak paham akan jalan pikiran Axel. Dia sepertinya berat meninggalkan teman-temannya yang nggak bener itu. Sudah berulang kali aku menasehatinya tapi sepertinya hanya numpang masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Dia selalu berbuat ulah. Musuhnya ada dimana-mana. Aku sampai bingung bagaimana cara membuatnya jadi anak manis, anak baik, nggak neko-neko. Diantara kami bertiga, dia anak yang paling bandel. Kelakuan badboynya ini sama sekali nggak sinkron dengan muka cutenya yang kadang bikin aku nggak tega buat marah-marah karena dia selalu memasang tampang innocent, memelas. Tapi kali ini aku harus tegas, sangat tegas terhadapnya.
“Ken?”
“Ya Sher, aku lagi mikirin gimana nanti aku bicara sama Axel.”
“Saat nanti kamu bicara sama Axel, jangan kedepankan amarah ya. Remaja sekarang makin dimarahi, makin dikerasi malah akan makin berontak.”
Aku mengangguk pelan.
“Kamu udah ngantuk belum Ken? Tidur yuk.”
Udah segini aja? Yah, aku berharap ada kelanjutan lebih.
“Kamu masih ingin kita....” Shera tidak melanjutkan kata-katanya. Sepertinya dia tahu apa yang aku pikirkan.
“Ehm enggak..eh iya...eh tapi terserah kamu Sher.”
“Aku boleh jujur?” Tanya Shera. Aku terhenyak. Kejujuran apa yang ingin dia ungkapkan.
“Jujur apa Sher?”
“Sebenarnya aku agak stres memikirkan malam pertama kita yang sepertinya gagal. Nggak seindah di film-film atau novel. Aku mengecewakanmu. Aku jadi cemas dan takut untuk melakukannya lagi. Tapi aku juga ingin mencobanya lagi.”
Aku menghela napas, “kamu nggak perlu stres dan takut Sher. Kamu harus rileks dan ikhlas. Mungkin karena aku laki-laki, jadi aku lebih santai menghadapi ini. Aku nggak tahu bahwa bagi perempuan malam pertama bisa menjadi sesuatu yang membuatnya takut, cemas dan sampai stres. Aku nggak akan menuntutmu apa-apa. Aku juga nggak mau egois. Jalani saja seperti air mengalir ya. Jangan terbebani dengan apapun, okay?” Aku tersenyum padanya dan kukecup keningnya begitu dalam. Dia tersenyum dan tak kusangka-sangka dia daratkan kecupan di bibirku.
Malam ini dia tidur dalam pelukanku. Dan aku takkan melepaskan pelukanku hingga pagi. Akan kupastikan dia merasa hangat dan nyaman. Aku mencintainya.
***