Shera’s POV
Weekend adalah moment yang paling aku nantikan. Memang sih, Kendra tak selalu libur saat weekend, tapi aku bisa meluangkan waktu lebih banyak untuk membuat alat peraga untuk Gara. Axel yang libur siap menjaga Gara, saat aku menyelesaikan pekerjaanku. Beruntung kali ini Kendra libur jadi suasana rumah terasa lebih ramai. Kendra memasak beef steak untuk kami. Benar- benar menu yang spesial. Dia juga membuat pancake pisang dari tepung non gluten tanpa telur untuk cemilan Gara.
Banyak hal baik terjadi dua pekan ini. Gara sudah mendapat jadwal terapi dari therapy center. Dan aku membuatkan jadwal sederhana untuknya tentang terapi yang akan dia jalani baik di therapy center maupun di rumah. Pembuatan jadwal sangat penting untuk anak autism, karena hal ini akan membuatnya mudah dalam memprediksi pekerjaan apa yang akan dilakukan. Dia terbiasa hidup dalam pola yang teratur. Jika ada perubahan, itu sama saja ada yang berubah dari dunianya dan itu membuatnya tak nyaman. Itulah kenapa anak autism sering dibilang sibuk dengan dunianya sendiri, tak peduli dengan sekitarnya, karena pola hidup yang repetitif dan berulang bagi anak autism ini memang sudah menjadi bagian dari dunianya yang menjadikannya istimewa. Ketika kita berharap mereka fleksibel dengan perubahan, maka sama saja kita meminta orang tuna netra untuk melihat. Hal ini akan sangat menyulitkannya.
Gara mulai antusias setiap kali kami datang ke therapy center. Dia sudah menjalani terapi okupasi dan wicara. Kemarin dia berlatih meronce (membuat kalung manik-manik) untuk terapi okupasinya. Selain itu dia juga berlatih koordinasi tangan dan fokusnya dengan menjumput biji kedelai dan memasukkannya ke dalam wadah. Aktivitas menjumput ini bermanfaat untuk latihan pre-writing, melatih tangan untuk persiapan belajar menulis. Aku memang ingin Gara sedikit demi sedikit bisa belajar menulis lebih baik. Aku pun mencari banyak informasi mengenai mainan edukatif yang bisa mendukung terapi yang dijalani Gara. Dari hasil browsing, aku tertarik untuk membuat busy book. Aku rasa media ini cocok untuk belajar Gara. Setiap Gara tidur siang atau saat menunggu Kendra yang lembur, aku memanfaatkan waktu untuk menjahit busy book. Semuanya aku pelajari secara otodidak dengan hanya melihat caranya di internet.
Terapi okupasi ini tidak hanya identik dengan melatih motorik halus seperti menulis, menggambar dan aktivitas lain yang butuh konsentrasi lebih, tapi juga terkait pekerjaan lain seperti self care (perawatan diri) yang meliputi memakai baju, belajar memasang tali sepatu dan lain-lain. Hari ini rencananya aku akan mengajak Gara untuk melakukan terapi okupasi di rumah.
Hubunganku dan Kendra juga semakin hangat. Aku sudah tak lagi merasa takut atau cemas setiap kami menghabiskan malam-malam romantis kami. Semua sudah lebih baik dan menakjubkan. Bahkan aku sering memergoki Kendra diam-diam mengecup keningku kala aku tidur. Aku bisa merasakannya namun aku pura-pura tetap terlelap sambil merasakan kecupan lembut dan pelukan hangatnya. Pernah suatu waktu, aku terbangun dan aku sudah mendapati wajahnya di depan wajahku. Dia tengah menatapku, seakan menelisik setiap detail wajahku dengan senyum lembutnya. He is a romantic husband.
Kendra tengah menyiapkan pancake untuk Gara. Aku duduk mengamatinya. Dia terlihat keren saat sedang memasak. Di luar memasak, dia memang sudah keren sih, tapi ketika memasak, kerennya ini kadarnya naik berkali-kali lipat.
“Kamu mau nyicipin pancakenya Sher?” Kendra melirikku. Aku masih saja mengamatinya.
“Aku lebih tertarik melihatmu dibanding makananmu Ken.”
Kendra tersenyum, “sejak kapan kamu pinter ngegombal Sher?”
“Belajar dari kamu Ken. Kamu juga sering nggombalin aku.”
Kami tertawa. Aku melirik Gara yang tengah bermain lego dengan Axel. Dia sudah bisa memanggil Kendra dengan sebutan daddy tanpa dituntun. Pertama kali Kendra mendengar Gara memanggilnya “daddy”, Kendra senang bukan main. Aku iri. Hingga detik ini, Gara belum bisa memanggilku “mommy” tanpa dituntun,
Kendra duduk di sebelahku. Mata kami saling beradu.
“Siapa yang mengalihkan pandangannya lebih dulu, dia yang kalah dan harus mau dicium.” Ujar Kendra sambil terus menatap tajam ke arahku.
Aku sering kalah kalau Kendra menantangku bermain adu pandang seperti ini. Kami saling bertatapan. Ingin rasanya menang sekali saja dalam permainan ini.
Benar saja, aku lama-lama tersipu juga dipandangi Kendra dengan tatapan mautnya. Dan aku kalah karena lebih dulu mengalihkan pandanganku. Dia melirik Gara dan Axel yang serius bermain. Secepat kilat dia mengecup bibirku. Aku sempat kaget tadi.
“Bisaan ya nyuri-nyuri kesempatan. Yang tadi malam itu belum cukup?” Aku tersenyum.
Dia menyeringai, “nggak akan pernah cukup Sher.”
Aku tersipu dibuatnya.
“Oya Ken, tiap enam bulan sekali, Gara rutin diperiksa kandungan logam dalam tubuhnya kan? Tadi aku liat di buku catatan Gara, terakhir Gara periksa tuh tiga bulan yang lalu. Berarti tiga bulan lagi dia baru diperiksa lagi.”
“Iya Sher. Dalam tubuh anak autism itu mekanisme pembuangan logam beratnya tidak sempurna, logam akan menumpuk dan merusak sistem tubuh misalnya sel syaraf dan pencernaan. Makanya tiap enam bulan sekali mesti periksa. Ada yang diperiksa lewat rambut, ada pula diperiksa darahnya. Dulu Gara pernah test lab, sampel rambut dan darahnya dibawa ke Amerika, karena sekalian diperiksa DNA-nya.”
Aku mengangguk.
“Tadi aku juga baca terapi biomedik yang pernah dijalani Gara. Dulu Gara pernah menjalani terapi hyperbaric ya? Waktu aku browsing, terapi ini tujuannya memasukkan oksigen ke dalam tubuh karena pasokan oksigen anak ASD terhambat khususnya ke otak dan sel saraf.”
“Iya Sher. Kak Imelda dan Gara stay di Jakarta selama tiga bulan untuk ikut terapi itu. Mereka menyewa apartemen. Tapi dari semua terapi yang pernah dijalani Gara, yang memberi dampak cukup bagus itu waktu Gara terapi khelasi untuk mengeluarkan logam berat dalam tubuhnya. Aku ingat kak Deka pernah cerita kalau terapi khelasi ini bisa dalam bentuk oral maupun infus. Kelemahan treatment ini nggak hanya logamnya aja yang terbuang, tapi nutrisinya juga ikut kebuang. Jadi saat menjalani treatment ini asupan makanan dan suplemen untuk Gara mesti benar-benar diperhatikan. Khelasi oral juga menimbulkan efek lain, jumlah jamur di pencernaan Gara meningkat, akhirnya terapi khelasi oral ini dihentikan. Khelasi infus tetap jalan. Setelah sepuluh kali infus, kadar merkuri dan timbal signifikan turun. Setelah turun, terapi dihentikan. Nah nanti kita nunggu tiga bulan lagi untuk tahu kadar logam berat di tubuh Gara. Kalau masih tinggi, mungkin kita akan pertimbangkan untuk ikut terapi khelasi lagi.”
“Iya Ken, itu juga yang aku pikirkan. Aku sempet baca catatannya kak Imelda di buku catatan perkembangan Gara bahwa dia ingin banget terapi stem cell untuk Gara, tapi sayangnya biayanya mahal banget ampe ratusan juta. Apa stem cell itu bagus?”
Kendra menghembuskan napasnya, “aku belum tahu soal itu. Untuk soal biaya, sebelum kak Deka meninggal, kak Deka menitipkan tabungan untuk Gara pada ayah. Tabungan itu digunakan untuk biaya terapi Gara dan segala keperluan Gara. Jadi kalau misal mau terapi stem cell, biayanya udah ada, insya Allah cukup. Cuma kita juga mesti benar-benar teliti dalam memilih terapi biomedik untuk Gara. Mesti tahu dampaknya, kelebihan dan kekurangannya, karena banyak sekali penawaran untuk ikut terapi biomedik bagi anak ASD, jadi kita harus hati-hati dalam memilih.”
Kendra menuangkan air ke dalam gelas.
“Ken, kemarin aku ditelpon ama perusahaan yang aku idam-idamkan banget sejak lama. Aku diterima kerja di sana.”
“Lalu?” Kendra membalas singkat tapi aku tahu dia ingin tahu apakah aku menerima pekerjaan ini atau melepasnya.
“Aku tak mengambilnya. Aku ingin fokus mengurus Gara.”
“Kamu yakin Sher? Kalau kamu mau ambil pekerjaan itu, kita akan mempertimbangkan untuk memasukkan Gara ke therapy center yang full day. Mungkin aku akan mencari baby sitter juga untuk Gara.”
“Aku yakin Ken. Akan lebih baik kalau aku sendiri yang mengasuh Gara kan? Aku juga jadi lebih banyak waktu untuk menemaninya terapi baik di therapy center maupun di rumah.”
Kendra tersenyum. Dia mengelus pipiku dan mengecup keningku.
“Makasih banyak ya Sher. You are a great mom.”
Selanjutnya kami mendekat ke arah Gara. Kendra membawakan sepiring pancake. Dia letakkan di meja.
“Gara, I made a pancake for you.”
“Pancake.” Ujarnya.
Kemampuan berkomunikasi dua arah Gara mengalami perkembangan. Echolalianya sedikit berkurang.
“Yap, kita makan yuk.” Kendra menuntun Gara dan duduk di depan meja.
“How about the taste Gara? Is it delicious, isn’t it?” Aku menatapnya yang tengah lahap memakan pancake. Dia sudah lebih baik dalam memegang sendok dan garpu. Beberapa kali pancakenya terjatuh saat ia mencoba memasukkannya ke dalam mulutnya, tapi keseimbangannya sudah lebih baik.
“Delicious. Enak,” jawabnya.
Kemampuan berbahasa dan berkomunikasi Gara semakin bagus, meski kadang kami butuh waktu beberapa detik untuk menunggunya merespon pertanyaan kami.
“Please say thank you daddy..” Ucapku padanya.
Gara melihat ke arah Kendra, “daddy.”
Kendra tersenyum. Kendra sedikit menggelitik Gara. Gara tertawa. Bahagia rasanya melihat mereka tertawa bersama.
Setelah selesai makan, aku mengajak Gara untuk terapi okupasi. Kemarin waktu melakukan terapi ini di therapy center, Gara cukup kesulitan memasukkan manik-manik ke dalam tali. Diantara bidang lain, motorik halus Gara memang menjadi sesuatu yang paling lambat perkembangannya.
Aku berikan beberapa work sheet yang aku buat sendiri. Aku membuatnya dari kain flanel dan aku jahit tangan. Aku memilih busy book sebagai media tambahan untuk belajar Gara, karena memang nggak begitu sulit untuk membuatnya dan bisa dikembangkan menjadi banyak aktivitas.
Pertama Gara belajar memasang tali sepatu. Dia memang masih kesulitan untuk melakukannya. Awalnya aku mencontohkan caranya. Berikutnya dia mencoba sendiri. Kendra ikut menemani. Agak lama menunggu Gara sampai bisa sendiri, dia masih butuh bantuan beberapa kali.
Selain belajar memasang tali sepatu, Gara belajar memasang kancing. Aku buatkan work sheet baju yang dipasang kancing. Gara lebih antusias belajar memasang kancing di work sheet dari busy book dibanding mengancing baju sendiri. Ini PR besar. Setelah dia mencoba memasang kancing di work sheet, aku akan membimbingnya untuk bisa memasang kancing bajunya sendiri.
Suara bel pintu terdengar menggaung. Axel yang sedang duduk di sofa beranjak dari duduknya untuk membukakan pintu.
“Assalamu’alaikum,” Ayah dan ibu memasuki ruang tengah dengan senyum mengembang.
“Wa’alaikumussalam.” Jawab kami.
Aku dan Kendra segera menghampiri untuk menjabat tangan dan mencium tangannya. Ibu membawakan kami banyak makanan. Gara aku bimbing untuk menyalami kakek dan neneknya.
“Wah Gara udah semakin besar ya. Eyang kangen banget ama Gara.” Ibu mertua mencubit pipi Gara. Gara sudah bisa tersenyum menyambut kedatangan tamu, apalagi tamu yang sudah dikenal. Dulu dia sama sekali tak mau menunjukan sikap ramah. Dulu dia begitu cuek dan tak peduli. Sekarang Gara bisa bersikap lebih ramah.
Ayah dan ibu duduk. Gara masih melanjutkan aktivitasnya bermain busy book. Aku hendak ke belakang mengambil air. Rencananya akan kubuatkan jus tanpa gula. Ayah dan ibu menyukai minuman jus tanpa gula.
“Berantakan amat ruangannya.”
Aku bisa mendengar ibu mengomentari ruangan yang berantakan. Memang aku belum sempat membereskannya. Lego-lego, puzzle dan mobil-mobilan berserakan di lantai. Aku lirik Axel tengah menggelayut manja pada ibunya. Dia menyandarkan kepalanya di pundak ibunya. Dasar, badboy manja. Di sekolah lagaknya preman, di rumah anak mami, manjanya minta ampun.
“Nanti juga diberesin lagi Bu. Shera tadi sedang menemani Gara terapi pakai media busy book buatan Shera, jadi belum sempat membereskan. Nanti aku bantu beresin. Ayah ibu juga nggak ngasih kabar mau ke sini.” Ucap Kendra. Aku masih sibuk menyiapkan jus, tapi aku bisa mendengar percakapan mereka.
“Dulu Imelda rajin banget. Tiap ibu main ke sana, ruangan pasti rapi. Kalau dia masih hidup, Shera bisa belajar banyak darinya.”
Deg..
Hatiku mencelos dibandingkan seperti ini. Coba kalau ayah dan ibu mengabari kami lebih dulu sebelum datang, aku pastikan ruangan rapi dan maianannya Gara akan segera aku bereskan.
“Sudahlah Bu, namanya anak-anak kan wajar kalau mainnya berantakan. Shera mungkin belum sempat membereskan.” Ujar ayah dengan ciri khas suara beratnya.
Kubawakan jus dan makanan ringan seperti kacang mete, cookies non gluten dan cheese stick, cheese stick ini tidak diberikan pada Gara, karena Gara tidak memakan keju.
“Axel gimana sekolahmu? Lancar?” Tanya ibu sambil mengusap rambut Axel.
“Lancar Bu.” Jawab Axel dengan tampang polos unyu-unyunya. Dalam hati aku merutuk, hmm mereka nggak pernah tahu gimana kelakuan Axel di sekolah. Aku dan Kendra yang selalu kerepotan mengurusnya, menghadapi segala ulah nakalnya.
Ayah memangku Gara, sementara Gara memegang mobil-mobilan merah kesayangannya.
“Gara sepertinya agak kurusan. Shera, kamu memberikan makanan sehat kan untuk Gara? Diberi cemilan juga kan? Kenapa jadi agak kurusan?” Pertanyaan ibu terkesan meragukanku dalam merawat Gara.
“Shera selalu memasak sendiri makanan untuk Gara Bu. Dia juga udah paham makanan apa saja yang mesti dihindari. Gara mungkin terlihat kurusan karena bertambah tinggi. Waktu ditimbang, berat badannya naik kok Bu.” Kendra mencoba membelaku.
Aku berterimakasih pada Kendra yang seakan tak ingin aku tampak buruk di depan ibu.
“Bagaimana dengan terapi Gara di tempat Rania?” Ibu melirikku.
“Alhamdulillah lancar Bu.” Jawabku dengan senyum.
“Rania yang membimbing Gara langsung?” Tanya ibu lagi.
“Rania hanya mengajar untuk terapi ABA, untuk terapi lainnya dibantu terapis lain.”
“Rania itu memang hebat. Masih muda, cantik, karirnya bagus. Dia membantu banyak orangtua untuk membimbing anak-anak ASD. Bahkan sekarang dia sedang menggalakkan terapi gratis untuk anak-anak ASD yang berasal dari keluarga yang kurang mampu secara finansial. Coba deh Ken, ajak Gara ke sana tiap akhir pekan, biar bisa melihat terapi gratis itu, jadi Gara bisa menambah teman dari berbagai kalangan.”
Aku baru tahu Rania punya program terapi gratis tiap akhir pekan. Ibu sepertinya akrab sekali dengan Rania dan tahu banyak kegiatan Rania.
“Aku kan nggak selalu libur tiap akhir pekan Bu, kadang liburnya di hari lain. Makanya doakan aku biar cepet naik pangkat jadi executive chef, biar selalu libur tiap akhir pekan dan tanggal-tanggal merah.”
“Pasti ibu doakan yang terbaik.” Ibu menyunggingkan senyum pada Kendra. Aku jadi sadar, sedari tadi sepertinya ibu belum sedikitpun tersenyum padaku.
“Oya Sher, kamu mesti banyak belajar dari Rania gimana cara didik Gara. Dia kadang main ke rumah, bahkan ibu pernah diajak jalan-jalan ke mall, ke restoran yang menu masakannya tuh enak banget. Ibu suka banget sama Rania. Meski dia nggak jadi ama Kendra, tapi silaturahim kami tetap terjaga. Andai saja ibu punya anak laki-laki lain yang umurnya di atas Rania atau di bawah sedikit, mungkin sudah ibu jodohkan dengannya.”
Deg..
Lagi-lagi hatiku mencelos. Aku hanya bisa bertatapan dengan Kendra dengan ekspresi datar. Tatapanku nanar ke arahnya. Dia sepertinya mengerti aku kurang nyaman mendengar ibu menceritakan kebaikan-kebaikan Rania dan mengungkit putusnya jalinan cinta antara Rania dan Kendra. Mendadak aku berkecil hati. Selama ini aku belum pernah mengajak ibu jalan karena tenggelam dengan kesibukan bersama Gara. Mungkin aku harus lebih memerhatikan ibu, mengajaknya jalan atau memberikan hadiah. Rania begitu pintar mengambil hati semua orang. Aku jadi ingat, perjodohan kami tercetus atas keinginan ayah Kendra, bukan keinginan ibunya.
“Kak Shera udah bagus banget kok mendidik Gara. Ini busy book yang dipakai buat terapi Gara, dijahit sendiri lho ama kak Shera. Bener-bener seratus persen handmade.” Axel mengangkat lembaran busy book yang tadi aku pakai buat terapi Gara. Anak ini bisa bersikap manis juga. Di depan ayah ibunya dia memanggilku kak Shera.
Ibu melirik lembaran busy book. Dia mengambilnya dari genggaman Axel dan mengamatinya.
“Jahitannya masih kurang rapi. Lain kali dirapikan lagi. Imelda dulu pernah merajut sweater buat ibu. Rajutannya teh alus pisan, ibu suka banget, ampe sekarang masih sering ibu pakai.”
Lagi-lagi aku merasa semua yang aku lakukan tak berarti apa-apa bagi ibu. Pasti ada kurangnya. Mendadak jadi sedih gini.
“Oya Bu, kemarin Shera diterima kerja di perusahaan ternama yang udah lama Shera inginkan. Tapi Shera menolaknya karena ingin fokus mengurus Gara.” Kendra bicara penuh semangat seolah ingin menunjukkan sisi baikku di depan ibu.
“Ya itu bagus. Tapi kalau mau berkarir juga nggak apa-apa. Nanti Gara kan bisa ikut terapi full day. Di tempat Rania juga ada pilihan terapi full day. Perempuan sekarang kalau cuma jadi ibu rumahtangga rasanya kurang. Kalau berkarir, dia bisa bantu suami secara finansial. Ilmu yang didapat dari universitas juga nggak sia-sia.”
Aku tertunduk. Ibu mungkin tak tahu, keputusanku untuk benar-benar menjadi full housewife itu bukan keputusan mudah. Aku 22 tahun, teman-temanku banyak yang belum menikah. Banyak yang sedang merintis karir. Banyak yang masih bebas bermain, jalan-jalan, bahkan traveling ke luar negeri, melakukan beragam aktivitas tanpa memikirkan harus pulang ke rumah jam berapa, tanpa memikirkan ada anak dan suami yang harus diurus. Bukan aku menyesal untuk menikah di usia ini. Aku justru sangat behagia menjadi istri Kendra, laki-laki yang sangat aku cintai dan selalu memperlakukanku seperti seorang princess. Aku juga bahagia menjadi ibu dari Gara. Meski aku belum pernah merasakan bagaimana rasanya melahirkan, tapi aku menyanyanginya seperti layaknya anak sendiri. Dalam darah Gara tidak mengalir darahku, tapi bukankah family isn’t always about blood? Aku siap berjuang dan berkorban apapun untuknya tanpa peduli tak ada setetespun darahku ada pada aliran darahnya. Setidaknya ibu bisa menilai sisi baikku dari sini kan? Apa dia tidak bisa melihat betapa aku tulus menyayangi cucunya?
“Ayah sih dukung Shera buat full mengurus Gara di rumah. Gara jadi bisa lebih akrab dengannya kan? Sekarang ini Shera adalah ibu untuk Gara.” Ujar ayah sambil sesekali mencium Gara yang masih anteng duduk di pangkuan kakeknya. Gara memang dekat dengan kakeknya.
“Iya Kendra juga dukung keputusan Shera dan sangat berterimakasih karena Shera mau mengorbankan banyak hal untuk Gara.” Kendra tersenyum padaku. Senyumnya selalu bisa menenangkanku.
“Iya Axel juga dukung.” Ucap Axel tak mau ketinggalan.
Aku merasa dikuatkan. Dan hatiku yang sempat tercabik-cabik tadi kembali utuh meski tak semaunya utuh. Berhadapan dengan ibu mertua seakan memberiku peringatan untuk siap-siap dikuliti habis-habisan, dicari kesalahan-kesalahanku dan diremehkan.
“Kamu masak apa Sher?” Tanya ibu dengan tatapan datar ke arahku.
“Ehm, hari ini Kendra yang masak.”
“Apa? Kendra yang masak? Kendra itu udah capek masak di tempat kerja, giliran libur masih harus masak juga? Jadi istri harus pengertian ama suami.” Nada suara ibu terdengar meninggi.
“Bu, Kendra yang maksa buat masak. Biasanya Shera kok yang masak. Cuma hari ini Kendra pingin masak beef steak untuk keluarga.”
“Udahlah Ken jangan membela istrimu terus. Ketrampilan masak itu penting dimiliki istri.” Ibu menatap tajam ke arah Kendra. Lalu beralih menatapku.
“Kamu tuh bisa masak nggak sih Sher?” Tanya ibu penuh selidik.
“Shera masih harus belajar lagi Bu. Shera setiap hari masak dan belajar resepnya dari internet.”
“Belajar kok dari internet, kapan pinternya. Coba deh sesekali ajak Rania ke sini buat ngajari kamu masak. Rania itu pinter banget masak. Masakannya enak. Dulu waktu masih pacaran sama Kendra, kalau main ke rumah pasti masak buat keluarga. Semua keluarga suka masakannya. Kendra aja ampe nambah makannya.”
Aku tak berkutik. Aku ingat, rasa-rasanya Kendra tak pernah sampai nambah porsi saat makan masakanku. Sepertinya aku memang tidak berbakat memasak. Jelas, ibu belum bisa move on dari kandasnya cinta antara Rania dan Kendra. Ibu selalu saja membicarakan kebaikan Rania dan membuatku tampak begitu kecil.
“Aku bisa mengajari Shera kok Bu, nggak perlu minta orang lain buat bantuin dia.” Seloroh Kendra dan menatap pias ke arahku.
“Rania itu bukan orang lain Ken. Dia sudah seperti keluarga.” Tegas ibu.
“Oya ibu lupa, ada titipan untuk Gara dari Rania,” ibu membuka tasnya dan mengambil sesuatu. Ibu mengeluarkan sebuah kotak kardus. Di permukaan kardus itu bergambar mainan. Rania membelikan Gara mainan. Bahkan aku belum pernah membelikan Gara sesuatu, hanya bisa menjahit busy book untuknya.
“Rania membelikan ini untuk Gara. Mainan bagus untuk melatih sensori perabaan. Isinya beragam jenis mainan dengan tekstur yang berbeda, buat latihan sentuhan untuk Gara. Dari dulu, Rania memang sangat perhatian. Ibu senang dia punya therapy center, jadi nggak perlu repot-repot cari tempat terapi untuk Gara.”
“Oya Ken, Rania katanya mau lanjut S3nya. Tadinya mau lanjut di Australia lagi, tapi dia memutuskan untuk melanjutkan di sini sambil ngurusin therapy centernya. Barangkali kamu punya temen yang juga lagi ambil S3 psikologi, bisa ngasih info buat Rania.”
“Rania bisa cari info sendiri Bu. Nggak susah buat cari infonya. Aku sih ada teman yang lagi menempuh S3 psikologi. Nanti biar mereka sendirilah yang saling kontak.”
“Kalu gitu nanti kamu kasih nomer temen kamu itu ke Rania ya.” Balas ibu dengan senyum.
Lagi-lagi aku mencelos. Aku merasa ibu tengah mendekatkan Rendra dan Rania kembali.
***
Ayah dan ibu sudah pulang. Gara tidur siang. Aku terpaku duduk di balkon. Semua perkataan ibu masih terngiang di kepalaku. Aku merasa aku ini menantu yang sangat buruk. Seakan di mata ibu aku nggak ada bagus-bagusnya. Aku jadi teringat pada almarhumah ibuku. Seburuk-buruknya aku, ibu nggak pernah mengatakan sesuatu yang buruk tentangku. Dia selalu memanggilku cantik, neng geulis. Meski masakanku ancur sekalipun, ibu bilang nggak apa-apa, namanya juga baru belajar. Ibu selalu menghargai apa yang aku lakukan, sekecil apapun. Dan kalau sudah teringat ibu, aku juga teingat pada almarhum adikku yang meninggal saat umurnya lima tahun. Aku masih sering merindukan mereka. Kalau teringat mereka, perasaanku jadi lebih sensitif. Tak terasa ada setetes air mata yang jatuh.
“Sher,” Kendra duduk di sebelahku.
Aku terkesiap. Kuhapus air mataku.
“Kamu nangis Sher?” Tanya Kendra sambil menatapku lekat-lekat.
“Nggak apa-apa Ken.” Aku ulas senyum semanis mungkin padanya.
“Tunggu sebentar ya Sher. Tadi aku membuatkan minuman yang seger banget buat kamu. Aku ambil dulu ya.”
Aku mengangguk.
Kendra’s POV
Kutuang mocktail ke dalam gelas. Shera suka sekali dengan buah-buahan terutama pepaya. Karena itu aku membuatkan mocktail untuknya. Perpaduan pepaya, nanas, biji selasih dan nata de coco dalam manis asam rasa di satu gelas mudah-mudahan bisa mendinginkan hatinya. Aku tahu hari ini begitu berat. Perkataan ibu memang cukup pedas. Ibu masih saja suka membandingkan Shera dan Rania. Ini mungkin pertama kali bagi Shera mendengar ibu membandingkannya secara langsung. Sedang aku, bahkan di hari pernikahan kami, ibu sudah membandingkan Shera dengan Rania.
Tadi aku lihat matanya sedikit sembab. Dia menangis. Mungkin dia begitu sakit mendengar perkataan ibu. Aku tak ingin dia bersedih dan aku ingin dia tahu, meski ibu menginginkan aku untuk kembali pada Rania sekalipun, aku tetap akan memilih Shera.
Aku melangkah menuju lantai atas. Setibanya di balkon, aku masih melihatnya termenung.
“Sher, ini mocktailnya, diminum dulu ya.”
Shera meneguk mocktail itu.
“Gimana rasanya Sher?”
“Aku suka banget Ken. Seger banget rasanya. Makasih ya.” Dia mencoba tersenyum. Aku tahu dia sedang mencoba menyembunyikan kesedihannya.
“Sher, maafkan ibu tadi ya. Aku tahu mungkin kata-katanya sangat menyakitimu. Tapi aku ingin, kamu nggak masukin kata-kata itu ke hati.”
Shera mengangguk dan wajahnya tertunduk. Tiba-tiba aku dengar seperti ada isakan terdengar lirih.
“Meski kata-kata ibumu pedas, tapi semua itu benar Ken.” Shera masih tertunduk. Dia tak berani menatapku.
“Aku emang agak berantakan, nggak bisa rapi. Rumah selalu seperti kapal pecah.”
Shera memejamkan matanya sebentar, “aku juga payah dalam memasak. Kalau orang lain mau masak apa, tinggal nyari bahannya, cepet jadinya. Aku mesti buka-buka resep dulu. Udah gitu masaknya berantakan. Kondisi dapur selalu seperti kapal pecah tiap aku selesai masak. Kadang bisa dimakan, kadang nggak layak. Mungkin lebih sering nggak layaknya. Yang bikin masakanku terlihat layak ya karena penerimaan kalian. Kamu, Gara atau Axel nggak pernah protes meski mungkin masakanku rasanya aneh. Aku nggak sepinter Rania Ken.” Aku lihat Shera mulai menitikkan air mata.
“Aku juga nggak bisa menjahit serapi kak Imelda. Aku nggak ada apa-apanya dibanding Rania.” Isak tangis Shera mulai tercekat dan aku hanya bisa menggenggam tangannya.
“Aku tuh kecil banget dibanding dia Ken. Dia bisa mengambil hati ibumu, Gara, dia bisa cepat akrab dengan keluargamu. Dia lulusan S2 luar negeri, mau lanjut S3. Aku buat namatin S1 aja ngos-ngosan, mesti jungkir balik bagi waktu antara kuliah dan kerja. Kalaupun dapet IPK cumlaude, itu mungkin cuma keberuntungan aja. Apalagi kalau harus lanjut S2 atau S3, mungkin otakku udah mentok, udah nggak bisa mikir lagi. Aku nggak sepinter Rania.” Isakan tangisnya semakin kencang. Wajah Shera sudah dibanjiri air mata.
“Aku juga nggak punya karir, cuma ibu rumahtangga. Aku juga kadang pingin kayak orang lain yang bisa melenggang bebas, bekerja sesuai minatnya, tapi aku lebih sayang pada Gara. Hatiku nggak bisa ninggalin dia untuk kerja.” Suara Shera terdengar parau dan makin tercekat, dia bicara dengan sesenggukan.
“Aku ingin memberikan waktuku untuknya agar aku bisa melihat setiap perkembangannya. Aku memang bukan ibu kandungnya Ken, tapi aku sayang banget ama dia dan aku ingin menjadi ibu seutuhnya untuknya. Aku bakal nglakuin apa aja yang aku bisa.” Shera tersedu-sedu. Aku coba menghapus air matanya.
“Aku nggak sehebat Rania ken. Aku nggak sesempurna Rania. Dan aku tahu, ibumu masih mengharapkanmu kembali padanya,” tangisnya pecah semakin kencang. Dia sesenggukan dengan luapan air matanya dan napasnya seakan terdengar mencekat. Kupeluk dia erat. Kuusap rambutnya dan kukecup keningnya berulang kali.
“Sudah jangan menangis Sher.” Kupegang kedua pipinya dengan kedua tanganku. Air matanya masih terus berlinang.
“Lihat aku Sher. Di hati aku, kamu tetap yang terbaik. Aku nggak peduli sekalipun ada perempuan lain yang terlihat begitu sempurna di mata ibuku, karena bagi aku, kamu yang terbaik, yang paling sempurna, segalanya untukku. I love you Sher.” Kukecup bibirnya lembut. Bibir kami saling berpagut untuk beberapa detik. Dia sudah mulai tenang, lalu dia membalas, “I love you too.”