Hi Badboy

3578 Kata
Author’s POV Seorang murid perempuan tampak asik bermain basket. Rambutnya pendek, mendekati pendek ala cowok, badannya ramping, wajahnya bisa dibilang manis, meski kadang lebih terlihat maskulin. Dia memiliki mata yang agak bulat dengan bibir tipis ranum yang merona, meski tanpa lipstick, tidak seperti beberapa murid perempuan anggota cheer leader, merah di bibirnya tampak fake karena sentuhan lispstick. Tak banyak murid laki-laki yang memerhatikannya, yang mungkin belum menyadari bahwa gadis ini sebenarnya sangat manis dan beprestasi di banyak bidang. Dia termasuk murid pintar, anak basket, anak OSIS dan senang mengikuti kegiatan sosial. Tapi ada satu murid laki-laki yang sedari tadi tertegun memandangnya dari pinggir lapangan. “Seksi banget deh. Dia kalau main basket, keliatan seksi abis.” Pandangannya awas mengikuti gerak-gerik gadis itu. “Seksi dari mananya? Datar gitu. Seksian mereka tuh, tiga cheer leader cantik. Andai aja gue bisa ngajak salah satu dari mereka kencan.” Seorang temannya melirik ke arah lain di ujung koridor. Tampak tiga murid perempuan tenar dan cantik menggoda mata dan iman tengah berjalan di sepanjang koridor. Cowok berwajah ganteng dan super duper cute yang banyak disukai murid perempuan ini menoleh ke tiga cewek yang dimaksud Bryan, teman genknya. “Model kayak gitu udah biasa, yang ini nih beda.” Cowok itu kembali memandang cewek tomboy nan manis itu. “Axel, lo suka beneran ama si ubur-ubur?” Cowok bernama Defaz mulai membaca ada sesuatu yang dirasakan sahabatnya pada teman sekelas mereka yang hobi main basket itu. “Namanya Aurelia Aurita, bukan ubur-ubur.” Balas Axel. “Sama aja keles. Inget pelajaran Biologi kan? Binomial nomenclature? Aurelia aurita itu nama latin dari ubur-ubur.” Celoteh Defaz yang kebetulan otaknya rada cerdas dikit. “Aurel juga biasa aja reaksinya dipanggil ubur-ubur, lo malah sewot,” Dimas tertawa cekikikan. “Lo beneran suka nggak?” Defaz menyenggol bahu Axel. “Demi apa ya lo suka ama cewek itu? Oh my God, cewek secantik Mira, Angel, Bianca, Verlita, Sabila, Amanda, Rachel, Dessy, Andira aja lo sia-siain, nggak digubris, kok malah sukanya ama si ubur-ubur. Apa menariknya? Kalau gue bilang dia lebih mirip cowok dibanding cewek,” Bryan terkekeh dan menggeleng. “Terserah ya lo pada ngomong apa. Yang pasti gue suka ama dia.” Axel masih menatap Aurel dengan kekagumannya. “Cewek yang suka olahraga rasa-rasanya hebat di ranjang deh.” Bryan ikut mengamati gerak-gerik Aurel. “Weezzz....parah mah kalo si raja ONS udah mulai komen tentang cewek.” Defaz menggelengkan kepala. “Lo dikir-dikit ngomongin ranjang. Kapan sih otak lo rada bener dikit?” Dimas ikut menggeleng. “Daripada lo bisanya cuma berfantasi doank.” Bryan mencibirkan bibirnya. “Udahlah, stop ngomong yang ngeres-ngeres. Apalagi ngomongin cewek yang gue suka. Jangan pernah bayangin dia di ranjang, jangan jadikan dia objek fantasi, gue nggak suka.” Axel menatap tajam ke arah Bryan. “Tenang Xel, dia bukan selera gue lah. Masih banyak cewek lain yang lebih menarik di mata gue.” Ucap Bryan agak ketus. Tiba-tiba bola basket menggelinding menyentuh ujung sepatu Axel. Axel mengamati bola itu. “Saatnya gue beraksi nih,” Axel mengambil bola itu. “Good luck Xel,” senyum Defaz. Axel mendekat ke arah gadis itu sambil menenteng bola basket. Aurel menatap dingin. “Main bareng aku yuk.” “Ngapain lo tiba-tiba ngajak gue main basket?” Sewot Aurel. “Aku cuma pingin main basket aja. Karena kamu lagi main basket ya udah, aku ajakin aja biar ada temennya.” Ujar Axel setenang mungkin. Aurel memang dikenal jutek. “Nggak usah pakai aku-kamu segala, biasa ajalah pakai gue-lo.” Sahut Aurel masih ketus. “Gimana ya? Aku pinginnya pake aku-kamu biar romantis gitu.” Axel mengedipkan matanya. “Idih.. apaan, kayak pacaran aja.” Aurel mencibir dan kesal menatap Axel. “Kalaupun pacaran juga nggak apa-apa sih. Aku cowok, kamu cewek, wajar kan?” “Siapa yang mau pacaran sama lo?” Aurel mencoba mengambil bolanya, tapi Axel menahan bolanya dan tak membiarkan Aurel merebut bola itu. “Eit, aku nggak akan balikin bola ini sebelum kamu mau main basket ama aku. Kita tanding satu lawan satu.” “Lo nantangin gue? Siapa takut.” Aurel merasa tertantang. “Karena ini kompetisi, aku mau ngusulin ada hadiah untuk pemenangnya, gimana?” Aurel mengernyitkan dahi, “hadiah apa?” Axel mendekatkan kepalanya ke telinga Aurel dan berbisik pelan, “kalau aku menang, kamu harus mau aku cium.” Axel tersenyum dan menatap Aurel dengan tatapan setajam elang. “Gimana berani nggak? kamu takut ya?” Ledek Axel. “Hadiahnya jangan itu lah. Ganti aja.” Ketus Aurel. “Berarti kamu takut dong, takut kalah kan? Katanya anak basket, jago main basket, masa tanding lawan aku takut.” “Gue nggak takut ya. Kalau gue yang menang, hadiahnya apa?” Aurel bersedekap dan menatap Axel dengan perasaan tak suka. “Kamu bebas mau minta apa. Mau minta hatiku juga boleh kok.” Axel mengedipkan matanya. Aurel makin enek mendengarnya. “Aku cuma minta kamu nyumbangin buku anak-anak buat anak jalanan. Nggak harus buku baru, buka bekas juga nggak apa-apa, yang penting masih layak baca. Tiap akhir pekan OSIS punya kegiatan perpustakaan keliling buat anak-anak jalanan.” Axel tertegun seketika. Dia merasa tak salah menyukai orang. Cewek di hadapannya ini memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Dia juga menyadari Aurel mulai menggunakan kata aku-kamu, ini membuatnya senang. “Ehm udah mulai pakai aku-kamu nih, berarti aku udah jadi seseorang yang spesial ya? Ledek Axel. “Idih...” Cibir Aurel. “Aku setuju dengan hadiah yang kamu usulin.” Balas Axel. “Terus aturan permainan ini gimana?” Aurel kembali bertanya. “Ehm gimana kalo yang lebih dulu masukin bola tiga kali ke dalam ring, dia pemenangnya?” Axel masih menatap Aurel dengan tatapan tertajamnya. Dipandang sedemikian dalam oleh salah satu cowok paling diinginkan murid-murid perempuan untuk dijadikan pacar atau teman dekat ini sebenarnya telah membuat gadis itu sedikit tersipu dan salah tingkah. Tapi dia berusaha untuk setenang mungkin. “Tiga kali masukin bola, nggak peduli mau three point shoot, free throw, slam dunk? Tanya Aurel lagi. Axel mengangguk, “iya, yang penting tiga kali masukin bola.” Aurel dan Axel mulai bertanding. Teman-teman genk Axel ikut menyaksikan jalannya pertandingan satu lawan satu itu. Axel mendribble bola lalu membawa bola itu menuju arah ring. Aurel mencoba menghalangi. Saat Axel menembakan bola, sang gadis berusaha memblock bola, namun bola itu berhasil lolos. Tembakan three point Axel membuahkan hasil. Bola masuk ke dalam ring. Teman-teman Axel memberikan tepuk tangan. Gantian Aurel yang membawa bola. Tatapannya fokus menuju ring. Dia harus bisa menyamakan kedudukan. Aurel mendribble bola, Axel berusaha mencari celah untuk merebut. Aurel melemparkan bola ke arah ring. Axel berhasil menangkap bola itu. Selanjutnya Axel mencoba melakukan in and out dribble lalu melakukan jump shoot. Lagi-lagi tembakan Axel tepat mengenai sasaran, bola masuk lagi ke dalam ring. Axel mendekat ke arah Aurel, “kedudukan 2-0 untukku. Siap-siap kalah ya.” Axel mengedipkan mata. Aurel semakin jengah melihatnya. Aurel berusaha keras untuk mengejar ketertinggalannya. Aurel melakukan jump shoot, namun lagi-lagi Axel berhasil melakukan jump ball. Bola ada di bawah kendali Axel sekarang. Axel menunjukkan aksi slam dunknya. Dan akhirnya Axel menambah satu poin lagi. Axel berhasil melumpuhkan Aurel. Teman-teman Axel bertepuk tangan dan bersorai. Axel tersenyum karena berhasil menang melawan Aurel. Sementara Aurel hanya bisa mematung dan mencelos. Dia merasa kesal dan kecewa karena kekalahan yang barusan ia terima ini menyangkut harga dirinya. Menyerahkan sebuah ciuman pertama untuk badboy macam Axel tentu bukan keputusan mudah. Axel mendekat ke arah Aurel. Aurel tak berani menatapnya. Axel tersenyum. Dia melihat wajah cewek tomboy di hadapannya seperti bersemu merah, entah karena malu, marah atau malah tersipu. Axel berbisik lirih, “sepulang sekolah aku tunggu di taman belakang. Kalau kamu memang pejuang sejati dan bukan pengecut, temui aku untuk membayar kekalahanmu.” Aurel menatap Axel sebentar. Cowok badboy itu lagi-lagi tersenyum penuh arti. Aurel diam terpaku. Dalam hati, ia menangis sejadi-jadinya. *** Axel duduk di bangku taman belakang. Suasana taman sepi. Murid-murid sudah berhamburan pulang dan sebagian masih tinggal di sekolah untuk mengikuti ekstrakurikuler. Axel ragu, mungkin Aurel tak akan berani datang. Dia terpekur menatap hamparan rumput hias yang menghijau mengisi bola matanya. Tiba-tiba sepasang sepatu yang tak asing mematung di hadapannya. Dia yang tertunduk sedikit terkesiap mengetahui seseorang yang sudah ditunggu dari tadi berdiri di hadapannya. Axel mengangkat wajahnya dan sudah mendapati Aurel diam tertegun, agak kikuk. Axel beranjak dari duduknya. Dia melangkah mendekat ke arah Aurel. Mereka saling menatap. “Aku pikir kamu nggak akan datang.” Ujar Axel menelisik setiap detail bagian wajah Aurel yang tak terbaca bagaimana ekspresi wajahnya. Mimik mukanya terlihat datar. “Aku bukan pengecut,” tukas Aurel. Dia sudah pasrah bahwa ciuman pertamanya akan dirampas paksa oleh cowok bengal yang sering bikin onar di sekolah. Sebenarnya situasi sekarang ini sangat tak mengenakkan untuknya. Ingin dia kabur namun dia tak mau disebut pecundang. Perasaannya deg-degan bukan main, gugup dan cemas. Axel mendekatkan wajahnya. Gadis itu memejamkan mata dengan perasaan tak menentu. Dia sedikit merasa takut, khawatir, gugup, juga sedih. Axel mengamati lekat-lekat wajah gadis itu dengan bibir meronanya yang sebenarnya sangat menggodanya. Tapi ia juga bisa melihat ada raut kecemasan tergambar di wajah manisnya. Tentu saja Axel tak pernah berniat sedikitpun untuk menciumnya. Dia hanya ingin menggertak dan bermain-main saja. Axel mendekatkan bibirnya ke telinga Aurel dan berbisik lirih, “yang tadi di lapangan aku hanya bercanda. Aku nggak akan menciummu. Tapi aku beneran suka ama kamu.” Axel menjauhkan wajahnya lagi. Aurel membuka matanya pelan-pelan. Dia menatap Axel tersenyum padanya. Dia merasa lega namun juga bingung, tak mengerti dengan sikap Axel barusan. Axel berbalik. Dia meninggalkan Aurel tanpa sepatah katapun. Aurel tercenung. Dia terus menatap kepergian Axel dengan berjuta pertanyaan tentang cowok itu. Dia baru sadar betapa Axel ini penuh kejutan, tak terduga, misterius dan membuatnya penasaran. *** Sepulang sekolah, Axel merebahkan badannya di ranjangnya. Memorinya melayang pada moment saat dia bermain basket bersama Aurel, juga saat di taman belakang. Dia tersenyum. Wajah Aurel seakan terlukis begitu kuat di pikirannya. Sebenarnya bisa saja ia memanfaatkan kesempatan itu untuk mencium Aurel, tapi dia ingat pesan kak Deka untuk nggak macem-macem ama anak gadis orang sebelum resmi kita nikahi. Ini pertama kali bagi Axel, jatuh cinta sedemikian hebat pada seorang perempuan. Tiba-tiba smartphonenya yang ia letakkan di atas meja belajarnya bergetar dan berbunyi. Ada pesan WA dari Defaz. Xel nanti malam clubbing yuk Axel mengetik balasannya Nggak ah, kemarin aku diceramahin kakak ipar dan kak Kendra. Aku mau stop clubbing. Sesaat kemudian pesan WA kembali masuk Yakin nih nggak mau dateng? Tadi siang aku nggak sengaja denger Mira cs ngobrol di kantin. Lo tahu kan Mira dan Aurel nggak akur dari dulu. Mira nantangin Aurel buat datang ke night club. Yang aku denger, Aurel menjatuhkan kalung pemberian almarhumah ibunya di toilet. Mira menemukannya tapi nggak mau balikin. Dia baru mau balikin kalau Aurel mau nemui dia di club. Axel tersentak membaca deretan huruf itu. Beneran? Aduh gue takut terjadi apa-apa ama Aurel. Dia kan nggak pernah clubbing sebelumnya, gue takut dia dikerjain Mira cs. Ya udah gue ikut ke club. Balasan dari Defaz datang lagi. Ya udah ntar malam gue jemput. Bryan dan Dimas ikut juga. *** Shera’s POV Jarum jam menunjuk pukul setengah duabelas malam. Gara belum juga tidur. Dia terus menangis dan berteriak. Tangannya sempat memukul-mukul kepalanya. Kendra berusaha menahan kedua tangan Gara untuk tidak memukul-mukul kepalanya lagi. Kami benar-benar kewalahan mengatasi tantrum Gara yang kami sendiri tak tahu penyebabnya. Seingatku Gara tidak salah makan atau apa. Meski Gara sering tantrum dan ngamuk nggak jelas, aku tetap saja panik jika harus berhadapan dengan situasi sekarang ini. Gara sudah tidak memukul-mukul kepalanya, dia berguling-guling di lantai dengan jeritan melengking dan tangisannya yang tak jua berhenti. “Coba ingat Sher, barangkali Gara salah makan,” Kendra memijit-mijit pelipisnya, ciri khasnya saat dia merasa penat. “Seingatku nggak salah makan. Apa dia diam-diam makan cheese stick ya. Tepung dan kejunya yang bikin dia agresif dan ngamuk-ngamuk gini.” Bagi anak autisme, gluten dan kasein dianggap sebagai racun, karena tubuh anak autisme tidak menghasilkan enzim untuk mencerna gluten. Akibatnya, protein yang tidak tercerna ini akan diubah menjadi komponen kimia yang disebut opioid . Opioid itu sendiri, bersifat layaknya obat-obatan seperti opium, morfin, dan heroin yang bekerja sebagai racun yang dapat mengganggu fungsi otak dan sistem imunitas, sehingga menimbulkan gangguan perilaku. Dering smartphone Kendra yang digeletakkan di atas meja ruang tengah terdengar mengalun nyaring. Siapa yang menelpon malam-malam begini? Kendra mengangkat telponnya sementara aku masih terus mengawasi Gara. Tidak banyak yang bisa aku lakukan selain menunggu sampai Gara agak tenang. Kendra mendekatiku dengan raut wajah terlihat sedikit pucat. “Sher aku harus ke kantor polisi sekarang.” Aku terhenyak mendengar kata “kantor polisi”. Di saat yang sama Axel belum pulang. Apa anak itu berulah lagi?” “Ke kantor polisi?” “Iya Sher. Axel terlibat perkelahian di night club.” Kulihat ada amarah terpendam di wajah Kendra. Astaghfirullah, anak itu belum jera juga. Benar kata Kendra, menasehati Axel ini seperti masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Anak itu sangat susah untuk diarahkan. Kendra mengecup keningku, “aku tinggal dulu ya Sher. Aku juga nggak tega ninggalin kamu dalam keadaan seperti ini. Aku kecewa banget sama Axel.” “Nggak apa-apa Ken. Insya Allah aku bisa nangani Gara.” Aku mencoba tesenyum meski sangat susah untuk tersenyum dalam keadaan seperti ini. Kendra sudah berangkat ke kantor polisi. Gara sudah mulai tenang. Dia hanya menangis pelan. Dia menggandeng tanganku menuju dapur. Dia arahkan tanganku pada tempat minum di meja. Rupanya dia ingin minum. Gara masih sering berkomunikasi dengan mengandeng tangan kami menuju sesuatu yang dia inginkan. PR besar untuk mengajarinya mau berbicara untuk menyampaikan keinginannya. Setelah minum segelas air, Gara menggandeng tanganku menaiki tangga. Sepertinya dia mengantuk. Benar saja dia mengajakku ke kamar. Dia merebahkan badannya di kasur. Seperti biasa aku selalu menepuk-nepuk punggungnya setiap kali dia beranjak tidur. Pikiranku melayang pada Kendra yang sedang dalam perjalanan ke kantor polisi. Aku harap tidak ada sesuatu yang buruk yang terjadi pada Axel. Ya Allah , semoga semua berakhir baik. *** Mataku mengerjap. Kudengar samar suara orang di lantai bawah. Kulirik jam dinding menunjuk pukul dua dini hari. Rupanya Kendra dan Axel sudah pulang. Kendra tadi memang membawa kunci sendiri jadi tak perlu membangunkanku saat pulang. Kulirik Gara yang sudah terlelap. Tak terasa aku ketiduran. Aku keluar dari kamar Gara dan bergegas menuruni tangga. Kulihat Axel dan Kendra duduk di sofa yang berbeda. Kendra menatap tajam ke arah Axel. Axel hanya diam tertunduk. Aku duduk di sebelah Kendra. “Xel, kakak kecewa banget sama kamu. Kamu bohong ke kami, kamu bilang mau pergi ke tempat Defaz, ternyata kalian clubbing. Kayaknya selama ini omongan-omongan kakak nggak pernah didengerin ya. Mesti gimana lagi buat bikin kamu sadar. Kayaknya kakak mesti ngomong sama ayah ibu. Kalau perilakumu masih saja seperti ini, kakak mau masukin kamu ke pesantren. Kakak serius.” Axel masih menundukkan wajahnya. “Inget Xel, masa muda ini nantinya akan menjadi salah satu pertanyaan di alam kubur. Kamu masih inget nggak khotbah waktu sholat Jumat kemarin? Ada lima perkara yang nanti akan ditanyakan di alam kubur, tentang umur, untuk apa umur kita habiskan, tentang masa muda yang kita gunakan, tentang darimana kita mendapatkan harta kita, harta yang kita peroleh digunakan untuk apa, apa yang telah kita amalkan dari ilmu yang kita miliki. Ingat nggak Xel? Masa muda itu masa krusial dalam hidup, jangan disia-siain.” Axel terlihat tercenung dan tergugu, mungkin sedang merenungi perkataan Kendra. “Maafkan aku kak. Aku udah berusaha jelasin tadi, tapi kak Kendra nggak mau tahu. Aku juga udah niat mau berhenti clubbing tapi aku punya alasan kuat untuk ke sana. Aku janji bakal memperbaiki kelakuanku. Tapi tolong jangan bilang ayah ibu.” “Selama ini ayah dan ibu tahunya kamu baik-baik saja karena kakak selalu menutupi kelakuanmu. Kakak nggak ingin di usia mereka yang semakin menua harus merasa sedih, kecewa dan kepikiran atas semua kenakalan anak bungsunya. Tapi kalau kamu nggak berubah juga ya kakak terpaksa harus menceritakan semuanya. Kakak pegang janji kamu ya Xel. Kalau kamu bikin onar lagi, kakak akan menceritakan semua pada ayah dan ibu, kakak juga akan masukin kamu ke pesantren.” Kendra menghela napas. Dia menolehku, “Gara udah tenangan ya? Aku mau bersih-bersih dulu ya.” Ucap Kendra lembut. Aku mengangguk. Kini tinggal aku berdua dengan Axel. Dia tidak berani menatapku. Aku ingin tahu kenapa dia sampai berkelahi di club. “Xel, mau cerita nggak kenapa kamu sampai berkelahi di club? Aku pingin tahu yang sebenarnya.” Axel menoleh ke arahku. “Aku berantem karena memang harus berantem Sher.” Aku tersenyum, “kenapa bisa begitu?” “Aku lihat ada cowok masukin sesuatu ke minuman. Dan aku yakin banget itu obat perangsang. Asal kamu tahu, di club cowok-cowok nakal tuh sering ngerjain cewek-cewek dengan masukin obat perangsang ke minuman atau kalau pingin murah pakai obat tetes mata, biar ceweknya gampang diapa-apain. Tapi aku nggak pernah kayak gitu. Bahkan kalau temen-temenku ikutan kayak gitu, bakal aku keluarin dari genk. Aku biasanya cuek aja, karena aku lihat ceweknya sama aja nakal dan emang kayaknya seneng dipegang-pegang. Dari cara mereka berpakaian udah kelihatan. Tapi cewek yang mau dikerjai cowok itu beda. Dia baru pertama kali ke club. Itu juga sengaja dikerjai musuhnya. Aku nggak tega lihatnya. Aku nggak mau dia dikerjai. Akhirnya aku sengaja nabrak cowok itu biar minumannya jatuh. Dia nggak terima aku tabrak, ya udah akhirnya kami berkelahi. Di saat yang sama, polisi dateng karena ada razia narkoba di sana.” Aku yang sebenarnya ingin marah juga, setelah mendengar penjelasan Axel jadi memikirkan banyak hal. Apa yang sudah dilakukan Axel untuk menolong gadis itu sudah tepat, namun masalahnya clubbingnya ini tidak bisa dibenarkan juga. Apalagi dia sempat bohong tentang alasannya keluar rumah. Aku juga shock mengetahui kenakalan remaja zaman sekarang sudah semakin parah dan mengerikan. “Oya darimana kamu tahu kalau cewek itu baru pertama kali ke night club?” Axel menatapku, “aku kenal cewek itu Sher. Dia teman sekelasku. Dia anak yang berprestasi, ranking di kelas, suka ikut lomba, aktif di OSIS dan tim basket, suka ikut kegiatan sosial juga. Dia ke club karena dijanjiin mau dibalikin kalungnya yang jatuh di toilet. Jadi dia tuh punya kalung, katanya pemberian almarhumah ibunya. Kalungnya jatuh di toilet. Ada yang nemuin. Nah yang nemuin ini musuh bebuyutannya. Ya udah ini jadi kesempatan buat musuhnya ini ngerjain cewek itu.” Aku tersentuh mendengar tentang kalung pemberian almarhumah ibu gadis itu. Aku teringat akan almarhumah ibuku. Aku masih menjaga gelang pemberian terakhirnya. Kuamati wajah Axel. Sudut matanya terlihat sedikit memar, matanya agak lebam. “Mau aku obati lukanya Xel?” Axel tersenyum, “nggak usah, nanti aku obati sendiri. Aku udah biasa berkelahi jadi udah tahu banget cara ngobati diri sendiri.” “Cewek itu sekedar teman buat kamu?” Tanyaku menyelidik. Axel terlihat agak tersipu. “Aku sudah menduga kamu pasti bakal nanya soal ini. Aku suka dia Sher. Dia itu beda ama cewek-cewek lain.” Pertama kali aku lihat wajah Axel merona begini. “Oh, jadi kamu teh lagi jatuh cinta? Pantes aja dibela-belain ke club. Sebelumnya kamu udah tahu kan kalau dia bakal ke club? Namanya siapa Xel?” Kunaikkan alisku menyelidik. “Namanya Aurelia Aurita Sher. Dipanggilnya Aurel,” jawab Axel dengan senyum yang berbunga-bunga, membuatnya semakin terlihat lucu. “Namanya bagus ya, tapi kayak nggak asing, kayak pernah denger gitu,” mataku berputar mencoba merekam ingatan tentang nama ini. “Itu teh nama latin dari ubur-ubur.” Aku tertawa, “serius Xel? Oiya ya pelajaran biologi dulu ya tentang penamaan organisme yang terdiri dari dua kata, mengambil dari genus dan spesiesnya.” “Iya binomial nomenclature, ingatanmu bagus juga ya Sher.” Axel terkekeh. “Biar dulu aku bandel, aku masih bisa dapet ranking,” jawabku sedikit narsis. “Padahal arti namanya bagus lho. Aurelia aurita itu berasal dari kata aura, dalam bahasa latin berarti emas atau the golden one.” Tukas Axel. “Artinya bagus banget Xel, kenapa mesti dijadiin nama latin ubur-ubur ya? Oya apa yang bikin dia beda Xel?” Aku penasaran juga cewek seperti apa yang bisa menaklukkan badboy seperti Axel. “Dia tomboy kak. Rambutnya aja pendek banget kayak anak cowok. Tapi dia manis kok. Dia nggak suka dandan, nggak genit, juteknya minta ampun, tapi itu sisi menariknya. Kalau lagi main basket, dia seksi banget Sher.” Aku tertawa, Axel ikut tertawa. “Aku juga dulu tomboy, tapi rambutku tetep panjang. Kamu lucu ya Xel kalau lagi jatuh cinta. Dia suka juga nggak ama kamu?” “Saat ini sih belum. Tapi nanti juga bakalan suka lah. Tadi dia sempet bilang makasih sih. Aku juga sempet pesen taxi online buat nganterin dia pulang. Tadinya aku mau minta Defaz nganterin Aurel. Cuma ada Bryan jadinya aku khawatir. Bryan itu otaknya m***m kuadrat, mana habis minum juga. Aku takut dia macem-macem ke Aurel.” Aku tersenyum. “Kamu romantis juga ya Xel, berusaha buat jagain dia. Tapi tetep ya kamu masih sekolah. Cinta itu jadikan sebagai warna aja, tapi jangan dulu jadi prioritas. Sekolah, keluarga, masa depan yang harus diprioritaskan. Jatuh cinta itu udah fitrahnya, asal penyalurannya ini yang mesti hati-hati, jangan ampe melanggar aturan agama.” Axel mengangguk, “ya aku ngerti Sher.” “Oya satu lagi, jangan bohong lagi dan jangan diulangi lagi kejadian kayak gini. Ke depannya jangan clubbing lagi. perbaiki diri Xel. Buktikan pada kakakmu kalau kamu pasti mampu. Yang terpenting buktiin pada diri sendiri, karena musuh terbesar untuk berubah jadi lebih baik adalah diri sendiri.” Axel mengangguk sekali lagi dan tersenyum merekah, “Siap Sher.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN