Kendra’s POV
Minggu ini aku mendapat hari libur di hari Rabu, bersamaan jadwal terapi sensori integrasi Gara di therapy center. Rencananya aku akan ikut mengantar Shera dan Gara ke sana. Setelah itu kita mau sekalian mampir ke tempat ayah ibu. Minggu depan kita berencana untuk berkunjung ke rumah orangtua Shera. Hari ini ulangtahun ibuku, jadi kami sengaja datang untuk memberikan hadiah yang kemarin aku beli bersama Shera, satu stel gamis dan khimar dari designer favorit ibu.
Kulirik Shera yang tengah berbicara dengan emaknya di telpon. Shera duduk di sebelahku. Dia sengaja menyetel loudspeaker agar aku bisa mendengarnya. Kadang emak minta bicara denganku juga. Gara sedang sibuk menjejerkan mainannya memanjang seperti kereta api. Aku perhatikan Gara gemar sekali menata mainannya berjejer memanjang.
“Sher lu udah isi belum?”
Logat betawi emak Shera di ujung telpon terdengar begitu kental.
“Belum mak.”
“Kok belum isi juga, elu selama ini ngapain?”
“Ngapain gimana mak?” Shera mengernyitkan dahi.
“Coba emak ngomong ama Kendra.”
Aku mendekatkan diri ke layar smartphone Shera.
“Ya mak. Emak sehat?”
“Kagak usah basa-basi. Elu selama ini nyentuh anak gue kagak? Jangan-jangan elu selalu kecapaian makanya kagak sempet nyentuh anak gue ya?”
Aku berpandangan dengan Shera. Aku tidak heran dengan gaya bicara emak yang nyablak, ceplas-ceplos dan super duper bawel cerewet.
“Tiap malem kita tempur terus kok mak,” jawabku.
“Tapi kok belum isi juga. Kagak tokcer kayaknya ya, coba kalian periksa gih. Emak pingin banget dapet cucu dari kalian. Ayah juga.”
“Mak, emang belum dikasih aja ama Allah, sabar napa?” Shera ikut urun suara.
“Itu anaknya ceu Kokom udah lagi hamil. Padahal nikahnya duluan elu.”
“Ya tiap orang kan beda mak. Ada yang dikasih cepet, ada yang nggak,” tukas Shera.
“Eh Sher ayah bilang elu diterima kerja di perusahaan besar tapi kagak diambil? Haduh otak elu ada di mana sih? Jaman sekarang mah susah nyari kerja, elu yang dapet kesempatan bagus malah dibuang.”
Suara emak terdengar nyaring membahana. Kadang begitu memekakkan telinga. Pantes aja, Shera suka males mengangkat telponnya.
“Shera pingin fokus ngurus Gara mak.”
“Kan ada kakek neneknya.” Sahut emak enteng.
“Kan Shera ibunya.” Balas Shera lagi.
“Ah udahlah terserah elu. Minggu depan jadi ke sini?”
“Insya Allah jadi mak.”
“Ya udah baik-baik lu di sana. Jaga kelakuan. Sekarang elu udah jadi istri, jadi ibu juga, jangan pecicilan lagi.”
“Iya aye ngerti.”
Telepon selesai, giliran aku dan Shera berpandangan.
“Tiap malem tempur?” Shera menaikkan alisnya. Aku tertawa.
“Aku tersinggung juga dibilang kagak tokcer ama emak.”
“Emak mah gitu, ceplas-ceplos.” Cibir Shera.
“Btw, jangan pecicilan, pesennya emak.” Aku tertawa lagi. Shera ikut tertawa.
“Emak sebenarnya baik kok Sher,” ujarku sambil menelisik wajah Shera yang semakin hari terlihat semakin cerah auranya.
“Setelah aku nikah, dia emang jadi agak lembut ke aku. Padahal dulu berantem terus, kayaknya banyak nggak akurnya dibanding akurnya.”
“Bagus donk. Biasanya kalau jauh memang jadi lebih akur dan ada kangennya juga,” kuulas senyum, Shera membalasnya dengan senyum juga.
Aku melirik Gara yang masih anteng bermain, “kita berangkat sekarang?” Kutoleh Shera.
Shera melirik jam dinding,”ayuk, siap-siap dulu.”
***
Saat memasuki ruang terapi sensori integrasi ini mata kami dikejutkan dengan baragam wahana bermain yang disukai anak-anak, ada perosotan, ayunan, terowongan, kolam mandi bola, spider wall, rumput sintetis dan beberapa mobil-mobilan besar yang bisa dinaiki. Ruangan ini juga cukup luas. Di dalam sudah ada tiga terapis dan tiga anak. Jadi satu kelas berisi tiga anak, masing-masing anak dibimbing oleh satu terapis. Dikumpulkan ada tiga anak sekaligus, tujuannya untuk melatih sosialisasi agar anak mau bermain dengan teman-temannya.
Terapis yang menangani Gara bernama Gifari, biasa dipanggil Gifar. Dia terlihat masih muda. Saat memperkenalkan diri, dugaanku benar, usianya 23 tahun, baru setahun jadi terapis di sini. Saat ini tengah melanjutkan pendidikan S2nya, nyambi bekerja di sini. Di sini tidak banyak terapis laki-laki, rasanya surprise juga menemukan ada terapis laki-laki di sini.
Hari ini adalah hari kedua Gara terapi SI (sensori integrasi). Gara tampak akrab dengan terapisnya ini. Sebelum memulai terapi, mereka bermain perosotan dan ayunan. Beberapa kali Gara tampak membaur dengan dua temannya meski tak ada percakapan diantara mereka. Tapi ini pertanda bagus, Gara sudah mau terbuka untuk bersosialisasi.
Untuk mengawali terapi, Gara berlatih tengkurap di atas bola bobath, atau kadang disebut bola pilates. Kalau aku bilang, bola ini seperti bola yang sering dipakai untuk senam ibu hamil. Bentuknya cukup besar dan elastis karena berbahan karet. Gara memiliki gangguan keseimbangan (vestibular), karena itu Gara berlatih dengan bola bobath juga. Gara tengkurap di atas bola, sedang kakinya dipegangi Gifar, lalu digerakkan maju mundur. Harapannya kedua tangan Gara akan menopang lantai untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.
Setelah terapi menggunakan bola bobath, Gara dibimbing untuk berjalan di atas rumput sintetis untuk melatih kulitnya agar terbiasa bersentuhan dengan permukaan sedikit kasar. Gara ini memang bermasalah dengan indera perabanya (taktil), ini yang menyebabkan Gara hipersensitif terhadap sentuhan. Saat Gara menginjak rumput sintetisnya, Gara langsung menarik kakinya. Dia sama sekali tak menyukai permukaan rumput. Dia menjinjit dan ekspresi wajahnya terlihat geli. Dia sempat berteriak dan tak mau menginjak rumput lagi.
Selanjutnya Gara mencoba diarahkan ke kolam mandi bola. Ketika Gara masuk ke dalam kolam, dia berteriak minta keluar. Kata Gifar, Gara takut karena ada banyak bola sehingga menghalangi pandangannya untuk tahu apakah kakinya menginjak lantai atau tidak. Ini akibat gangguan keseimbangannya.
Tiba-tiba seseorang datang mendekat dan menyapaku.
“Hai Ken, tumben ikut nemeni Gara terapi?”
Senyum yang tak asing menyapaku dengan ramah. Sepertinya aura wajahnya tampak lebih bersinar dibanding dulu saat kami masih berpacaran. Segera aku beristighfar dan menjaga pandanganku.
“Iya kebetulan aku libur,” jawabku singkat.
“Hai Sher,” dia menyapa Shera juga yang berdiri di sebelahku. Aku bisa melihat sedikit keterkejutan di mata Shera, namun ia menutupinya dengan senyum.
“Oya Ken, bisa kita bicara sebentar?”
Aku dan Shera sempat bertatapan sebentar.
“Silakan Ran,” balasku.
“Aku ingin kita bicara di luar, kalau di sini nanti mengganggu suasana terapi,” jawabnya.
Aku melihat ke arah Shera. Shera mengangguk dan tersenyum, itu artinya dia tak keberatan aku tinggal sebentar untuk bicara dengan Rania.
Kami duduk di taman saling berhadapan. Sebenarnya aku tak enak hati meninggalkan Shera di ruang terapi bersama Gara, tapi mungkin ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan Rania.
“Oya Ken, kata ibu, kamu punya teman yang kuliah S3 psikologi? Aku minta nomernya ya.”
“Iya Ran, namanya Revandra.” Kubuka smartphoneku lalu kukirim kontaknya pada Rania melalui w******p.
“Aku masih bingung memilih universitasnya. Apa mau lanjut di kampusku yang dulu atau milih yang lain,” ucapnya pelan.
Semilir maruta nan lembut menyapu helaian rambutnya hingga tampak berkibar. Dia memang masih seperti dulu, tidak banyak berubah. Sebisa mungkin aku menghindari kontak mata dengannya dan lebih banyak menunduk serta mengalihkan pandanganku ke arah lain.
“Ken.”
“Ya Ran,” Aku menatapnya.
“Minggu depan kamu libur hari apa?”
“Ehm, kayaknya aku dapet libur weekend,” jawabku datar. Aku tak tahu kenapa Rania menanyakan hal ini.
“Pas banget ya weekend. Aku pingin ngundang kamu untuk masak di rumahku. Kebetulan aku mau ngadain acara, nanti beberapa teman lamaku juga datang. Aku ingin menyuguh mereka dengan masakan spesial darimu.”
Aku tak bisa langsung memberikan reaksi untuk undangan Rania. Aku harus meminta izin pada Shera.
“Kamu boleh ngajak Shera dan Gara.” Lanjutnya seolah tahu apa yang tengah kupikirkan.
“Nanti aku tanya dulu ke Shera ya,” balasku dengan senyum tipis.
“Kamu nggak pingin tahu ada acara apa di minggu depan?”
Aku menggeleng. Mungkin itu hanya acara kumpul-kumpulnya dengan teman-teman lamanya.
“Kamu udah bener-bener lupa ya Ken. Padahal dulu kamu selalu ingat, bahkan telpon aku malam-malam hanya untuk menjadi orang pertama yang ngucapin selamat.”
Kucerna kata-katanya lalu kuingat tanggalnya. Dia ulangtahun tanggal tujuhbelas. Tentu aku masih ingat ulangtahunnya, tapi aku tak ingat minggu depan itu tanggal tujuhbelas. Rasanya nggak akan etis kalau aku memberitahunya bahwa aku belum bisa lupa akan ulangtahunnya. Jadi lebih baik kubiarkan dia dengan persepsinya sendiri bahwa aku lupa dengan ulangtahunnya.
“Maafkan aku Ran.” Kataku singkat.
Aku melihat raut wajahnya yang tampak sedih. Kenapa soal kecil ini bisa membuatnya sedih?
“Aku nggak bisa lagi mengenalimu seperti Kendra yang dulu.”
“Maksud kamu?” Kupicingkan mataku.
“Aku masih sering mengingat kenangan kita Ken. Aku ingat saat awal kamu menyatakan cinta di Lembang, di kebun strawberry. Aku ingat saat kita naik motor boncengan keliling kota. Aku ingat pertemuan awal kita di toko buku. Aku belum bisa lupa.”
Aku terperanjat mendengar ucapannya. Sekilas kenangan-kenangan itu melintas di benak. Tapi tentu saja, semua itu sudah tak berarti lagi untukku.
“Itu masa lalu Ran. Aku sudah menikah.”
Rania menatap nanar ke arahku.
“Kamu mencintai Shera Ken?”
“Tentu saja aku mencintainya Ran.”
Kedua mata Rania sudah tampak berkaca sekarang.
“Satu hal yang sangat aku sesali dalam hidupku adalah meninggalkanmu. Andai waktu itu aku tak memutuskanmu, mungkin kita masih bersama hingga sekarang.” Suaranya terdengar parau.
“Masa lalu nggak bisa diubah Ran. Kamu harus move on. Kamu pasti bisa menemukan seseorang yang jauh lebih baik dariku.” Aku sama sekali tak menyangka perasaan Rania masih sedalam ini padaku. Andai dia mengatakan ini jauh sebelum aku menikah mungkin aku akan mempertimbangkannya karena waktu itu perasaanku masih kuat terhadapnya. Tapi sekarang, aku sudah memilki Shera, aku mencintai Shera dan aku sudah tak memiliki perasaan padanya.
“Aku tahu Ken. Aku juga sedang belajar untuk move on. Tapi aku nggak bisa membohongi perasaanku. Aku nggak bermaksud apa-apa, aku hanya ingin mengeluarkan semua yang mengganjal di hati. Abaiakan saja apa yang baru saja aku katakan. Aku tak mau mengganggumu.” Rania tertunduk. Aku bisa melihat bulir air mata jatuh menetes.
Aku jadi serba salah sekarang. Aku ingin kembali ke ruang terapi, tapi dia malah menangis. Aku nggak bisa meninggalkannya begitu saja. Aku takut apa yang kulakukan akan membuatnya semakin sedih.
Kusodorkan tissue, “hapus air matamu Ran.”
Rania mengambil tissue itu dan menyeka air matanya.
“Maafkan aku Ken udah bikin suasana jadi nggak nyaman gini.”
“Nggak apa-apa, kamu nggak salah apa-apa, jadi nggak perlu minta maaf.”
“Oya hari ini ibumu ulangtahun kan? Ibu tadi telpon minta aku datang ke rumah.”
Aku tergugu sekian detik. Ibu mengundang Rania? Apa ibu sengaja mempertemukanku dan Shera dengan Rania di rumah? Aku kecewa pada ibu. Tahu gini aku tak akan mengabari ibu lebih dulu kalau kami mau ke sana. Aku tak tahu harus bagaimana. Membatalkan rencana ke rumah ayah ibu juga bukan pilihan yang tepat.
***
Shara’s POV
Kulirik spion, Gara tampak asik bermain mobil-mobilan di jok belakang. Dia merebahkan badannya di sana. Tangannya aktif memainkan beberapa mainan. Lalu kutoleh Kendra yang terdiam. Tatapan matanya menerawang ke depan, tapi sepertinya dia kurang fokus.
“Kamu kayaknya nggak begitu konsentrasi Ken. Kalau lagi menyetir mesti fokus.”
“Aku fokus kok Sher.” Dia melemparkan senyum.
“Apa yang lagi kamu pikirin Ken? Kamu tadi lama ngobrol ama Rania. Ngobrolin apa?”
“Rania minta kontak temenku yang lagi kuliah S3 psikologi, dia juga ngundang aku ke rumah buat masak di sana. Dia punya acara. Aku juga boleh ngajak kamu dan Gara.”
“Mungkin aku dan Gara nggak bisa dateng. Gara nggak begitu suka keramaian.”
Kendra menolehku, “aku nggak akan dateng kalau kamu nggak ngizinin.”
“Aku bukan istri yang otoriter Ken. Kalau dia memang butuh bantuanmu, datang saja.”
“Kamu nggak masalah Sher?”
Aku menggeleng. Meski dalam hati, aku merasa sedikit cemburu. Tapi aku percaya pada Kendra.
Kami sudah memasuki halaman rumah. Aku melihat sebuah mobil terparkir di sana. Mobil yang tak asing. Saat kami masuk ke dalam, benar saja, sudah ada tamu spesial di sana. Rania? Aku merasa sangat tak nyaman dengan suasana sekarang. Aku cemburu.
Aku duduk menghampar di karpet bersama Gara yang tengah bermain lego. Sementara Kendra dan Rania sedang memasak di dapur untuk memenuhi keinginan ibu yang meminta Rania dan kendra memasak makanan favorit ibu, soto Bandung. Kata ibu dulu Rania dan Kendra pernah masak soto Bandung bareng di rumah dan ibu sangat menyukai masakan hasil duet Kendra dan Rania itu. Awalnya Kendra menolak, tapi ibu memaksanya. Aku cuma bisa mencelos di sini dan cemburu melihat canda tawa terdengar dari dapur. Ada ibu juga di sana, makanya mereka bisa tertawa dan bercanda. Kalau hanya ada Kendra dan Rania, suasana pasti kaku karena Kendra berusaha menjaga jarak dengan Rania.
Ayah tak ada di rumah. Beliau tengah berkeliling mengunjungi minimarket-minimarketnya. Aku juga jadi tak konsentrasi bermain bersama Gara. Pikiranku melayang kemana-mana. Ibu sepertinya sengaja mendekatkan Kendra dan Rania. Apa ibu ingin mereka menikah? Dalam Islam, laki-laki diperbolehkan memiliki lebih dari satu istri, maksimal empat istri. Aku mendadak sedih, rasanya aku nggak akan siap jika Kendra dijodohkan dengan Rania.
Kendra dan Rania tengah menata masakannya di meja makan. Ibu menyiapkan alat makan. Pandanganku terus tertuju pada Kendra dan Rania. Saat Rania mengambil sendok di lemari dan dia berbalik, dia menabrak Kendra. Mereka saling berpandangan. Aku bisa melihat ada sinar cinta dari sorot mata Rania. Hatiku seperti teriris rasanya, perih.
Sekarang kami duduk mengitari meja makan. Aku duduk di sebelah kendra. Rania dan ibu duduk bersebalahan dan bersebrangan dengan kami. Gara duduk di ujung, di sebelahku. Rasanya aku kehilanan selera makan. Gara tampak lahap memakan soto Bandung itu. Tentu saja soto Gara sebelumnya sudah dipisahkan karena tidak menggunakan gula.
“Gara suka sotonya nggak? do you like it?” Rania menatap Gara dan bicara ramah. Gara tak memberi respon dan masih terus melahap sotonya.
“Dia suka banget ama sotonya Ran,” ibu tersenyum ke arah Rania.
“Kalian memang hebat, coba kalian bisnis soto bareng pasti laris manis,” ujar ibu dengan senyum merekah.
Kulirik Kendra. Dia hanya mengulas senyum tipis.
“Oya Bu, minggu depan hari ulangtahunku. Ibu datang ya bareng Kendra. Shera dan Gara juga dateng ya. Aku minta Kendra untuk masak. Aku ingin menyuguh teman-temanku dengan masakan spesial.” Rania menatap Kendra dan aku bergantian dengan senyum merekahnya.
“Wah tentu saja ibu dan Kendra akan datang. Kendra akan memasak menu spesial. Dia nggak akan mengecewakan.” Ibu tersenyum ke arah Kendra.
“Sher kalau nanti kamu ikut, kamu mesti dandan ya. Jangan polosan kayak gitu. Teman-teman Rania pastinya orang-orang penting. Kamu mesti bisa mengimbangi Kendra. Seperti Rania, pinter banget dandan. Kan jadi lebih fresh dan cantik dilihat.”
Aku memerhatikan wajah Rania yang dipoles make up. Make up minimalis yang makin mempercantik wajahnya. Bukan hanya kemampuan masak, mendidik anak, karir dan pendidikan kami saja yang diperbandingkan, cara kami berdandan juga. Memang aku nggak bisa berdandan sebaik Rania. Aku hanya pakai sun screen, pelembab dan bedak tipis.
“Aku suka Shera apa adanya Bu. Tanpa make up sekalipun dia terlihat cantik di mataku.” Kendra menatapku dan mengulas senyum.
Aku hanya terpekur. Aku tak bisa lagi berpura-pura ramah atau tersenyum. Aku lebih banyak diam. Bahkan semangkok soto di depanku juga hanya aku makan tiga suap saja. Aku ingin segera pergi dari situasi tak menyenangkan ini.
***
Kendra’s POV
Shera berbaring miring di ranjang. Bahkan dia sama sekali tak menggubrisku saat aku mencium pipinya. Aku tahu sejak di rumah ibu, perasaannya seolah begitu berat. Aku bisa melihat dari ekspresi wajahnya yang lebih banyak diam dan tak menanggapi percakapan kami.
“Sher, kita biasa pillow talk kan sebelum tidur?”
Shera tak bergeming.
“Kamu marah Sher?”
Shera merubah posisi, dari miring lalu terlentang, lalu duduk berhadapan denganku.
“Kalau sekedar marah aku masih bisa menanggung Ken. Aku cemburu berat.” Ucapnya sedikit ketus.
“Aku nggak akan kepengaruh ama apapun yang Rania lakukan Sher. Sedekat apapun dia dan ibu, nggak ada pengaruhnya apa-apa buat aku.”
“Tadi kalian saling berpandangan saat bertabrakan, aku lihat itu.” Tatapan Shera seolah menerobos masuk ke dalam retina, begitu tajam seakan baru saja membongkar kesalahanku yang fatal.
“Bertabrakan gimana?” Sungguh aku tak mengingat soal tabrakan.
“Saat Rania mengambil sendok, lalu dia berbalik dan tabrakan ama kamu.”
“Ya ampun Sher, aku bahkan nggak ingat soal tabrakan itu.”
Shera mendengus kesal. Dia tak mau melihat ke arahku.
“Tahu gini tadi siang kita batal aja ya ke rumah ibu. Rania bilang dia diundang ibu ke rumah. Aku nggak menyangka ibu bakal minta aku dan Rania masak bareng.”
Shera mendelik dan menganga sekian detik, “jadi kamu tahu kalau Rania diundang ibu ke sana? Kenapa kamu nggak bilang? Kamu pasti sengaja nggak bilang kan biar kita jadi tetep ke sana? Biar kamu bisa ketemu Rania lagi?”
Aku cukup sakit hati dituduh seperti ini, “aku nggak bilang karena aku nggak mau merusak suasana hatimu Sher. Dan aku mikir, kita udah beli kado buat ibu, masa kita batalin ke sana. Kita juga udah terlanjur bilang ke ibu kan kalau kita mau ke sana? Apalagi hari ini ibu ulangtahun. Aku sama sekali nggak kepikiran pingin ketemu Rania apa gimana. Jangan cemburu berlebihan Sher.”
Shera menatapku tajam, “aku cemburu berlebihan? Coba tanya sama semua istri, gimana perasaan mereka kalau mertua mereka mempertemukan suami dan mantan pacar, disuruh masak bareng, sedang kita dicuekin, nggak dianggap penting, bahkan dibanding-bandingkan dengan sang mantan. Mereka juga pasti bakal cemburu dan sakit hati.”
Aku tergugu dan tak tahu harus menjawab apa.
Shera kembali berbaring dengan posisi miring dan memunggungiku.
“Sher,” aku ikut berbaring dan memeluknya.
“Jangan marah seperti ini please. Aku nggak ada perasaan apa-apa ama Rania. Meski ibu berusaha mendekatkan kami lagi, aku nggak akan terpengaruh. Aku minta maaf kalau aku udah bikin kamu sakit hati, kecewa. Maafkan aku Sher. Jangan marah lagi ya?”
Shera tak bergeming.
“Jangan peluk aku seperti ini Ken. Aku lagi ingin sendiri.”
Kulepaskan pelukanku. Aku biarkan dia tenang dulu. Aku sebenarnya kecewa pada ibu, kenapa ibu harus mengundang Rania ke rumah. Ibu seperti berharap banyak aku bakal kembali pada Rania. Tapi aku tak bisa marah atau meluapkan kekesalanku pada ibu. Ibu telah lama akrab dengan Rania. Saat kami putus dulu pun Rania masih sering menghubungi ibu. Mustahil jika meminta ibu untuk tak berlebihan menyanjung Rania di depan Shera. Aku juga cukup kaget mendengar pengakuan Rania yang masih menyimpan perasaan terhadapku. Aku rasakan, Rania sengaja mendekatiku lagi. Aku paham bagaimana sifatnya. Dia seorang yang ambisius. Dia nggak akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan.
Aku kembali menatap Shera yang masih tak bergeming dan tidur memunggungiku. Rasanya nggak karuan melihatnya marah seperti ini. Dia mungkin memang butuh waktu untuk sendiri dulu.
Smartphoneku bergetar dan berbunyi. Ada pesan WA dari Rania.
Ken, aku boleh minta tolong nggak, temani aku ketemuan ama Revandra.
Aku terpaku. Aku tak akan membalasnya. Sejenak kemudian aku putuskan untuk memblokir kontaknya.