Daisy membuka matanya ketika cahaya matahari masuk ke dalam kamar. Ia mengerjap, lalu meraba ke samping, tetapi kosong. Tidak ada Daniel di sampingnya. Ia segera duduk dan membuka matanya sepenuhnya. Pandangannya langsung bertemu dengan Daniel yang duduk di sofa kamar hanya mengenakan celana pendek, bagian atas tubuhnya terbuka, memperlihatkan otot perut six-pack yang membuat siapa pun yang melihat pasti terpesona.
Daisy mengucapkan selamat pagi, suaranya masih serak karena baru bangun tidur.
Daniel mengangguk, berdeham pelan, lalu berkata, "Mandi. Setelah itu turun ke bawah untuk sarapan."
Daisy mengerucutkan bibirnya, merasa perintah itu terlalu singkat dan dingin. Namun, ia tidak membantah. Ia mengangguk, turun dari ranjang, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mandi.
Sementara itu, Daniel bangkit dari sofa, berjalan menuju pintu dan keluar dari kamar. Ia berjalan santai menuju lift mansion, lalu turun ke lantai satu. Saat berjalan menuju ruang makan, beberapa pelayan mencuri pandang padanya. Tuan mereka terlihat sangat seksi dengan penampilan seperti itu.
Daniel mengabaikan semua tatapan para pelayan dan langsung duduk di kursi meja makan. Baru saja ia hendak mengambil ponselnya, layar ponsel itu sudah lebih dulu menyala, menampilkan panggilan masuk dari Katty, tunangannya. Nama itu berkedip-kedip di layar, tetapi Daniel hanya menatapnya tanpa niat untuk menjawab.
Panggilan terhenti, lalu berulang kembali. Daniel menghela napas, kemudian mengirim pesan singkat.
**"Sibuk."**
Tak lama setelah itu, Daisy datang dengan rambut masih sedikit basah. Ia duduk di seberang Daniel dengan senyuman manis, membuat meja makan yang tadinya terasa dingin menjadi lebih hidup.
"Selamat pagi," katanya ceria.
Daniel menatapnya sekilas. "Sarapan."
Daisy mengangguk dan mulai mengambil roti serta selai. Saat ia hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, Daniel berkata lagi, "Nanti ikut denganku."
Daisy mengernyit. "Ke mana?"
Daniel meletakkan garpu dan menatapnya tajam. "Tidak usah banyak tanya. Sarapan saja."
Daisy mendengus pelan, tetapi menurut. Jika Daniel sudah berkata seperti itu, percuma baginya untuk berdebat.
---
Setelah selesai sarapan, Daniel langsung berdiri dan berjalan menuju garasi tanpa banyak bicara. Daisy mengikutinya, masih bertanya-tanya dalam hati ke mana mereka akan pergi.
Daniel membuka pintu mobil dan masuk. Daisy naik dari sisi lain. Daniel menyalakan mesin, lalu mobil melaju meninggalkan mansion.
Sepanjang perjalanan, Daisy berulang kali mencuri pandang ke arah Daniel yang tetap fokus menyetir. Lelaki itu tidak berkata apa-apa, bahkan ekspresinya nyaris tanpa emosi.
"Aku harus tahu kita mau ke mana," ujar Daisy akhirnya, tidak tahan dengan keheningan.
Daniel tetap menatap ke depan. "Menemui seseorang."
Daisy mengernyit. "Siapa?"
"Kau akan tahu nanti."
Jawaban itu membuat Daisy semakin penasaran. Namun, melihat bagaimana Daniel enggan menjawab lebih jauh, ia memilih untuk diam dan menikmati perjalanan.
Setelah hampir satu jam berkendara, mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Daisy langsung mengenali tempat itu.
"Itu... rumah Ayah?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar.
Daniel menoleh dan menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab, "Ya."
Daisy tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia pikir setelah apa yang terjadi sebelumnya, Daniel tidak akan membiarkannya bertemu dengan ayahnya lagi.
"Tapi kenapa?"
Daniel keluar dari mobil tanpa menjawab. Daisy menggigit bibirnya, lalu segera menyusul.
Mereka berjalan menuju pintu rumah. Daisy mengetuk beberapa kali sebelum suara berat dari dalam terdengar.
"Daisy?"
Pintu terbuka, menampilkan sosok pria tua dengan wajah letih, tetapi masih terlihat hangat. Tyson, ayah Daisy.
Daisy langsung memeluknya. "Ayah!"
Tyson membalas pelukan itu erat, lalu menatap Daniel yang berdiri di belakang Daisy dengan ekspresi tak terbaca.
"Kenapa kau membawanya ke sini?" tanya Tyson dengan nada waspada.
Daniel memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Dia ingin bertemu denganmu. Aku mengabulkannya."
Tyson mengerutkan kening, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia menatap Daisy, lalu tersenyum tipis. "Ayo masuk."
Daisy menarik tangan Daniel, tetapi lelaki itu tidak bergerak. "Aku akan menunggu di luar," katanya.
Daisy menatapnya ragu, tetapi akhirnya mengangguk dan masuk ke dalam rumah bersama ayahnya.
---
Daniel menyandarkan tubuhnya di mobil, menyalakan rokok, dan mengisapnya perlahan. Ia menatap sekitar dengan mata tajam. Meski terlihat santai, nalurinya tetap waspada.
Benar saja, tidak lama kemudian, seseorang mendekat dari kejauhan. Seorang pria berjaket hitam dengan wajah penuh bekas luka.
Daniel tetap tenang, hanya menatap pria itu tanpa rasa takut.
"Kau Daniel, bukan?" tanya pria itu dengan suara parau.
Daniel menghembuskan asap rokoknya. "Kalau iya, kenapa?"
Pria itu menyeringai. "Sepertinya kau tidak sadar sedang bermain-main di wilayah yang salah."
Daniel terkekeh pelan. "Oh? Aku tidak ingat ada yang memiliki wilayah ini."
Pria itu mendekat, tetapi sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, Daniel sudah lebih dulu mengeluarkan pistol dari balik jaketnya dan menodongkannya ke kepala pria itu.
"Berani mendekat satu langkah lagi, dan otakmu akan berceceran di tanah ini," ujar Daniel dengan suara rendah, tetapi penuh ancaman.
Pria itu menegang. Matanya melirik pistol di tangan Daniel, lalu mengangkat kedua tangannya.
"Tenang. Aku hanya ingin memberi peringatan," katanya.
Daniel tidak menurunkan pistolnya. "Aku tidak butuh peringatan."
"Tapi Daisy butuh."
Daniel menyipitkan mata. "Apa maksudmu?"
Pria itu menyeringai. "Orang-orang di luar sana masih mengincarnya. Jika kau benar-benar ingin melindunginya, lebih baik kau menjauhkannya dari tempat ini."
Daniel diam sejenak, lalu tanpa peringatan, ia menarik pelatuk pistol dan menembak ke arah kaki pria itu.
Dor!
Pria itu berteriak dan jatuh ke tanah, darah mengalir dari luka tembak di kakinya.
Daniel berjongkok di sampingnya, menekan pistol ke dahinya. "Sampaikan pada orang-orangmu. Daisy di bawah perlindunganku. Jika ada yang berani menyentuhnya, mereka tidak akan punya kesempatan untuk melihat matahari terbit lagi."
Pria itu mengangguk cepat, wajahnya penuh ketakutan.
Daniel berdiri, memasukkan pistolnya kembali ke balik jaket, lalu menoleh ke arah rumah.
Saat itu juga, Daisy keluar bersama ayahnya, wajahnya tampak berseri.
"Apa yang terjadi?" tanyanya saat melihat pria yang terkapar kesakitan.
Daniel tersenyum tipis. "Hanya tamu tak diundang."
Daisy mengernyit, tetapi tidak bertanya lebih jauh.
"Ayo pergi," kata Daniel, menggenggam tangan Daisy dan menariknya kembali ke mobil.
Daisy sempat menoleh ke arah ayahnya dan melambai sebelum akhirnya mengikuti Daniel masuk ke dalam mobil.
Mobil melaju pergi, meninggalkan pria yang masih merintih kesakitan di tanah.
Di dalam mobil, Daisy menatap Daniel dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Daniel?" tanyanya.
Daniel tetap fokus menyetir, lalu menjawab dengan suara rendah, "Aku hanya memastikan tidak ada yang berani menyentuhmu lagi."
Daisy terdiam, tetapi dalam hatinya, ia tahu satu hal—kehidupannya bersama Daniel tidak akan pernah tenang.