Daisy melangkah masuk ke dalam mansion dengan langkah ragu. Matanya menyapu ruangan luas yang penuh kemewahan, tapi rasanya kosong dan dingin.
Sebuah chandelier besar tergantung di langit-langit, memancarkan cahaya keemasan yang membuat ruangan semakin terlihat megah. Sofa berbahan kulit mahal tersusun rapi, dengan meja kaca di tengahnya. Namun, semua itu tidak bisa menghilangkan kegelisahan yang ia rasakan.
Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa, lalu mendongak menatap Daniel yang berdiri di dekat minibar.
"Siapa mereka?" tanyanya akhirnya, suaranya datar, tapi matanya penuh selidik.
Daniel yang sedang membuka kancing jasnya hanya melirik sekilas. “Musuh.”
Daisy mengernyit. “Musuh siapa?”
Daniel menuangkan wine merah ke dalam gelas bertangkai panjang sebelum menjawab, “Musuhku.”
Daisy menggigit bibirnya. "Kenapa mereka mengincarku?"
Daniel menaikkan alis, lalu berjalan mendekat dengan santai. Ia duduk di sofa yang berseberangan dengan Daisy, mengangkat gelasnya, lalu berkata, "Karena mereka tahu kau sekarang menjadi p*****r baruku."
Gelas yang sedang Daisy pegang hampir terjatuh. Napasnya memburu.
"Apa katamu?" suara Daisy bergetar marah.
Daniel hanya tersenyum tipis, menyesap wine-nya dengan tenang.
“Kau bukan gadis polos yang bodoh, Daisy,” lanjutnya. “Kau tahu bagaimana dunia ini bekerja. Semua orang melihatmu sekarang sebagai perempuan yang ada di sisiku. Jadi, apa bedanya dengan—”
“AKU BUKAN p*****r, DANIEL!” potong Daisy dengan suara lantang.
Daniel terkekeh pelan. Ia memiringkan kepala, menatapnya seperti seorang pria yang menikmati reaksi yang diharapkan.
"Benarkah?"
Daisy mengepalkan tangannya di atas paha, rahangnya mengeras.
"Kenapa kau selalu bicara seakan-akan aku hanya barang milikmu?" katanya dengan nada bergetar.
Daniel meletakkan gelasnya di atas meja kaca, lalu bersandar santai ke sofa.
"Karena kau memang milikku sekarang," ucapnya pelan, seakan pernyataan itu adalah sesuatu yang wajar.
Daisy menelan ludah, dadanya naik-turun menahan emosi.
"Aku tidak pernah setuju menjadi milik siapa pun," tegasnya.
Daniel terkekeh, lalu bangkit dan berjalan ke arah minibar lagi. Daisy mengikutinya dengan tatapan tajam.
"Kau senang?" tanya Daniel tiba-tiba.
Daisy mengerutkan kening. "Apa?"
"Senang bisa bertemu si Tyson tua bangka itu?"
Daisy membelalakkan mata. Matanya yang semula tajam berubah terluka.
"Dia ayahku," ucapnya pelan, nyaris berbisik.
Daniel mengangkat gelasnya lagi, lalu memutar wine dalam gelasnya dengan gerakan lambat. Ia mengamati cairan merah itu sejenak sebelum menatap Daisy lagi.
“Dan aku tanya, apakah kau senang?”
Daisy menunduk. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Aku masih rindu…” bisiknya akhirnya.
Daniel mendengar itu, tapi alih-alih merespons, ia hanya mendecakkan lidah dan meneguk wine-nya lagi.
Beberapa saat mereka terdiam.
Kemudian, Daniel berbicara lagi. "Kalau begitu, aku akan menyuruhnya kemari."
Daisy terkejut. Ia menatap Daniel dengan mata membesar. "Apa?"
Daniel masih dengan ekspresinya yang datar, mengulang dengan lebih santai, "Aku akan menyuruh Tyson kemari."
Daisy hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Perlahan, bibirnya melengkung dalam senyuman lebar.
“Benarkah?” tanyanya, suara penuh harap.
Daniel mengangguk ringan.
"Terima kasih, Daniel," ucap Daisy, matanya berbinar. "Aku tidak sabar menunggu Ayah datang."
Daniel hanya menatapnya. Tidak ada reaksi berarti di wajahnya, seolah ucapan terima kasih Daisy tidak memiliki arti apa pun baginya.
Tiba-tiba, Daniel menarik tangan Daisy. Gadis itu tersentak, tapi sebelum bisa bereaksi, ia sudah ditarik ke pangkuannya.
Jantung Daisy berdetak cepat. "Daniel, apa yang kau—"
Daniel menatap wajahnya dari jarak yang sangat dekat. Mata pria itu begitu tajam dan penuh ketenangan, seakan sedang mengamati sesuatu yang menarik perhatiannya.
Daisy merasa pipinya mulai bersemu merah.
“Apa yang kau lakukan?” bisiknya.
Daniel tidak menjawab, hanya mengamati wajahnya lebih lama. Kemudian, dengan gerakan lembut, ia menyelipkan helai rambut Daisy yang jatuh ke wajahnya ke belakang telinga gadis itu.
Daisy merasa tubuhnya semakin panas. Ia ingin menjauh, tapi Daniel menahan pinggangnya dengan tangan yang kokoh.
"Kau mudah sekali malu," gumam Daniel dengan nada main-main.
Daisy menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku tidak malu!” bantahnya, meskipun jelas wajahnya sudah semerah tomat.
Daniel tertawa pelan, suara rendahnya terdengar menggoda di telinga Daisy.
“Kau selalu bereaksi berlebihan.”
Daisy menyingkirkan tangannya dan menatap Daniel tajam. "Lepaskan aku."
Daniel malah semakin mengeratkan tangannya di pinggang Daisy.
"Aku sedang nyaman," katanya santai.
Daisy merengut. "Aku tidak peduli."
Daniel hanya terkekeh, tapi akhirnya ia melepaskan tangannya. Daisy dengan cepat bangkit dan menjauh, menatap Daniel dengan penuh kewaspadaan.
Daniel masih tersenyum kecil, lalu menyesap wine-nya lagi.
“Kau harus mulai terbiasa,” katanya.
Daisy memiringkan kepala. “Terbiasa dengan apa?”
Daniel menatapnya lurus. “Dengan aku.”
Daisy menelan ludah. Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi memiliki makna yang lebih dalam.
Ia tahu, sejak hari ini, kehidupannya tidak akan pernah sama lagi.
***
Di klub malam yang penuh dengan lampu kelap-kelip dan musik berdentum keras, Katty meneguk minumannya dengan kesal. Bayangan Daniel yang meninggalkannya tadi masih membuatnya geram.
"Dasar pria menyebalkan," gumamnya sambil meletakkan gelasnya dengan agak kasar di meja.
Salah satu temannya, Veronica, menyenggol lengannya dengan senyum menggoda. "Sudahlah, Kat. Daniel itu orang sibuk. Kamu juga tahu itu, kan?"
Katty mendengus. "Sibuk apa? Sibuk dengan urusannya sendiri dan melupakan tunangannya?"
Teman satunya, Bella, tertawa kecil. "Ya ampun, Katty. Daniel itu pria kaya dan penuh pesona. Pasti banyak hal yang harus dia urus. Jangan terlalu dipikirkan. Lebih baik kita nikmati malam ini!"
Katty masih cemberut, tapi matanya langsung menangkap tiga pria tampan yang sedang berdiri di dekat bar. Salah satunya melirik ke arah mereka dan mengangkat gelasnya, memberi isyarat.
Veronica tersenyum lebar. "Nah, lihat itu. Malam ini masih panjang. Ayo kita ke sana!"
Katty menatap pria-pria itu sejenak sebelum menyeringai kecil. "Kalian benar. Daniel mau pergi sesuka hatinya? Baik, aku juga akan bersenang-senang."
Dengan langkah anggun, mereka bertiga berjalan mendekati para pria itu. Katty mengibaskan rambut blondenya, memperlihatkan senyum menggoda yang selalu berhasil memikat.
"Hei," sapanya dengan suara lembut.
Salah satu pria, yang berjas hitam dengan wajah tegas, membalas senyumnya. "Hei, cantik. Sendirian?"
Katty tertawa pelan, lalu duduk di sampingnya. "Tentu tidak. Aku di sini bersama teman-temanku."
Pria itu menatapnya dengan ketertarikan yang jelas. "Kalau begitu, biarkan aku dan teman-temanku menemani kalian malam ini."
Katty menyentuh lengan pria itu dengan jari-jarinya yang lentik. "Aku suka ide itu."
Mereka lalu menikmati malam dengan minuman, tawa, dan obrolan yang semakin akrab. Katty melupakan sejenak rasa kesalnya pada Daniel dan membiarkan dirinya tenggelam dalam kesenangan malam itu.
Katty akan melupakan Daniel yang meninggalkannya. Karena banyak lelaki yang bisa membuatnya senang malam ini.