17. Katty

1327 Kata
Daisy duduk diam di kursi penumpang, tangannya bertumpu di pangkuan, jemarinya saling meremas gelisah. Matanya sesekali melirik Daniel yang fokus mengemudi di sebelahnya. Lelaki itu memang tidak banyak bicara, tapi aura dinginnya selalu terasa menekan. Daisy sudah cukup lama berada di markas mafia Daniel, dan anehnya, dia merasa nyaman di sana. Setidaknya, dia tidak perlu berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirinya. Karena Victoria begitu baik padanya. Tapi sekarang, dia sedang dalam perjalanan menuju mansion Daniel. Daisy menelan saliva, mencoba meredakan kegugupannya sebelum akhirnya berdeham pelan. “Daniel…” panggilnya. “Hm?” “Aku… ingin menemui Ayah,” ujar Daisy, suaranya ragu-ragu. “Sudah lama aku tidak bertemu dengannya.” Daniel meliriknya sekilas. Mata tajam itu seperti menelisik, membuat Daisy menunduk sedikit. Beberapa detik hening, sebelum akhirnya lelaki itu mengangguk kecil. “Baiklah.” Daisy sedikit terkejut karena Daniel mengabulkan permintaannya tanpa banyak alasan. “Kita mampir dulu,” lanjut Daniel, mengubah arah kemudi. Daisy menghembuskan napas lega. Ia mengamati jalanan yang mulai berubah dari pusat kota menuju pinggiran yang lebih kumuh. Apartemen tempat ayahnya tinggal bukanlah tempat yang layak, tapi itu satu-satunya tempat yang mereka punya. Tak butuh waktu lama, mobil Daniel berhenti di depan gedung apartemen tua yang catnya mulai mengelupas. Daisy dengan cepat membuka pintu dan melompat keluar. “Terima kasih, Daniel!” katanya cepat sebelum berlari masuk ke dalam gedung. Daniel hanya memasukkan tangannya ke dalam saku celana, menatap datar ke arah pintu apartemen yang dituju Daisy. Sesampainya di depan pintu, Daisy mengetuk keras. “Ayah! Ayah, ini aku, Daisy!” Beberapa detik kemudian, suara langkah tergesa terdengar dari dalam. Pintu pun terbuka, dan muncul seorang pria tua dengan wajah letih. Tapi begitu melihat Daisy, sorot matanya langsung berubah cerah. “Daisy!” serunya senang. Tanpa menunggu, Daisy langsung memeluk ayahnya erat. “Aku kangen, Ayah.” “Ayah juga, Nak. Ayah sangat merindukanmu,” ujar Tyson dengan suara parau. Daniel yang berdiri di dekat mobil hanya memperhatikan mereka dengan tatapan dingin. Tak lama kemudian, ia berjalan mendekat, tangannya masih berada di dalam saku. Tyson yang melihat sosok Daniel langsung menegang. Daniel menatap pria tua itu dengan datar sebelum berkata dengan suara rendah namun mengancam, “Dia boleh tinggal di sini selama dua hari.” Tyson menelan ludah, merasakan aura berbahaya dari pria di hadapannya. “Tapi…” Daniel melanjutkan, “jangan coba-coba kabur. Jika kalian berdua menghilang, kalian juga akan lenyap dari dunia ini.” Tyson mengangguk cepat. “A-aku mengerti.” Daisy menatap Daniel dengan ekspresi tak terbaca, tapi kemudian tersenyum kecil. “Aku tidak akan kabur, Daniel.” Daniel mendengus pelan, lalu melambaikan tangannya dengan santai sebelum berbalik dan berjalan pergi. Daisy menatap punggung lelaki itu yang semakin menjauh. "Terima kasih, Daniel," ucapnya pelan. Daniel tidak menoleh, hanya melangkah menuju mobilnya dan menghilang di balik kemudi. Daisy menghela napas dan menatap ayahnya. "Ayo masuk, Ayah. Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu." Tyson tersenyum lembut, menutup pintu di belakang mereka, dan membiarkan dirinya menikmati momen kebersamaan dengan putrinya yang sudah lama hilang. *** Daniel duduk di restoran bintang lima dengan ekspresi datarnya, sementara di depannya, seorang gadis berambut blonde terus tersenyum lebar ke arahnya. "Sayang, kau tahu aku sangat merindukanmu, kan?" suara manja Katty terdengar begitu jelas di antara denting peralatan makan dan percakapan para tamu restoran lain. Daniel hanya mengangkat alis, tidak menjawab. Namun, itu tidak menghentikan Katty. Gadis itu berdiri dari kursinya dan dengan gerakan anggun, berjalan mengitari meja. Dalam hitungan detik, ia sudah duduk di atas paha Daniel, melingkarkan tangannya di leher lelaki itu. "Aku benar-benar rindu tunanganku yang tampan ini," ucapnya dengan nada menggoda, jemarinya dengan lembut membelai garis rahang Daniel. Daniel tetap diam, hanya tersenyum tipis. "Aku mau beli berlian, Daniel," ucap Katty sambil menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. "Dan juga tas. Kau harus menemaniku." Daniel menatapnya dengan mata tenang, lalu mengangguk. "Nanti kita pergi." Katty tersenyum senang dan mengecup pipi Daniel sebelum kembali ke kursinya. "Aku tahu kau tidak akan menolak." *** Setelah makan malam selesai, Daniel membawa Katty ke butik perhiasan mewah di pusat kota. Begitu masuk, Katty langsung berbinar. "Aku ingin yang paling mahal," katanya penuh semangat kepada pramuniaga. Pramuniaga itu segera menampilkan koleksi berlian mereka. Katty mencoba beberapa cincin, anting, dan kalung, lalu berbalik ke arah Daniel dengan wajah berharap. "Sayang, bagaimana menurutmu?" tanyanya manja, memperlihatkan sebuah cincin berlian berkilauan di jarinya. Daniel hanya menatapnya sebentar, lalu mengangguk. "Ambil yang kau suka." Katty tertawa senang, lalu memilih beberapa perhiasan lagi. Setelah selesai, mereka berpindah ke butik tas mewah. Daniel tetap dengan ekspresi datarnya, sementara Katty sibuk memilih dan mencoba berbagai model. "Daniel, lihat tas ini!" seru Katty, menunjukkan sebuah tas kulit edisi terbatas. "Cantik, kan?" "Hm," gumam Daniel singkat. "Aku mau ini juga." "Ambil saja." Katty tersenyum puas. "Kau memang tunangan yang baik." Setelah semua belanjaannya dikemas, mereka keluar dari butik. Daniel tetap berjalan dengan tenang di samping Katty yang menggamit lengannya erat. "Aku senang sekali hari ini, sayang," ucap Katty. "Terima kasih sudah menemaniku." Daniel hanya tersenyum tipis. Namun, tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia melirik layar, dan sorot matanya berubah sedikit tajam. "Ada urusan?" tanya Katty. Daniel menoleh padanya. "Aku harus pergi sebentar." Katty mendengus kesal. "Lagi? Aku ingin lebih lama denganmu." "Aku akan menemuimu lagi nanti," jawab Daniel tenang sebelum menarik lengannya dari genggaman Katty. Katty hanya bisa menatap punggung tunangannya yang menjauh. "Dasar pria dingin," gumamnya, meskipun bibirnya masih melengkung dalam senyum kecil. *** Di tempat lain, Daisy sedang menikmati waktunya bersama ayahnya, Tyson. Mereka mengobrol banyak hal di dalam apartemen tua itu. "Aku senang kau datang, Daisy," ucap Tyson sambil menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. "Aku juga, Ayah." Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian, ada ketukan keras di pintu. Tyson menegang. Daisy juga ikut merasa cemas. "Siapa?" tanyanya. "Aku tidak tahu," jawab Tyson pelan, lalu berjalan ke pintu dan mengintip dari lubang kecil. Matanya melebar. "Daisy… kau harus bersembunyi," bisiknya tegang. "Apa? Kenapa?" "Orang-orang itu… mereka mencarimu." Daisy merasakan jantungnya berdebar keras. Apakah ini berarti bahaya? Apakah seseorang datang untuk menculiknya? Namun, sebelum ia bisa berbuat apa-apa, pintu apartemen tiba-tiba terbuka dengan paksa. *** Sementara itu, Daniel baru saja tiba di luar gedung apartemen Daisy. Ia melangkah dengan tenang, namun matanya segera menangkap sesuatu yang tidak biasa. Pintu apartemen itu terbuka sedikit, seperti telah didorong dengan paksa. Daniel mempercepat langkahnya. Ia merogoh pistol dari dalam jasnya dan mendorong pintu dengan perlahan. Di dalam, ia melihat Tyson tergeletak di lantai dengan luka di pelipisnya. Daisy sedang ditarik oleh dua pria berbadan besar yang jelas bukan orang biasa. Dengan satu gerakan cepat, Daniel mengangkat pistolnya dan menembakkan satu peluru ke udara. Brak! Dua pria itu tersentak kaget. "Biarkan dia pergi," suara Daniel terdengar dingin dan berbahaya. Daisy menatapnya dengan mata melebar, sementara dua pria yang menculiknya mulai gemetar. Daniel berjalan mendekat, menodongkan pistolnya langsung ke kepala salah satu pria itu. "Kalian berani menyentuh sesuatu yang milikku?" Pria itu menelan ludah, lalu melepaskan Daisy dengan tergesa. "Daniel…" suara Daisy bergetar. Daniel tidak berkata apa-apa. Dalam hitungan detik, ia melayangkan tinjunya ke wajah salah satu pria itu, membuatnya tersungkur ke lantai. "Sampaikan pada bos kalian," ujar Daniel dingin. "Sentuh Daisy sekali lagi, dan aku akan memburu kalian satu per satu." Kedua pria itu langsung berlari keluar dari apartemen tanpa menoleh ke belakang. Daisy masih berdiri diam, tubuhnya sedikit gemetar. Daniel menatapnya, lalu berjalan mendekat. "Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan. Daisy mengangguk, meskipun air matanya mulai menggenang. Daniel menghela napas dan menyentuh kepalanya pelan. "Aku sudah bilang, jangan kabur." "Aku tidak kabur," balas Daisy lirih. Daniel menatapnya dalam diam, lalu beralih ke Tyson yang masih terbaring lemah. "Kita kembali," kata Daniel tegas. Daisy menoleh. "Tapi—" "Ini bukan tempat yang aman untukmu." Daisy menggigit bibirnya. Namun, ia tahu Daniel benar. Dengan berat hati, ia mengangguk. "Baiklah." Daniel menatapnya sekali lagi, lalu menarik tangannya pelan, membawanya keluar dari apartemen. Dan seperti itulah, Daisy kembali ke sisi Daniel—tempat yang mungkin jauh lebih berbahaya, namun entah kenapa, terasa lebih aman. Daniel tidak bisa membiarkan para musuh keparatnya itu mengincar Daisy.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN