16. Belajar Menembak

1564 Kata
Daisy menghela napas untuk kesekian kalinya, duduk di sofa empuk berwarna hitam di markas mafia milik Daniel. Sudah dua minggu lelaki itu menghilang entah ke mana, meninggalkannya di tempat yang penuh dengan orang-orang bersenjata, orang-orang yang memandangnya dengan tatapan curiga dan penuh rahasia. Matanya menatap takut saat seekor singa besar melangkah masuk ke dalam ruangan. Nafasnya tertahan, tubuhnya menegang. “VICTORIA!” teriak Daisy, panik. Dari dapur, Victoria berlari masuk dan langsung menarik tali di leher singa itu. Dengan cekatan, dia menenangkan hewan buas itu sebelum membawanya kembali ke luar. Setelah singa itu benar-benar tidak terlihat, Victoria kembali masuk dengan napas sedikit terengah. "Maaf, Daisy," kata Victoria, menatapnya penuh penyesalan. "Singa itu memang sengaja dibebaskan pagi tadi. Dia sedang dalam masa pelatihan oleh pawangnya." Daisy menelan ludah, masih merasa takut. "Kau yakin hewan itu nggak bakal melukai siapa pun di sini?" Victoria mengangkat bahu. "Harusnya tidak. Tapi, yah... tetap saja, dia seekor singa." Daisy menghela napas panjang. Dia memijat pelipisnya, merasa semakin lelah dengan situasi ini. Seharusnya dia tidak berada di sini. Seharusnya Daniel sudah menjemputnya sejak lama. "Kau baik-baik saja?" tanya Victoria, duduk di sebelahnya. Daisy mengangguk, meski sebenarnya tidak yakin. "Aku ingin melihat orang berlatih menembak," katanya pelan. Victoria terkejut. “Kau yakin?” Daisy mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. “Aku ingin melihat bagaimana cara mereka berlatih.” Victoria mengamati wajah Daisy beberapa saat, lalu akhirnya berdiri. "Baiklah, ayo." Mereka berjalan keluar dari ruang tamu menuju lorong panjang yang berakhir di sebuah pintu besi besar. Victoria mengetuk pintu itu tiga kali sebelum seorang pria bertubuh besar membukakan pintunya. Di dalam ruangan itu, suara tembakan menggema di udara. Daisy bisa melihat beberapa pria sedang berlatih, menargetkan sasaran mereka dengan fokus. “Ini ruang latihan menembak,” kata Victoria, berjalan mendekati salah satu meja yang dipenuhi berbagai jenis senjata. Daisy menatap mereka dengan rasa ingin tahu. Selama ini, dia tidak pernah benar-benar memahami bagaimana dunia ini bekerja. Dunia tempat Daniel berasal. “Coba pegang ini,” kata Victoria, menyerahkan sebuah pistol kecil ke tangan Daisy. Daisy menelan ludah, ragu-ragu saat menerima senjata itu. Beratnya lebih dari yang dia bayangkan. “Kau tahu cara memegangnya dengan benar?” tanya Victoria. Daisy menggeleng. “Aku bahkan belum pernah menyentuh senjata sebelumnya.” Victoria terkekeh. “Kalau begitu, ayo belajar.” Daisy menatap Victoria, ragu. “Aku?” “Tentu saja. Kau ingin melihat latihan menembak, bukan? Jadi, lebih baik kau langsung mencobanya.” Daisy menatap pistol di tangannya. “Aku tidak yakin...” Victoria menghela napas dan berjalan ke belakang Daisy, memperbaiki posisi tangannya. “Genggamanmu harus kuat, tapi jangan tegang. Tarik pelatuknya dengan perlahan, jangan terburu-buru.” Daisy mencoba menyesuaikan genggamannya sesuai instruksi Victoria. “Sekarang, coba tembak sasaran itu,” kata Victoria, menunjuk ke papan target di ujung ruangan. Daisy menarik napas, lalu menarik pelatuknya. *DOR!* Peluru meleset jauh dari sasaran. Daisy terlonjak kaget. Victoria tertawa kecil. “Santai saja. Kau terlalu tegang.” Daisy menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. Dia mencoba lagi. *DOR!* Masih meleset, tapi tidak sejauh sebelumnya. Victoria tersenyum. “Lihat? Kau mulai membaik.” Daisy menatap pistol di tangannya, lalu menatap Victoria. “Kenapa kau mengajarkanku ini?” Victoria menatapnya beberapa saat sebelum menjawab. “Karena kau ada di dunia Daniel sekarang. Mau tidak mau, kau harus tahu cara bertahan.” Daisy terdiam. Ada sesuatu dalam suara Victoria yang membuatnya merinding. Sebelum dia bisa menjawab, suara dering ponsel Victoria memecah keheningan. Victoria mengeluarkan ponselnya dan menjawabnya dengan ekspresi serius. “Ada apa?” tanyanya. Daisy melihat bagaimana ekspresi Victoria perlahan berubah. Dari biasa saja menjadi tegang. “Aku mengerti. Aku akan segera ke sana.” Victoria menutup telepon dan menatap Daisy. “Ada masalah?” tanya Daisy, merasa cemas. Victoria tidak langsung menjawab. “Daniel...” Jantung Daisy berdegup kencang. “Kenapa dengan Daniel?” Victoria menatapnya dengan serius. “Dia ditemukan terluka. Dan dia butuh bantuan kita sekarang.” *** Daisy tidak pernah merasa sekhawatir ini sebelumnya. Dia dan Victoria bergegas keluar dari markas, masuk ke dalam mobil yang dikendarai oleh seorang pria bernama Marco. “Di mana Daniel sekarang?” tanya Daisy dengan suara gemetar. “Dia di sebuah rumah aman tidak jauh dari sini,” jawab Victoria. “Tapi kondisinya cukup parah.” Daisy menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa takut yang mulai menguasai pikirannya. Setelah perjalanan selama lima belas menit, mereka akhirnya sampai di sebuah rumah tua yang tampak tak terawat. Victoria berjalan lebih dulu, diikuti oleh Daisy. Mereka masuk ke dalam rumah dan langsung disambut oleh bau obat-obatan serta suara erangan pelan. Di atas sofa lusuh, Daniel terbaring dengan wajah pucat. Lengan kirinya dibalut perban, dan ada bekas darah kering di sudut bibirnya. “Daniel!” Daisy langsung berlari ke arahnya. Daniel membuka matanya perlahan. Saat melihat Daisy, sudut bibirnya terangkat sedikit. “Daisy...” suaranya lemah. “Apa yang terjadi padamu?” tanya Daisy, suaranya hampir bergetar. Daniel tertawa kecil, meski terdengar menyakitkan. “Hanya masalah kecil.” Victoria mendengus. “Masalah kecil? Kau hampir mati, Daniel.” Daniel menghela napas dan mencoba duduk, tapi Daisy buru-buru menahannya. “Jangan banyak bergerak!” seru Daisy. Daniel menatapnya dengan mata lembut. “Kau khawatir padaku?” “Tentu saja aku khawatir! Kau menghilang selama dua minggu dan tiba-tiba aku menemukanmu dalam keadaan seperti ini!” Daniel tersenyum kecil. “Maaf.” Daisy menggigit bibirnya, menahan emosinya. “Apa yang terjadi?” Daniel menatap Victoria sebentar sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke Daisy. “Seseorang menyerangku. Tapi aku berhasil lolos.” Daisy menatapnya tak percaya. “Siapa yang melakukannya?” Daniel terdiam sejenak sebelum menjawab, “Musuh lama.” Daisy tidak tahu apa yang harus dia katakan. Victoria akhirnya angkat bicara. “Kita harus segera membawanya kembali ke markas. Di sini tidak aman.” Daniel tersenyum tipis. “Aku bisa jalan sendiri.” “TIDAK!” seru Daisy dan Victoria bersamaan. Daniel tertawa kecil. “Baiklah, baiklah.” Daisy membantu Victoria menopang tubuh Daniel saat mereka membawanya kembali ke mobil. Selama perjalanan kembali ke markas, Daisy tidak melepaskan genggamannya dari tangan Daniel. Daniel menatapnya dengan lembut. “Kau belajar menembak?” Daisy menatapnya kaget. “Bagaimana kau tahu?” Daniel tersenyum. “Victoria tidak akan membawamu ke ruang latihan jika kau tidak memintanya.” Daisy menghela napas. “Aku hanya ingin tahu.” Daniel menggenggam tangannya lebih erat. “Aku senang kau mulai belajar.” Daisy menatapnya dalam diam. Ada sesuatu dalam cara Daniel mengatakannya yang membuatnya merasa bahwa dunia ini, dunia yang Daniel jalani, adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa dia hindari lagi. Dan itu membuatnya takut. *** Markas kembali terasa lebih hidup saat mereka kembali. Daisy membantu Victoria membawa Daniel ke kamarnya. Setelah memastikan Daniel beristirahat, Daisy akhirnya duduk di sofa, merasa sangat lelah. Victoria duduk di sebelahnya. “Kau baik-baik saja?” Daisy menghela napas. “Aku tidak tahu.” Victoria menepuk pundaknya pelan. “Selamat datang di dunia kami.” Daisy hanya bisa menatap ke langit-langit, bertanya-tanya bagaimana hidupnya bisa berubah secepat ini. Dan apakah dia benar-benar siap untuk itu. ** Daisy menatap langit malam dari balkon kamar, bintang-bintang berkelap-kelip di atas sana, seakan mengejek kebingungannya. Seharusnya dia benci Daniel. Lelaki itu membawanya ke dunia gelap ini sebagai pengganti hutang ayahnya. Seharusnya dia ingin lari. Seharusnya dia takut. Tapi sekarang, yang dia rasakan justru sebaliknya. Bersama Daniel, dia merasa... nyaman. “Memang aku sudah gila.” Daisy tersenyum kecil, pahit. Langkah kaki terdengar mendekat. Dia menoleh, menemukan Daniel bersandar di ambang pintu balkon. Wajahnya masih pucat, tapi tatapannya tetap tajam seperti biasa. “Kau tidak tidur?” suara Daniel terdengar serak. Daisy menggeleng. “Kau juga.” Daniel tersenyum tipis, lalu berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya. Mereka terdiam sejenak, menikmati keheningan malam. “Kau masih takut padaku?” tanya Daniel tiba-tiba. Daisy menoleh, menatapnya. “Kenapa kau menanyakan itu?” Daniel tidak langsung menjawab. Matanya menatap lurus ke langit malam. “Aku tahu alasanmu bertahan di sini bukan karena kau menginginkannya.” Daisy menggigit bibirnya. Dia ingin menyangkal, tapi apa gunanya? Daniel tidak bodoh. “Awalnya aku takut,” akhirnya Daisy menjawab jujur. “Aku tidak tahu apa yang akan kau lakukan padaku. Aku berpikir kau hanya pria kejam yang menggunakan aku sebagai alat bayar hutang.” Daniel tidak bereaksi. “Tapi...” Daisy melanjutkan, menatap tangannya sendiri, “semakin lama aku di sini, aku melihat sesuatu yang berbeda. Kau tidak seburuk yang aku kira.” Daniel menghela napas, lalu menoleh menatapnya dalam-dalam. “Aku bukan orang baik, Daisy.” Daisy balas menatapnya. “Aku tahu.” Hening. Daniel mengangkat tangannya, menyentuh dagu Daisy, membuat gadis itu menatapnya lebih dekat. “Tapi kau tetap memilih untuk tinggal?” Daisy tidak bisa mengalihkan tatapannya dari mata Daniel. “Aku tidak tahu...” suaranya lirih, hampir berbisik. Daniel tersenyum miring. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi.” Jantung Daisy berdebar lebih kencang. Daniel mendekat, menghapus jarak di antara mereka. “Aku ingin kau tetap di sini, Daisy.” Daisy menggigit bibirnya, menatap mata Daniel yang gelap dan penuh misteri. Dia tahu ini berbahaya. Dia tahu harusnya dia takut. Tapi, untuk pertama kalinya, dia tidak ingin pergi. “Kalau aku tetap di sini...” suara Daisy bergetar, “aku ingin tahu segalanya tentangmu.” Daniel terdiam sesaat, lalu tersenyum kecil. “Baik. Tapi ingat, Daisy... dunia ini bukan tempat yang indah.” Daisy mengangguk, menatap bintang terakhir di langit sebelum perlahan mengalihkan pandangannya ke Daniel. Dia sudah memilih. Dan tidak ada jalan kembali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN