Episode 8

1667 Kata
Bersembunyi di balik pintu, menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, dan hanya bertumpu pada kedua lututnya. Itulah yang Elea lakukan selama ini, bahkan saat ini. Ia masih selalu bersembunyi, dan menangis dalam diam. Hanya dirinya dan beberapa karyawannya yang sudah mengetahui bagaimana Elea melampiaskan segala keluh kesah hidupnya. Bagi Elea ketiga karyawannya itu bukan hanya sekedar rekan kerja namun mereka juga menjadi saksi bagaimana ia menutupi depresi yang masih sering menghantuinya. Tiga puluh menit berlalu, namun belum juga ada tanda-tanda kehadiran Aksa. Mungkin seharusnya ia tidak meminta lelaki itu untuk datang menemuinya, karena bagaimana-pun juga mereka sepakat untuk tidak saling mencampuri atau terlibat dengan masalah pribadi masing-masing. Namun kali ini Elea justru melanggarnya, dengan meminta Aksa datang secara tidak langsung ia telah melibatkan Aksa kedalam masalah pribadinya. Akhirnya Elea mengangkat kepalanya, mengusap lelehan air mata di pipinya, dan menegakan tubuhnya. Ia tidak bisa seperti ini terus, bersembunyi dan menghindari Daren. Kali ini ia harus segera menyelesaikan segala urusannya yang melibatkan Daren, karena bagaimanapun juga Daren adalah suami adiknya Dannisa dan ayah dari seorang anak kecil bernama Zaqueena. Ia tidak ingin menjadi duri dalam rumah tangga adiknya, meskipun ia masih mencintai Daren. Perlahan Elea merapikan pakaian dan juga wajahnya, kali ini ia harus lebih tegas lagi menghadapi Daren, namun baru saja ia hendak membuka gagang pintu, terlebih dahulu terdengar ketukan dari arah luar. "El,,, Elea!" Terdengar seseorang memanggilnya, tapi itu bukan suara Darren. Itu suara Aksa. Seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar, Elea segera membuka pintu dan benar saja sosok lelaki bertubuh tinggi tegap, dan masih mengenakan pakaian kantor lengkap, tengah berdiri di ambang pintu. "Kamu kenapa?" Jika Elea tidak salah dengar, ada nada khawatir dari pertanyaan Aksa, membuatnya tersenyum samar. Namun senyum samar itu kembali redup ketika ia melihat Daren masih duduk di kursi seperti terakhir kali mereka berbicara. Rupanya Daren memang masih keras kepala seperti dulu. "Hari ini kita ada janji kan mau kerumah Ibu, kamu lupa ya sayang?" Elea segera meraih tangan Aksa, bergelayut manja pada suaminya. Aksa mengerjap mendapat perlakuan mendadak seperti itu dari Elea, karena selama ini Elea paling tidak suka melakukan kontak fisik meskipun tidak di sengaja. "Ah,, iya aku hampir lupa. Kita berangkat sekarang?" Untunglah Aksa segera menangkap sinyal isyarat yang diberikan Elea, dan menanggapi kebohongan Elea dengan sangat baik. Bahkan Aksa sengaja merangkul pinggang istrinya, mengecup singkat kening Elea. Aksa merasakan ada yang aneh dengan sikap Elea, namun melihat ada sosok lelaki di kantor Elea, bisa sedikit memberi penjelasan untuk semua rasa penasarannya yaitu, Elea sedang menghindari seseorang. Namun, mengapa justru adik iparnya yang Elea hindari. Meskipun Aksa sadar Elea tak kalah terkejutnya dengan sikap manis Aksa, namun anggap saja itu sebagai hadiah karena dirinya dijadikan senjata untuk menghindar. "Kita berangkat sekarang?" Tanya Aksa. Masih menggandeng pinggang istrinya, bahkan semakin erat. "Bukankah dia adik ipar?" Tanya Aksa lagi, melirik ke arah Daren yang memandang penuh arti pada mereka berdua. "Iya, dia ada urusan dengan salah satu karyawanku, karena temannya akan segera melangsungkan pertunangan, kebetulan mereka mempercayakan desain bajunya padaku." Aksa hanya mengangguk, meskipun ia tahu Elea berbohong. "Kalau begitu kita pulang duluan, silahkan selesaikan urusannya. Siapa namanya, aku lupa?" Aksa berpura-pura tidak mengingat nama Daren. "Namanya Daren, suami adikku Dannisa." Jelas Elea. "Sampai jumpa Daren. Aku dan istriku pulang dulu. Maklum pengantin baru, gak betah lama-lama di luar, maunya cepet pulang." Ucap Aksa menggoda, namun dengan nada puas dan seringai licik. Daren tidak menanggapi apapun, ia hanya mengangguk meskipun tangannya terasa gatal ingin menghajar wajah Aksa. Setelah mereka berdua keluar dari butik, menuju mobil Aksa yang sudah terparkir secara acak di parkiran, halaman depan butik Elea. Elea sempat tertegun melihat posisi mobil yang menurutnya sangat menyalahi aturan cara parkir yang benar, apa jangan-jangan lelaki itu memang tidak bisa mengemudi dengan baik. "Kalau kamu mau tanya kenapa mobilku malang melintang gak jelas begitu, itu karena kamu nelpon sambil nangis. Aku kira kerampokan, taunya,,," Aksa menggantung kalimatnya. "Boleh lepasin ini dulu?" Elea menarik tangan Aksa dari pinggangnya. "Sorry, lupa. Kita kan udah gak lagi dalam mode pura-pura ya?" Ucapan Aksa terdengar seperti sindiran, membuat Elea memutar bola matanya. "Anggap aja iya." Balas Elea, jika pun ia mengelak, itu hanya akan membuat Aksa semakin mengolok-oloknya. "Tapi kita mau kemana?" Tanya Aksa lagi, begitu mereka kini berada dalam satu mobil milik Aksa. "Tadinya aku memang mau ajak kamu ke rumah keluargaku, tapi kalau kamu sibuk, bisa lain waktu aja." Balas Elea. Melihat Ekspresi Elea kembali tenang ke mode biasanya, membuat Aksa jengkel karena Elea bisa dengan mudah merubah raut wajahnya secepat kilat. "Kamu iguana atau sebangsanya sih?!" Elea mendelik tajam, mendapati dirinya disamakan dengan binatang reptil. "Kamu kira aku sejenis kadal?!" "Aku tuh gak ngerti ya,, tadi kamu nelpon nangis, kayak orang panik dan ketakutan. Sekarang kamu cuek lagi, kayak gada apa-apa. Kamu tau gak, aku buru-buru datang, karena aku pikir kamu dalam bahaya, sampe parkir aja gak bener." Keluh Aksa, mengeluarkan unek-uneknya dalam satu tarikan nafas. "Aku minta maaf. Dan terimakasih karena kamu mau datang. Aku cuman bilang, kalau kamu mau aku ajak ke rumah keluargaku, kalau nggak yaudah gak usah. Salahnya dimana?" "Jiwa kita emang beneran ketuker kayaknya!" Balas Aksa sambil melajukan mobilnya. "Apa? Aku gak denger." "Kita nginep di rumah Ibu kamu!" Tidak ada reaksi apapun lagi dari Elea, ia hanya kembali fokus melihat kedepan, tidak ada raut senang ataupun tersenyum karena ajakannya dipenuhi Aksa, Elea seperti biasanya berwajah datar tanpa ekspresi membuat Aksa semakin kesal. "Astaga! Aku benar-benar menikahi wanita es." Gumam Aksa pelan, namun sebenarnya masih bisa didengar Elea. Elea merasa bersyukur karena akhirnya Aksa tidak bertanya lebih jauh tentang kejadian yang baru saja mereka alami. Aksa bukan anak kecil yang dengan mudahnya dibohongi, ia pasti menyadari sesuatu terjadi antara dirinya dan Daren. Namun beruntunglah Aksa tidak mengintrogasinya lebih jauh, meskipun lelaki itu semakin lama semakin menunjukan sifat aslinya, yaitu cerewet. Kedatangan Aksa dan Elea disambut hangat keluarga Revan. Bahkan Kanaya terus menerus menyediakan berbagai hidangan kesukaan Elea dan juga Aksa yang sudah terlebih dahulu ia tanyakan pada besannya Dea. "Kenapa gak bilang dulu kalau mau datang. Kita bisa undang Dannisa dan juga Daren." Ucap Kanaya, membuat Elea meletakan sendok di kedua tangannya. "Kita sengaja datang dadakan kayak gini, Bu. Mau bikin surprise, iya kan sayang?" Balas Aksa, sambil mengusap lembut rambut istrinya. Melihat wajah Elea kembali tegang begitu mendengar nama Daren membuat Aksa mengambil alih pembicaraan. Revan dan juga Kanaya tersenyum melihat interaksi antara menantu dan anak sulungnya yang terlihat harmonis dan mesra. Mereka berdua secara tidak sengaja sama-sama menghela lega, karena selama ini mereka cemas dengan pernikahan Elea, namun melihat mereka berdua secara langsung seperti ini membuat Revan bisa bernafas lega. "Kalian tidak menunda mempunyai momongan kan?" Tanya Revan. Uhuk,,uhuk,,, Aksa tersedak. "Minum dulu. Pelan-pelan makannya." Elea menepuk pundak Aksa, dan menyodorkan gelas berisi air putih. "Makananya enak jadi lahap banget." Bals Aksa sambil mengelap sudut bibirnya. "Kita gak nunda apapun Bu, sedikasihnya aja, lagipula kita menikah baru satu bulan, gak mungkin kan langsung hamil. Kita lagi nikmatin masa-masa pacaran dulu," lanjut Elea, kini sambil menggenggam tangan Aksa yang terletak di atas meja. "Syukurlah kalau gak di tunda. Kasian Qween gak ada temennya." Elea dan Aksa saling berpandangan laku tersenyum. Sungguh perpaduan akting yang sangat sempurna. Kekhawatiran yang selama ini ditakuti Elea akhirnya terjadi. Ia sering mengulur waktu setiap kali Ibunya atau mertuanya meminta mereka berdua berkunjung yaitu seperti ini, mereka harus satu kamar bersama. Berulang kali Elea terus bolak balik, ke kamar mandi, membuat Aksa yang saat itu sudah duduk di tepian ranjang kesal melihatnya. "Kalau kamu takut aku gerayangi, kamu gak perlu takut. Bih kamu tinggal pegang ini." Aksa mendekati Elea memberikan sesuatu pada Elea. "Itu senjata kamu malam ini, kalau aku macem-macem kamu tinggal tusuk pake itu." Jelas Aksa. "Kamu gila, ini gunting kuku!" "Kan judulnya sama-sama gunting!" Aksa tertawa jahil, melihat wajah Elea memerah karena kesal. "Gak usah parno gitu juga kali! Aku janji gak akan ngapa-ngapain. Kecuali khilaf." Aksa kembali tertawa penuh kemenangan, sambil kembali menuju tempat tidur dan merebahkan tubuhnya dengan nyaman. "Kamar kamu nyaman juga ya. Dan tumben juga gak warna pink, seperti kebanyakan perempuan." Aksa mengamati segala penjuru kamar Elea. Memang benar ucapannya, karena tidak ada satu aksesoris pun yang berwarna pink, seluruh kamar Elea di d******i warna putih dan abu-abu. "Kamu mau berdiri disitu? Gak ngantuk? Kalau kamu gak mau tidur berarti km emang bener-bener gak suka laki-laki." Merasa ejekan suaminya sudah semakin keterlaluan, akhirnya Elea mendekat dan ikut bergabung dengan Aksa di kasur. Namun Elea terlebih dahulu menaruh guling di tengah-tengah mereka berdua sebagai pembatas, membuat Aksa berdecak kesal. "Astaga El. Kamu emang bener-bener ya,,, kamu tau, aku bisa ajuin ke pengadilan dengan tuntutan istri yang gak mau disentuh suaminya." "Ih,, gak usah berisik. Aku ngantuk." Balas Elea sambil menenggelamkan tubuhnya di balik selimut. Tidak ada lagi yang bicara, membuat Elea akhirnya terlelap meskipun ia harus menahan pegal tubuhnya karena ia tidak berani merubah posisi tidurnya. Udara malam terasa begitu menusuk tulang, bahkan dinginnya semakin terasa membuat Elea menggigil. Namun, begitu ia melihat remote pendingin kamarnya yang masih pada suhu normal, membuat Elea membuka matanya dan mengecek sendiri kamarnya yang terasa sangat dingin. Ia melihat jendela kamarnya terbuka, sehingga angin malam dengan leluasa masuk kedalam kamar. Seingatnya ia tidak pernah membuka jendela, atau pun sampai melupakan untuk menguncinya. Elea beranjak dari tempat tidur namun bukan hanya jendela yang terbuka, tapi Aksa pun sudah tidak lagi berada di tempatnya. Dengan langkah perlahan ia mendekati arah jendela, samar-samar terdengar seseorang tengah berbicara, membuat Elea menajamkan pendengarannya. Dari jarak cukup dekat Eela mendengar Aksa tengah berbicara dengan seseorang. Seharusnya itu wajar terjadi mengingat Aksa memiliki banyak wanita di hidupnya, namun kaki ini nada bicaranya sangat berbeda. Aksa berbicara penuh kelembutan dan penuh kasih sayang, terdengar seperti bicara dengan seseorang yang sangat dikasihinya. Tidak ingin mendengar lebih jauh pembicaraannya, Elea segera berbalik, memilih kembali ke tempat tidur. "Aku juga kangen banget sama kamu, Mel." Langkah Elea terhenti begitu mendengar ucapan Aksa yang begitu jelas. Tidak mungkin ia salah dengar. Elea melanjutkan langkahnya, menjauhi Aksa sambil tersenyum getir. "Ternyata dia sama sepertiku, hanya menjadikan pernikahan ini sebagai pelarian." Gumamnya pelan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN