Episode 9

1408 Kata
Bersembunyi itulah yang sering dilakukan kebanyakan orang ketika ia merasa tidak mampu atau takut menghadapi segala kenyataan yang akan menyakitinya, atau tepatnya lebih menyakiti. Elea merupakan salah satu dari sekian juta manusia yang seperti itu. Ia masih tetap bersembunyi ketika bayangan kelam itu kembali menghantuinya, meskipun berulang kali ia mengingat kan dirinya untuk memberanikan diri menghadapi rasa takutnya, namun sampai saat ini tidak ada satupun yang mampu memberinya kekuatan agar ia mampu melawan rasa takut yang terus menggerogoti jiwanya. Mendengar percakapan antara Aksa dan seseorang di seberang sana membuat rasa kantuknya hilang begitu saja, bahkan ia enggan kembali ke tempat tidurnya dan memilih keluar kamar, menuju kamar kedua orang tuanya. Rasanya tidak sopan mengunjungi kamar Ibunya, karena mungkin saja Ibu dan juga Daddy nya sedang istirahat, atau mungkin yang lainnya. Awalnya Elea ragu, namun seperti sudah merasakan kehadiran putrinya tiba-tiba pintu kamar Ibunya terbuka. "El, ada apa nak? Kok disini?" Tanya Kanaya, merasa aneh karena Elea tengah berdiri di depan pintu kamarnya. "Tadi El dari dapur, habis ambil minum. Pengen tidur bareng Ibu sama Daddy." Balas Elea, ia berbohong karena tidak mungkin ia menceritakan yang sebenarnya. "Suamimu bagaimana?" "Dia sudah tidur," "Ayo masuk. Kebetulan Dad sama Ibu belum tidur." Kanaya melebarkan pintu kamarnya, mempersilahkan Elea masuk. "Loh El, kenapa sayang?" Tanya Revan, yang tengah memainkan ipadnya. "Kangen, mau tidur bareng kalian." Balas Elea, ikut bergabung bersama Revan dan masuk kedalam selimut menutupi tubuhnya. "Suamimu?" "Dia udah tidur Dad. Lagipula setiap malem aku tidur bareng dia, jarang banget kan aku tidur bareng kalian." Rajuk Elea sambil meletakan kepala di pangkuan Revan. Revan pun akhirnya meletakan ipad dari tangannya dan meletakkannya di nakas sebelah tempat tidur. Ia mengusap lembut kepala putri sulungnya dengan penuh kasih sayang, membuat Elea menikmati sentuhan sang ayah sambil memejamkan matanya. Tidak berselang lama Kanaya pun ikut bergabung setelah menutup pintu kamar. "Kamu yakin Aksa tidak akan mencarimu?" Tanya Kanaya. "Nggak, Bu. Dia kalau tidur udah kayak kebo." Kekeh Elea, meski sebenarnya ia tidak pernah sekalipun melihat Aksa tidur, itu hanya hanyalannya saja. "Kalian gak lagi mesra-mesraan kan? Ingat ya, aku gak mau punya adek lagi." Revan dan Kanaya sama-sama tertawa, "Kami sudah tua sayang, gak mungkin juga Ibu hamil lagi." "Meskipun udah tua, tapi Ibu masih sangat cantik. Iya kan Dad?" Tanya Elea, menatap Revan. "Iya, Ibu masih tetep cantik seperti dulu. Mirip banget sama kamu." Balas Revan sambil terus mengusap lembut rambut panjang Elea. "Bukannya aku mirip Daddy? Danisa yang lebih mirip Ibu, wajahnya cantik dan disukai banyak orang." Balas Elea tenang, namun kedua orang tuanya bisa melihat raut sedih di wajah Elea. "Jadi kamu mau bilang Dad jelek?" Goda Revan, sambil berpura-pura marah. "Nggak gitu! Dad ganteng kok, kayak artis thailand Mike Angelo," balas Eela sambil terkekeh melihat Revan pura-pura marah. "Kamu dan Danisa, dua wanita paling cantik di dunia ini. Kalian sama-sama istimewa untuk kita berdua," Kanaya mengusap punggung Elea, ia mencoba lebih hati-hati setiap kali ia membahas Danisa. "Di dunia ibu dan Dad maksudnya?" Tanya Elea. "Iya, karena kalian adalah dunia Dad, kamu, Ibu dan juga Danisa. Kalian semua dunia Dad, yang paling berharga." "Dad, pasti sangat mencintai ibu. Aku masih ingat bagaimana Dad dulu berjuang untuk meluluhkan hati ibu." "Kamu masih ingat?" "Aku punya ingatan yang bagus, Bu. Aku mudah mengingat sesuatu dan sulit melupakannya." "Pantes aja waktu sekolah semua nilai pelajaran kamu bagus-bagus, gak pernah kurang dari seratus." Puji Kanaya. "Iya, tapi terkadang aku tersiksa dengan kelebihan yang aku miliki. Karena aku selalu kesulitan melupakan sesuatu, contohnya seperti Daren." Kanaya dan Revan saling pandang. Meskipun pernikahan Daren dan Danisa sudah berlangsung lama, namun mereka tidak pernah membahas apapun di hadapan Elea. Mereka tahu bagaimana Elea begitu kecewa ketika mereka secara sepihak langsung menikahkan Danisa dan Daren, tanpa persetujuan Elea. "Elea tau, dulu Ibu sempat ditinggal nikah?" Tanya Revan. Elea hanya menggeleng samar, sambil menutup matanya sambil menunggu cerita orang tuanya. "Ibu sempat merasa begitu kecewa, bahkan saat itu Ibu sakit parah. Tapi, kamu tau dibalik rasa kecewa yang ibu alami, ibu justru bertemu Dad kamu, dan akhirnya kita malah berjodoh hingga saat ini." Elea kembali mengangguk, "Banyak hal tidak terduga di kehidupan ini, salah satunya jodoh. Meskipun kamu berjuang dan mencoba mempertahankan apa yang menurutmu baik, tapi ketika Tuhan justru berkata itu tidak baik, maka sebesar apapun cintamu, tetap tidak akan pernah bersatu." Lanjut Revan. "Dad tau kamu sangat kecewa. Percayalah, kebahagiaan sedang menantimu." Elea hanya mengangguk, ia tidak menyala sedikitpun. "Tidur sudah malam. Biar Dad tidur di kursi, ranjangnya terlalu sempit untuk kita bertiga, Ibu kamu sering nendang-nendang kalau kesempitan." Elea terkekeh mendengar ucapan Revan. Revan pum beranjak dari tempat tidur, ia memilih keluar dari kamar untuk sementara waktu. Ia yakin Elea masih ingin bercerita banyak dengan Ibunya, jadi ia memberikan waktu untuk mereka berdua. "Kamu bahagia nak?" Tanya Kanaya begitu Revan keluar kamar. "Ibu selalu bertanya seperti itu, apa aku terlihat begitu menderita?" Tanya Elea sambil tersenyum getir. "Seorang ibu pasti ingin selalu memastikan, El. Karena jika anaknya menderita, seorang ibu pasti jauh lebih menderita." Ucap Kanaya sambil mengelus rambut Elea, menarik kepalanya hingga ia bersandar di pangkuan Kanaya. "Menurut ibu seseorang terlihat bahagia jika mereka selalu tertawa, atau selalu pajang foto tersenyum di medsos seperti Danisa? Aku bukan orang terkenal seperti dia, untukku media sosial hanya untuk mencari kesenangan, bukan mengumbar kehidupan." Jelas Elea. "Ibu tau, hanya saja kamu terlihat lebih kurus." "Ibu pasti tau kan rasanya menjadi pengantin baru, selain cape ngurus suami dan kerja di siang hari, juga capek malam di kerjain terus." Kekeh Elea. "Dasar mesum." Kanaya ikut tersenyum sambil mencubit hidung Elea dengan gemas. "Malam ini aku mau tidur di peluk ibu, bosen di peluk Aksa terus." Elea segera merangsak ke dalam pelukan ibunya,mencari kehangatan yang selalu menjadi tempat ternyaman setiap kali ia merasa takut. "Sini ibu peluk, malam ini kamu jadi Elea gadis kecil ibu yang paling cantik." Kanaya memeluk Elea, ia mengusap perlahan rambut hingga ke pipi Elea. Namun tangannya terhenti ketika ia menyentuh sesuatu di pipi Elea. "Itu masih berbekas bu, meskipun El usah berusaha nutupin pake make up, tapi bekas lukanya masih saja terlihat." Hati Kanaya kembali terasa perih, setiap kali ia melihat bekas luka yang masih terlihat jelas di wajah Elea. "Aksa tau?" Tanya Kanaya. Elea menggeleng, " Nggak, aku belum berani memperlihatkannya. Aku takut dia kecewa," jawab Elea pelan, yang semakin menambah sakit hati Kanaya. "Aku selalu menutupi semua kekuranganku di hadapan Aksa, aku tidak ingin memperlihatkan semua kelemahanku, jadi aku selalu menutupi luka di wajahku dengan alas bedak tebal." "Tapi El, kamu tidak perlu menutupinya. Dia berhak tau." "Dia pasti tau, tapi nggak sekarang. El belum siap." "Tapi El," "Elea ngatuk bu." Elea menenggelamkan wajahnya di pelukan Kanaya, ia segera menutup matanya pura-pura tertidur agar Kanaya tidak melanjutkan obrolan. Berada dalam pelukan ibu merupakan hal ternyaman yang selalu Elea rasakan, meskipun begitu ketika menjelang dini hari ia segera bangun dan dengan perlahan keluar dari kamar. Ia melihat Revan pun terlelap di kursi ruang keluarga, dengan televisi yang masih menyala. Elea melangkah dengan perlahan, dan mematikan layar televisi. Sejenak ia menatap wajah sang ayah. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, namun Revan masih terlihat sangat tampan, dan bugar. Dengkuran halus Revan membuat Elea tersenyum, teringat ketika masih kecil ia sering meminta Revan untuk selalu membacakan cerita setiap kali ia hendak tidur meskipun terkadang Revan terlebih dulu tidur daripada dirinya. Begitu Elea membuka pintu kamarnya, hal pertama yang ia lihat adalah Aksa yang tengah duduk bersila di lantai sambil memegang ponselnya. Aksa langsung menoleh begitu menyadari kehadiran Elea, ia langsung berdiri dan menghampiri Elea. "Ya ampun El, kamu dari mana. Kenapa pergi gak bilang-bilang? Tau gak sih aku gak bisa tidur di tempat asing, apalagi seorang diri." Elea langsung diprotes Aksa. "Kamu bukan anak kecil, masa takut." "Ini bukan masalah takut atau nggak nya ya, aku sulit adaptasi di tempat baru. Pokoknya ya, kamu belum boleh tidur sebelum aku tidur!" Aksa menarik lengan Elea menuju tempat tidur. "Kalau kamu tidur duluan, aku perkosa nanti!" Ancam Aksa. Aksa tidak melepaskan pegangannya, ia tetap memegangnya dengan sangat erat. "Lepasin dulu, sakit." Elea meronta meminta tangannya di lepaskan. "Nggak! Nanti kamu kabur lagi." "Aku gak akan pergi!" "Baru sebentar aku tinggal, kamu udah ilang gitu aja. Jadi gak bakalan aku lepas lagi!" Aksa tidak menghiraukan Elea yang meronta minta dilepaskan, bahkan ia dengan sengaja memeluk erat tangan Elea, hingga tidak ada jarak lagi di antara mereka karena bantal guling yang dijadikan penghalang sudah raib di tendang Aksa hingga terpental ke bawah. "Jangan pergi tanpa sepengetahuanku lagi." Ucapnya sambil memejamkan mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN