Episode 4

1211 Kata
pertemuan antara dua keluarga akhirnya tiba, keluarga Elea maupun keluarga Aksa, kini sama-sama tengah menikmati makan malam sambil bercengkrama untuk mempererat hubungan dua keluarga yang sebentar lagi akan menjadi satu. Tidak ada yang menyadari jika kedua anak yang akan mereka jodohkan tengah mengelabui dua keluarga, karena baik Elea maupun Aksa keduanya seperti aktor profesional yang sudah sangat mahir dalam memerankan perannya masing-masing. Bahkan mereka tampak begitu bahagia, saling menyukai satu sama lain dan saling melempar senyum bahagia. Tidak tampak sedikitpun keraguan diantara mereka berdua, karena yang mereka perlihatkan hanya wajah dengan penuh senyum. Jauh di lubuk hati Elea maupun Aksa, mereka sama-sama sedang berpikir keras, bagaimana caranya agar kebohongan mereka tidak terbongkar. Seakan mereka sudah saling mengerti, tanpa persetujuan dari siapapun mereka sudah menjalankan tugasnya dengan sangat baik.  Acara makan malam berjalan lancar, dan berakhir dengan penentuan tanggal pernikahan mereka. Dan untuk mempersingkat waktu, keluarga mereka berdua menyarankan untuk mempercepat pernikahan menjadi akhir bulan. Rencana awal mereka akan melangsungkan pernikahan bulan depan, namun merasa anak-anak mereka sudah cocok satu sama lain, akhirnya mereka memutuskan untuk mempercepat saja. Lagipula tidak ada penolakan, sehingga semua rencana sudah disusun dengan baik.  Kini hanya tinggal Elea dan Aksa yang masih tinggal, karena kedua keluarga memilih pulang dan membiarkan kedua anaknya itu untuk mempunyai waktu untuk berdua.  "Jadi syarat apa saja yang kamu inginkan?" Tanya Aksa. Elea memang tidak pernah bicara, terkecuali Aksa yang memulai.  "Tidak ada. Aku hanya ingin kita menjalani kehidupan masing-masing seperti biasa, tanpa saling mengganggu, dan tentunya tidak ada kontak fisik."  Aksa menyeringai, ia sudah hafal diluar kepala bagaimana reaksi yang akan dilontarkan Elea.  "Aku setuju. Tapi aku ingin kita tinggal di apartemenku. Aku tidak terbiasa tinggal di tempat asing."  "Aku setuju. Aku bisa tinggal di apartemen milikmu, sediakan saja kamar untukku."  "Kamu tidak berencana ingin satu kamar denganku?" Goda Aksa, menaikan satu alisnya. "Tidak. Jika kamu butuh teman tidur, silahkan dengan teman kencanmu, atau mungkin kamu mau mengajak salah seorang pelayan waktu itu, tapi jangan pernah bercinta didepan mataku." Tegas Elea. Meskipun ia tidak keberatan Aksa bermain di belakangnya, tapi ia tidak ingin terlihat begitu menyedihkan di mata perempuan lain, meskipun sebenarnya ia sangat menyedihkan.  "Baiklah kalau begitu, aku juga tidak ingin kekasihmu masuk kedalam apartemen milikku." Aksa mengajukan peraturan yang sama.  "Aku akan pastikan hal itu tidak akan terjadi." Tukas Elea. "Dan terimakasih untuk kerjasamanya hari ini, sampai ketemu lagi lusa, ketika kita fitting baju." Elea segera berdiri dari tempat duduknya, hendak pergi. "Tunggu!" Cegah Aksa, ia pun ikut berdiri. Sementara Elea menatapnya, menunggu. "Kita belum bertukar nomor telepon."  Elea tersenyum masam, bahkan untuk hal sepele seperti nomor ponsel pun, mereka belum punya, tapi mereka akan melangsungkan pernikahan akhir bulan ini yang hanya tinggal menghitung hari.  Aksa menyerahkan ponselnya pada Elea agar perempuan itu menyimpan nomornya. Tidak butuh waktu lama, mereka akhirnya bertukar nomor ponsel. "Hubungi jika memang perlu." Ucap Elea sambil menyerahkan kembali ponsel milik Aksa.  Mereka berdua akhirnya berpisah. Elea terlebih dulu meninggalkan Aksa. Sementara Aksa masih duduk termangu, menatap hampa seluruh isi meja yang masih berisi makanan.  "Perempuan memang selalu lebih memilih meninggalkan dibandingkan ditinggalkan. Ego mereka sangat tinggi." Decak Aksa, karena sudah dua kali pertemuannya, pasti Elea yang terlebih dahulu meninggalkannya.  Ia memiliki kenangan buruk tentang ditinggalkan, entah itu pasangan ataupun orang tuanya. Jauh di lubuk hati kecilnya, ia sangat tersiksa dengan perasaan yang kian membuat hatinya sesak. Namun rasa sakit itu perlahan menjadi sebuah dendam, yang pada akhirnya justru membuat ia harus kembali kehilangan dan ditinggalkan.  Bukan hanya Elea, Aksa pun tidak berharap banyak pada pernikahannya. Rasa trauma yang masih melekat di ingatannya, masih saja terus menghantuinya hingga kini. Bahkan rasa trauma itu menyisakan luka dalam, hingga akhirnya ia menjadi sosok lelaki dingin, kejam dan tidak ingin terikat. Namun mengapa kini ia malah menyetujui saran dari sang ibu, untuk menikah. Apakah dengan menikah bisa menghilangkan rasa traumanya, atau ia hanya ingin kembali berulah dan membuat kekacauan seperti sebelumnya. Ia sendiri tidak tahu.  Tidak ada gunanya berlama-lama di sebuah restoran dan merenung sendiri, akhirnya Aksa memilih pergi menemui beberapa temannya untuk mencari kesenangan sesaat yang selalu ia lakukan jika suasana hatinya sedang buruk.  Sebelah tangan memegang kemudi, dan sebelah tangannya lagi menekan layar ponsel untuk menghubungi seseorang. Tidak lama panggilannya terhubung. "Gue butuh barang baru," ucap Aksa, langsung pada inti keinginanya. "Baiklah. Aku punya banyak barang baru, dan semua termasuk dalam kriteriamu."  Aksa tersenyum tengil, karena temannya itu sangat mengerti apa yang diinginkannya.  "Baiklah, aku akan sampai lima belas menit lagi." Tidak menunggu jawaban, Aksa segera memutus sambungan dan kembali fokus mengemudi.  Ia tidak merasa bersalah karena masih menemui wanita penghibur, meski ia akan segera menikah. Mungkin saja setelah menikah pun ia masih akan terus meminta jasa penghibur untuk menemani malamnya, atau sekedar menghangatkan ranjangnya. Pernikahannya hanya sekedar formalitas, bukan pernikahan sungguhan, lagipula Elea sudah memberinya izin, dan ia pun tidak akan melarang Elea menjalin hubungan dengan lelaki lain.  Aksa tersenyum sendiri memikirkan jenis pernikahan yang akan ia jalani nantinya. Mungkin sebenarnya mereka berdua hanyalah korban dari rasa kecewa, atau bahkan hanya sekedar butuh pengakuan jika mereka sudah bisa menikah dan tidak dimasukan dalam kategori kurang laku. Aksa berdecak, tatkala ia dimasukan dalam kategori kurang laku, karena dari segi tampang, dan penghasilan ia lebih dari kata cukup. Begitu juga dengan Elea, gadis itu cantik,bahkan sangat cantik, namun entah alasan apa yang membuatnya mau menerima perjodohan konyol ini.  Tidak ingin terlalu berlarut dalam pikirannya, Aksa segera turun dari mobil mewah miliknya, setelah ia melempar kunci pada seorang juru parkir langganannya.  Suasana ramai langsung menyambut kedatangannya, beberapa orang sudah sangat mengenal sosoknya. Ia tidak bergabung dengan orang-orang yang sudah memenuhi club, tapi ia justru memilih tempat yang berada di lantai dua, sebagai privat room.  Aksa memasuki ruangan yang sudah di pesannya terlebih dahulu, dan kedatangannya sudah disambut hangat oleh dua orang wanita berpakaian sexy, dan dua orang lelaki yang masih mengenakan pakaian kantor, menyeringai menyambut kedatangannya. "Widih,,, yang mau jadi pengantin baru, kemana aja baru nongol." Tanya seorang lelaki yang mengenakan jas coklat.  Aksa hanya berdecak memilih duduk di seberang temannya yang sudah memilih pasangan yang akan mereka ajak untuk menghabiskan malam bersama.  "Doni mana?" Tanya Aksa. "Dia masih jemput pesanan lo. Belagu banget maunya barang baru terus, gak mau barang sisa. Pastin juga tuh calon bini, masih segelan apa bekas orang juga." Cibir temannya. "b******k lo, San!" Umpat Aksa kepada temannya yang bernama Sandi. Mereka bertiga hanya saling mengejek satu sama lain, hingga datanglah orang yang di tunggu Aksa.  Doni datang membawa seorang perempuan cantik dan sexy dengan pakaian yang nyaris melekat di tubuhnya, bahkan lekukan tubuhnya pun tercetak dengan sangat jelas. Siapapun pasti akan langsung tergoda hanya dengan melihat penampilannya saja. d**a besar dan padat, body yang sangat menggoda, bahkan bibir merah merekah yang langsung bisa membangkitkan hasrat kaum lelaki. Namun Aksa tahu, jika perempuan yang dibawa Doni bukan perempuan baru, ia lantas menilai perempuan itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Ini?" Tanya Aksa. "Doi, idola bos. Jangan ragukan lagi kualitasnya." Balas Doni, seraya membanggakan perempuan itu. "Kalau gue kecewa?"  "Lo gak usah bayar. Alias gratis, tapi kalau lo ketagihan bayarannya jadi dua kali lipat." Ejek Doni, karena ia begitu percaya diri.  "Baiklah kalau begitu." Aksa berdiri, dan menghampiri gadis yang masih berdiri dengan sensual itu. Meraih pinggangnya dan membisikan, "Aku ingin dipuaskan malam ini," bisiknya persis di telinganya, dan gadis itu hanya tersenyum manja. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN