Elea mematung menatap pantulan tubuhnya di kaca. Gaun putih yang menjuntai panjang, dengan berbagai hiasan, semakin memperindah penampilannya, namun keindahan gaun yang dikenakannya tidak membuat ia tersenyum bahagia, layaknya seorang wanita yang akan segera menikah.
"Bagaimana gaunnya, suka?" Tanya Dea, calon mertuanya yang muncul dari belakang tubuhnya.
"Suka tante. Bagus, El suka yang ini." Kini ia memaksa bibirnya agar melengkung, membentuk senyum palsu.
"Tante juga suka, kamu terlihat jauh lebih cantik." Dea tidak henti-hentinya memuji kecantikan calon menantunya.
Dea memang tidak berbohong hanya untuk sekedar menyenangkan hati Elea, ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya karena Elea memang sangat cantik. Tubuh tinggi semampai, dan warna kulit seputih s**u, membuat Elea tampak begitu mempesona. Ia yakin Aksa pasti semakin terpesona dengan kecantikan calon istrinya.
"Aksa sepertinya terlambat datang. Kita tunggu sebentar lagi." Dea melirik jam tangan berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Bukan sebentar waktu yang dihabiskan untuk menunggu Aksa, mereka sudah menunggu hampir satu jam dan lelaki itu belum juga menunjukan batang hidungnya.
Berkali-kali Dea melirik Elea secara diam-diam, berharap Elea tidak tersinggung dengan keterlambatan putranya. Untunglah Elea tidak menunjukan tanda-tanda dirinya marah, gadis itu justru terkesan santai dan biasa saja, sambil memainkan ponselnya sejak tadi.
"Maaf aku terlamba_" ucapan Aksa menggantung ketika ia melihat seorang perempuan yang mengenakan gaun pengantin menghipnotisnya. Ia tidak menyangka dibalik baju berwarna hitam yang sering Elea pakai, tersembunyi lekukan tubuh indah dan mulus bak porselen.
"Ayo, kamu juga fitting baju. Nanti lagi liatin Elea nya." Dea segera menyuruh putranya untuk segera mencoba pakaian yang akan ia kenakan di hari pernikahannya.
Dea hanya tersenyum jahil, melihat Aksa yang terus mencuri pandang melirik kearah Elea berada.
"Sabar,,, sebentar lagi halal kok." Dea mencubit pinggang Aksa, membuat ia meringis sekaligus malu karena tertangkap basah memperhatikan Elea.
Sementara itu, Elea tidak terganggu sedikitpun dengan perbincangan antara anak dan ibu itu, meskipun ia mendengar semua ucapan Dea, ia memilih diam menyibukan diri dengan mendesain beberapa pakaian di ponselnya.
Jika ada peringkat perempuan yang tidak bahagia menjelang pernikahannya, mungkin Elea pasti mendapat juara pertama. Meskipun ia berdiri berdampingan dengan Aksa, melihat pantulan bayangan mereka berdua di cermin yang terlihat begitu sempurna, tidak membuat sedikitpun hati Elea senang. Bukan, bukan karena gaun yang ia kenakan jelek dan bukan hasil karyanya, tapi karena ia memang tidak memiliki minat sedikitpun dengan pernikahan ini.
"Aku tidak sengaja datang terlambat," ucap Aksa pelan tepat di sebelah telinga Elea.
"Aku tau, perempuanmu sudah memberiku kabar. Aku mengerti." Ucapnya santai,
"Maksudmu siapa?" Elea segera memeriksa ponselnya, mengotak atik beberapa pesan dan kemudian menunjukan salah satu pesan yang dikirimkan oleh seseorang yang memberitahunya sekaligus mengirim sebuah foto sebagai bukti.
"Dia berbaik hati memberikan kabar. Ucapkan rasa terima kasihku untuknya." Elea menarik kembali ponselnya dan menaruhnya di dalam tas kecil.
Aksa sungguh dibuat takjub dengan segala sikap tenang Elea, bahkan tidak ada sedikitpun raut kecewa terlihat di wajah perempuan itu. Mungkin untuk perempuan lainnya, ia akan sangat marah dan merasa harga dirinya terinjak-injak ketika calon suaminya terlambat datang dan memilih menghabiskan waktu dengan perempuan lain. Namun itu tidak berlaku untuk Elea. Ia justru tampak santai seolah tidak terjadi apapun, membuat Aksa menggeleng tidak percaya.
"Ibu pulang duluan. Aku masih ingin bersama Elea." Ucap Aksa pada ibunya, dan tentu saja Dea tidak akan menolak.
"Tentu, Ibu bisa pulang sendiri."
"Hati-hati tante." Elea mencium kedua pipi Dea, sebelum calon mertuanya itu masuk kedalam mobil dan meninggalkan mereka berdua.
"Kita tidak ada janji sebelumnya, jadi aku harus segera pulang."
Aksa kembali dibuat terkejut dengan ucapan Elea, perempuan dengan pembawaan tenang itu, kini terasa begitu mengusik hatinya.
"Kamu masih normal kan?" Tanya Aksa sambil berkacak pinggang.
"Maksud kamu?" Elea tampak heran, ia menyerngitkan dahinya tidak mengerti.
"Kenapa kamu gak marah?"
"Kenapa harus marah?"
"Astaga El!" Aksa benar-benar merasa kesal sendiri karena sikap masa bodo Elea.
"Ayo ikut aku!" Aksa menarik tangan Elea, dan memintanya masuk kedalam mobil miliknya yang terletak tidak jauh di parkiran.
"Kita tidak ada janji lagi, aku masih banyak pekerjaan. Kita bisa atur janji lainnya, tapi nggak hari ini." Protes Elea karena ia tidak diberi kesempatan untuk menolak.
"Aku juga harus memastikan sesuatu. Dan harus sekarang aku pastikan!" Balas Aksa,
"Dengar aku baik-baik. Kamu masih menyukai lelaki bukan?" Elea mengerjapkan matanya berkali-kali, sebelum akhirnya ia malah tertawa terbahak-bahak membuat Aksa semakin kesal.
"Atas dasar apa kamu ngomong gitu? Kamu pernah lihat aku pacaran dengan seorang perempuan?" Tanya Elea, sambil terus tertawa.
"Terus kenapa kamu gak marah?"
"Sebutkan apa alasannya, aku harus marah."
"Ya,,, itu,, contohnya hari ini."
"Kamu datang terlambat? Atau karena pacarmu mengirim gambar?"
"Ya,, itu,, dua-duanya." Jawab Aksa canggung. Ia sebenarnya enggan menanyakan hal itu, namun Elea tidak peka sama sekali dan ia ingin memastikan sendiri bagaimana reaksi Elea.
"Dengar ya," Elea menghela nafas lemah, sebelum ia memulai penjelasannya.
"Aku tidak marah karena aku tidak berhak marah. Walaupun aku marah apa kamu akan meminta maaf padaku? Nggak kan?"
"Bukan seperti itu maksudku."
"Lalu kalau aku marah di depan Ibumu, dan menunjukan foto itu, aku yakin dia pasti marah besar dan bahkan mungkin dia tidak akan melanjutkan rencana pernikahan kita. Itu urusanmu dan pacarmu, aku tidak ada hubungannya. Kenapa aku harus marah, astaga! Kamu aneh." Elea menyeka setitik air mata di ujung matanya, karena ia terlalu keras tertawa.
"Jika kamu ragu tentang orientasi seksualku. Aku masih perempuan tulen,dan aku masih menyukai lawan jenis. Jadi kamu tidak perlu takut, menikahi perempuan aneh." Jelas Elea.
"Ya,,, aku cuman gak mau tinggal satu rumah dengan manusia aneh aja."
"Aku gak aneh. Aku cuman membatasi setiap urusan kita masing-masing agar nantinya tidak salah paham." Aksa tidak lagi bertanya, meskipun hatinya masih kesal karena sikap acuh Elea.
"Kalau tidak ada yang ingin kamu tau lagi, aku mau turun. Aku harus kebutuik. Sampai ketemu lagi minggu depan di hari pernikahan kita." Elea merapikan baju dan rambutnya sekilas. Namun baru saja ia hendak membuka handle pintu, ia melirik ketika tangannya yang ditahan Aksa.
"Aku belum puas dengan jawabanmu." Ele mengerutkan keningnya, hingga Aksa menarik tengkuk Elea dan mencium lembut bibirnya.
Tubuh Elea seketika menegang, desiran panas mengalir di setiap lumatan bibir Aksa.
"Kalau kamu benar masih menyukai laki-laki, balas ciumanku." Menahan tubuhnya yang bergetar hebat karena ciuman dadakan Aksa.
Tidak ingin harga dirinya kembali terinjak, akhirnya Elea sedikit menyamankan posisi tubuhnya. Perlahan ia pun membuka mulutnya dan menerima ciuman Aksa. Membalas setiap lumatan dan seakan diberi jalan ketika ia membuka mulutnya, membuat Aksa semakin memperdalam ciumannya. Menutupi getaran hebat tubuhnya ia melampiaskannya dengan mencengkram erat kedua pundak Aksa.
"Cukup! Aku masih wanita normal bukan?" Elea menarik diri. Nafas keduanya masih terengah, akibat ciuman panas yang mereka lakukan. Bahkan Aksa ataupun dirinya tampak berkeringat, meskipun pendingin mobil sudah dinyalakan semenjak mereka masuk.
"Sekarang kamu percaya?" Tanya Elea lagi, karena Aksa masih menatap bibir merah Elea yang begitu menggoda.
"Hah! Ah iya. Udah kok." Jawabnya terputus-putus.
Elea menarik perlahan kedua tangan Aksa yang entah sejak kapan sudah berada di pinggangnya,
"Aku harus kebutik. Sampai jumpa,,," ia kemudian keluar dari dalam mobil meninggalkan Aksa yang masih tampak seperti orang gagu.
Memperhatikan langkah Eela hingga perempuan itu pergi menggunakan mobil berwarna putih miliknya, membuat Aksa seperti terhipnotis. Ciuman seperti ini bukan hal baru untuk dirinya, bahkan lebih dari sekedar ciuman pun ia sering melakukannya. Namun begitu ia merasakan bagaimana manisnya bibir Elea, dan bagaiman amatirannya ia membalas ciuman, membuat Aksa hampir gila. Ia tahu Elea terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba, bahkan Aksa sudah mempersiapkan diri, jika Elea menamparnya atau pun memukulnya. Namun diluar dugaan itu, Elea justru membalas ciumannya, meskipun ia bisa merasakan tubuh Elea bergetar hebat.
Sementara itu Elea pun menahan kuat-kuat tubuhnya yang masih bergetar hebat. Ia mencengkram stir kemudi dengan sangat kuat, sehingga buku-buku jarinya memutih. Mencoba menetralkan degupan jantungnya yang semakin menggila, namun ia gagal dan akhirnya ia memilih untuk sebentar menepikan mobilnya di bahu jalan.
Dengan kencang ia menginjak pedal rem, membuat dirinya hampir terpental jika tidak ada sabuk pengaman. Elea menangkup wajahnya dengan kedua tangannya, dan menangis. Ia menangis untuk semua kekesalan yang ia rasakan hari ini. Ia perempuan biasa, ia juga punya hati. Ketika Aksa dengan sengaja terlambat datang, dan seorang perempuan teman kencan Aksa mengirim gambar Aksa yang masih terlelap tidur bertelanjang d**a, membuatnya hatinya meradang.
Ia memang tidak mencintai Aksa, namun begitu laki-laki itu mempermainkannya dengan sengaja bahkan menguji kesabarannya. Tidak hanya sampai disitu saja, hingga akhirnya tiba-tiba ia menciumnya membuat jarum kesabarannya melesat tinggi. Namun ia tetap berusaha bersikap tenang, ia tidak ingin kelemahannya menjadi tontonan menarik bagi Aksa.
Dan saat inilah, saat dirinya sendiri ia benar-benar melampiaskan segala kekesalannya. Menangis sekencang-kencangnya, memukul dadanya dengan keras untuk melampiaskan sesak di hatinya.