Episode 6

1662 Kata
Elea masih memandangi sebuah amplop yang sudah ia buka, perlahan ia menghela lemah. Isi dari amplop putih itu, adalah dua tiket liburan gratis sebagai hadiah pernikahannya dari adiknya Danisa. Seharusnya ia merasa bahagia namun justru ia merasakan hal sebaliknya. Beberapa kado dari beberapa sanak saudaranya pun masih utuh belum disentuh sama sekali. Ada berbagai macam ukuran, ada yang kotak besar dan ada juga kotak kecil, namun tidak sedikitpun Elea berminat membukanya. Ia hanya menumpuknya dan membiarkan semua benda kotak itu tergeletak begitu saja. Amplop putih yang ia pegang saat ini adalah kado pertama yang ia buka, meskipun kado paling kecil yang ia terima. Meskipun kecil, namun sangat mengganggu. Awalnya ia tidak berniat sedikitpun untuk membukanya, sama seperti kado-kado yang lainnya. Namun yang membuat ia akhirnya membuka amplop tersebut adalah, nama dan tulisan yang tertulis di bagian depan amplop. Bukan cuman hanya Danisa yang memberinya ucapan selamat atas pernikahannya namun juga Daren, suami Danisa sekaligus mantan kekasihnya. Seharusnya Elea tidak perlu mempermasalahkan setiap untaian kata yang tertera di bagian luar amplop, namun ia sangat hafal tulisan tangan yang ditulis menggunakan pena berwarna biru itu. Itu adalah tulisan tangan Daren. Elea sangat hafal karena ketika mereka berdua masih menjadi sepasang kekasih Daren seringkali mengirimnya makanan atau hanya sekedar satu batang coklat dengan tulisan tangannya. Rasa sesak kembali menghimpit relung hatinya. Semua untaian kata yang berisi harapan dan doa, yang Daren tulis secara langsung membuatnya yakin Daren memang sudah benar-benar melupakannya dan menggantikan posisi dirinya dengan Danissa. Seharusnya ia pun sama seperti Daren, namun Elea bukanlah orang yang bisa mengganti seseorang yang sudah melekat erat di hatinya dengan mudah. Terkadang ia sangat menyesali kemampuannya dalam mengingat apapun dengan sangat kuat, sehingga membuatnya sulit melupakan hal-hal yang seharusnya ia lupakan, termasuk kejadian penculikan yang menimpanya ketika kecil. Sampai hari ini masih ia ingat dengan sangat jelas. Tiga hari lalu ia benar-benar melepas masa lajangnya, merubah statusnya menjadi nyonya Aksara Keenan, dan satu hari setelah pernikahannya ia dibawa pindah ke apartemen milik Aksa. Tidak ada hal yang berkesan dengan pernikahannya selain ia melihat seorang lelaki, cinta pertama di hidupnya menangis. Yaitu Revan. Lelaki kebanggaannya menangis di hari pernikahannya. Dimata Elea Revan adalah sosok yang tegas, dan tidak pernah menunjukan sisi rapuhnya. Namun ketika hari itu, ia melihat bagaimana sosok yang selalu ia banggakan itu menangis ketika ia meminta restu dan ketika tanggung jawabnya sebagai orang tua kini berpindah tangan kepada Aksa, menantunya. Pernikahan yang diselenggarakan secara mendadak itu hanya dihadiri keluarga terdekat. Bahkan Elea dan juga Aksa tidak mengundang sahabat mereka. Aksa dan Elea memang sepakat hanya mengundang keluarga inti dan acara pernikahan hanya diadakan di sebuah gedung kecil yang menampung tidak kurang dari seratus orang. Kedua keluarga merencanakan pernikahan yang megah dan meriah, namun ternyata pihak pengantin justru menolak dan memilih acara yang sangat sederhana untuk keluarga terpandang seperti Revan. Namun, seakan tidak ingin mempersulit keadaan akhirnya pihak keluarga menyetujui keinginan Elea dan juga Aksa, dengan hanya mengundang saudara terdekat saja. Pernikahan yang sederhana tapi tidak mengurangi kebahagiaan untuk dua keluarga yang kini menjadi satu, namun dibalik itu semua ada dua orang yang selalu tersenyum palsu, agar semua orang tidak menyadari jika mereka berdua sedang berpura-pura bahagia. Elea bukan wanita manja yang meributkan hal-hal sepele, termasuk kamar yang kini ia tempati setelah ia menyandang status barunya sebagai istri dari Aksa. Aksa menyediakan sebuah kamar untuk ditempatinya, meskipun tidak sebesar kamar yang ditempatinya tapi cukup nyaman dan bersih membuat Elea tidak perlu mempermasalahkan kamar yang kini akan ia tempati. Tiga hari berada di lingkungan baru tidak membuat Elea merasa canggung atau aneh karena sejak kecil Elea memang sering berpindah-pindah tempat tinggal. Hanya saja kini ia harus tinggal satu atap dengan seorang lelaki dewasa, membuatnya sedikit merasa canggung. Namun untuk mengurangi intensitas pertemuannya dengan Aksa, Elea lebih sering keluar kamar ketika Aksa sudah pergi atau belum pulang kantor. Elea tidak seperti Aksa yang sudah terlebih dahulu memulai aktivitasnya seperti biasa setelah dua hari mereka menikah. Elea memilih meliburkan diri selama satu minggu, selain karena ia harus membereskan beberapa barang-barang miliknya, ia juga menghindari pertanyaan beberapa orang yang bekerja di butiknya. Mereka pasti mencurigainya, jika satu hari setelah menikah ia langsung kembali bekerja. Dering ponsel membuyarkan lamunannya, "Iya Bu," Elea langsung menerima panggilan begitu nama Ibunya tertera di layar ponsel. "Bagaimana kabarmu nak?" Pertanyaan yang sama, yang pertama kali Kanaya tanyakan ketika menghubungi putri sulungnya. "Baik, Bu. Kabar Ibu dan Daddy baik?" Elea balik bertanya, meskipun baru saja kemarin Ibunya menghubunginya. Bahkan Kanaya bisa dua sampai tiga kali menelepon atau mengirimkan pesan dalam satu hari, hanya untuk memastikan kondisi putrinya baik-baik saja. "Ibu dan juga Daddy baik-baik saja. Kalian kapan mau kesini?" Elea kembali harus mencari-cari alasan untuk menghindari kunjungannya ke rumah, "Mungkin minggu depan, Bu. Aksa sibuk sekali." Hanya alasan sibuk yang sering digunakan untuk menghindar, meskipun sebenarnya ia tidak tahu apakah Aksa memang benar-benar sibuk atau tidak. "Kalau begitu Ibu dan Daddy yang kesitu." "Jangan! Jangan, biar kita aja yang kesana." Elea buru-buru meyakinkan Ibunya, berbahaya jika keluarganya sampai tau dirinya dan suaminya tidur terpisah. "Baiklah kalau kalian yang mau datang kesini. Sekalian kita bisa saling berkumpul bersama." Elea hanya bergumam. Membayangkan dirinya dan juga keluarga Danissa berkumpul dalam satu meja makan, membuat kepalanya terasa pusing. Terdengar samar-samar suara pintu terbuka, Elea yakin itu pasti Aksa. Meskipun tidak biasanya ia pulang di jam seperti ini, namun siapa lagi yang memiliki kunci akses masuk ke rumahnya. "Bu, sepertinya suamiku sudah pulang. Aku tutup dulu ya." "Yasudah kalau begitu. Sampaikan salamku untuk Aksa." "Iya." Elea segera menutup sambungan, namun ia tidak kunjung beranjak dari duduknya untuk memastikan suaminya pulang. Ia memilih kembali menatap amplop putih dan kembali memasukan isinya lalu menaruhnya di dalam nakas sebelah tempat tidurnya. Elea tidak berniat untuk menemui Aksa, namun terdengar keributan dari luar kamarnya seperti pecahan kaca. Meki Pun enggan untuk memastikan, namun rasa penasaran akhirnya membuatnya melangkah dan keluar dari dalam kamar. Hal pertama yang Elea lihat adalah sosok perempuan berambut panjang tengah berdiri sambil meringis kesakitan memegang jarinya yang berdarah, entah apa yang perempuan itu lakukan, hanya saja suara nyaring tadi ternyata berasal dari piring berisi potongan buah yang sudah berhamburan di lantai. "Kamu siapa?" Tanya perempuan itu, seharusnya Elea yang bertanya namun justru perempuan asing itu yang terlebih dahulu bertanya. "Aku yang seharusnya bertanya. Kalau kamu gak tau, aku istrinya Aksa." Perempuan itu nampak mengerjapkan matanya berulang kali, sebelum akhirnya ia tertawa terbahak-bahak. "Oh,, kamu yang waktu itu aku kirim gambar?" Elea tidak menjawab ia hanya mengangguk. "Astaga, aku tidak tau ternyata kalian benar-benar menikah. Aksa tidak bercerita apapun padaku." Perempuan yang mengenakan baju super minim itu nampak tidak merasa bersalah ataupun terkejut mendengar pengakuan Elea, membuat Elea pun bersikap santai meski hatinya sedikit tersentil karena Aksa tidak memberitahunya jika ada orang lain yang mendapat kunci akses masuk. "Perkenalkan aku Lidia, pacarnya Aksa. Senang berkenalan denganmu. Aku sudah tau semua tentang kalian. Jadi kamu tidak perlu takut, aku pandai menjaga rahasia, asalkan kamu pun begitu." Ucapnya acuh, sambil terus memegangi jarinya yang terluka dan masih mengeluarkan darah. "Hari ini Aksa pulang cepat, jadi aku sengaja datang lebih awal. Biasanya dia suka buah potong, jadi aku sengaja buatin. Tapi malah jariku yang kena irisan pisau." Lanjutnya sambil kembali meringis. Memang tidak banyak yang ia tahu tentang kebiasaan Aksa, bahkan Elea tidak sedetil Lidia yang hafal bagaimana kebiasan nya. Rasanya wajar saja Elea tidak tau karena mereka baru saja berkenalan kurang lebih dua bulan sampai menikah, namun ketika ia mengetahui hal itu dari orang lain dan itu adalah kekasih Aksa membuatnya kembali harus menahan kesal. "Oke kalau begitu, lanjutkan saja. Aku tidak akan mengganggu kalian. Dan tolong bereskan semua kekacauan yang kamu buat, termasuk pecahan kaca. Karena kau bukan pembantu di rumah ini." "Aku tidak menganggapmu pembantu, aku pasti membersihkannya karena selama ini pun aku yang sering merapikan apartemen ini. Kamu masuk kamar saja. Tidak perlu memperdulikan kita." Elea kembali dibuat kesal dengan jawaban Lidia. Mungkin kebanyakan orang akan langsung bertengkar atau mendapati perempuan selingkuhan suaminya yang arogan dan egois, tapi Lidia berbeda. Ia tidak menunjukan tanda-tanda permusuhan, bahkan ia tidak membantah ketika Elea menyuruhnya membersihkan sisa-sisa pecahan piring. Tidak perlu berlama-lama, Elea pun kembali masuk kedalam kamar. Membiarkan Lidia membersihkan pecahan piring dan menunggu kekasih sekaligus suaminya datang. Tidak pernah ia merasa lama menunggu seseorang seperti ini, biasanya ia selalu acuh dengan semua yang dilakukan Aksa, namun kali ini entah mengapa ia sangat gelisah sampai-sampai ia berulang kali melihat jam dinding untuk memastikan sudah berapa lama mereka berada di luar. Tidak sabar menunggu terlalu lama lagi, akhirnya Elea memutuskan untuk keluar kamar. Perasaan aneh yang terus menggelitik hatinya berhasil mengalahkan gengsi yang ia selama ini ia pegang erat. Mempersiapkan diri dari segala pertanyaan yang akan dilemparkan kepadanya, membuat Elea harus berpikir keras mencari alasan yang tepat agar ia tidak terlihat memalukan. "Kamu ngapain jalan kayak maling?" "Astaga!" Elea terkejut, begitu sebuah tangan menepuk pundaknya sampai dirinya berjengit. "Kenapa kaget?" Tanya Aksa, bingung. "Kamu yang kenapa ngagetin!" "Kamu gak lihat dari tadi aku duduk disitu?" Aksa menunjuk kursi yang menghadap langsung ke jendela, tempat favoritnya. "Aku,, aku lihat!" Elak Elea, ia tidak ingin terlihat bodoh karena kelakuannya, jadi ia memilih berpura-pura saja. "Lagian kamu jalan mengendap-ngendap kayak maling aja." Aksa melewati tubuh Elea, menuju dapur. "Pacar kamu udah balik?" "Pacar?" Aksa tampak bingung, seolah mengingat sesuatu. "Oh,, Lidia maksud kamu." Ucap Aksa begitu ia berhasil mengingat perempuan yang sudah ia usir satu jam lalu. "Iya, tadi dia kesini cari kamu." "Udah balik. Kenapa?" "Ngak apa-apa." Jawab Elea cuek. Ia pun berpura-pura membuka kulkas untuk mengalihkan pembicaraan lebih jauh dengan Aksa, meskipun ada banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan. "Kamu gak marah?" Tiba-tiba Aksa kembali bertanya. "Nggak, tapi aku boleh minta satu hal padamu?" "Apa?" "Aku tidak melarangmu menjalin hubungan dengan siapapun, tapi tolong jangan dirumah ini. Aku terlihat begitu menyedihkan di mata perempuanmu, jika kalian berpacaran di dalam satu rumah yang sama denganku." Aksa tertegun. Ia semakin dibuat tidak mengerti dengan cara berfikir Elea, padahal ia berusaha membujuk Lidia agar tidak menemuinya lagi, namun Elea justru berpikir sebaliknya. "Kamu benar-benar membuatku semakin penasaran, El."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN