Pindah Apartemen

1204 Kata
Minggu (08.03), 14 Juni 2020 --------------------- Manajer gedung adalah lelaki pertengahan empat puluhan yang tampak ramah. Dia menyalamiku dengan hangat sebelum mengajakku duduk di sofa dalam kantornya yang luas di lantai pertama gedung apartemen. “Nona Syafira, saya benar-benar menyesal harus mengganggu hari Anda.” Lelaki yang memperkenalkan diri dengan nama Andi itu memulai pembicaraan. Aku tersenyum menenangkan. “Fira saja. Dan saya tidak merasa terganggu, hanya penasaran.” “Oke, Nona Fira. Begini,” Andi mengatupkan kedua tangan di depan tubuh dengan sikap serius. “apartemen yang Anda tempati harus direnovasi. Karena itu, dengan menyesal kami harus meminta Anda pindah.” “Apa?” tanyaku kaget. Senyum ramahku hilang seketika. “Maksudnya saya diusir?” “Oh, tidak tidak! Bukan begitu. Maksudnya kami hendak meminta Anda pindah dari apartemen itu ke apartemen lain di gedung ini. Bahkan sebagai permintaan maaf atas ketidaknyamanan ini, kami akan memberikan Anda apartemen mewah dengan harga sewa sama seperti apartemen yang sekarang Anda tempati.” Hah? Serius? Tinggal di apartemen mewah dengan sewa murah? Siapa yang akan menolak rezeki sebesar itu? Ya, sedari dulu aku selalu bermimpi tinggal di apartemen. Itu sebabnya meski dengan uang pas-pasan, aku lebih memilih menyewa apartemen daripada mengontrak rumah atau mencari tempat kost. Bisa menyewa apartemen meski kelas menengah sudah cukup membuatku bersyukur. Rasa penasaranku mengenai bagaimana rasanya tinggal di apartemen terobati. Dan sekarang aku mendapat tawaran pindah ke apartemen mewah seperti yang sering kulihat di tv dan kubayangkan ditempati tokoh-tokoh ceritaku? Aku pasti sudah gila jika menolaknya. “Bagaimana, Nona Fira?” Aku menekan rasa senangku dan pura-pura mengerutkan kening seolah tak setuju. Aku tidak bisa menerimanya begitu saja tanpa membuat seolah-olah ini sangat mengganggu. Dengan begitu mereka—pihak manajemen gedung—tidak merasa seolah-olah aku yang butuh. Sebaliknya mereka akan merasa bersalah hingga tidak berani mengusikku di kemudian hari. Siapa yang bisa menjamin ini bukan akal-akalan untuk menaikkan harga sewa? “Kenapa harus sekarang? Apa tidak bisa menunggu sampai masa sewa saya selesai? Saya hanya menyewa selama dua bulan.” “Tidak bisa, Nona. Dan sebenarnya—” tiba-tiba Andi tampak gelisah. “apartemen yang Anda tempati berhantu. Itu sebabnya kami akan melakukan renovasi dan ritual pengusiran arwah.” Aku terbelalak. Sepertinya berita tentang apartemen yang kutempati itu berhantu baru sampai ke telinga pihak manajemen gedung. Jujur aku cukup kagum pada mereka yang tidak hanya mementingkan keuntungan pribadi. Seharusnya mereka bisa membiarkanku tetap tinggal di sana dan pura-pura tidak tahu. Tapi mereka memilih bertanggung jawab, meski memberikan apartemen mewah dengan sewa murah pasti cukup merugikan. “Anda percaya pada hantu?” refleks itu yang kutanyakan. Andi terlihat seperti orang terpelajar yang tidak akan percaya pada hal-hal gaib. Lucu juga dia membicarakan mengenai arwah sekarang. “Hmm, sebenarnya tidak terlalu. Tapi pemilik gedung dan orang-orang yang tinggal di sini memercayainya. Jadi saya pikir mungkin dia memang ada.” Raut wajah Andi berubah penasaran. “Apa Anda tidak merasakan gangguan hantu selama tinggal di sana?” Haruskah aku berkata tidak? Apa itu akan membuat tawarannya dibatalkan? “Hmm, sebenarnya tidak,” kataku kemudian sambil mengangkat bahu. Toh aku juga mengatakan pada para tetangga bahwa tidak ada hantu di apartemenku. Sejenak Andi terdiam, tampak berpikir. Aku mulai waswas. Apa dia akan menarik kembali tawarannya? Sayang sekali jika iya. Kapan lagi ada tawaran semenggiurkan ini? “Tapi saya harus tetap meminta Anda pindah, Nona. Ini perintah pemilik gedung.” Oke, waktunya menyerah! Otak gratisanku langsung melonjak seketika. Aku mendesah. “Baiklah jika memang tidak ada jalan lain. Padahal saya sangat menyukai apartemen itu,” kataku, pura-pura seolah ini pilihan yang sangat berat. “Saya yakin Anda juga akan menyukai apartemen baru Anda,” sahut Andi yakin. Aku mengangguk. “Jadi kapan saya harus pindah?” “Besok pagi. Saya sendiri yang akan mengantar Anda ke apartemen baru Anda.” Setelah basa-basi sejenak, akhirnya aku pamit. Mati-matian aku menahan perasaan senang sepanjang jalan menuju apartemenku. Jika ada yang memperhatikan, mungkin orang itu heran melihatku yang tampak jelas menahan senyum senang tanpa alasan. Klek. Pintu apartemen terbuka dengan mudah. Begitu aku masuk dan pintu kembali tertutup rapat, aku tidak lagi menahan perasaan senangku. Aku tersenyum lebar seraya bergegas menuju sofa tempat si hantu duduk dengan raut penasaran menatapku. “Apa lagi sekarang?” tanyanya seraya bergeser memberiku ruang untuk duduk. Aku duduk menyamping hingga posisi kami berhadapan, seraya meraih guling yang biasa dipeluknya lalu kuletakkan di atas pangkuanku. “Jangan baca pikiranku! Biar aku yang cerita,” seruku memperingatkan. Salah satu alisnya terangkat tapi dia mengangguk tanpa mengatakan apapun. Bisa saja dia tetap membaca pikiranku tanpa kusadari. Tapi aku tidak peduli. Yang penting aku tetap akan bercerita. “Manajer gedung menawariku pindah ke apartemen mewah di lantai atas dengan harga sewa yang sama seperti apartemen ini,” jelasku semangat. Seketika raut wajahnya berubah murung. Padahal aku belum menjelaskan tentang ritual pengusiran arwah. Dalam hati aku tergelak. “Kau menyetujuinya, ya?” tanyanya dengan nada lesu. Uh, dia jadi sangat menggemaskan dan manis. “Ya, tentu saja. Mana mungkin aku menolaknya? Apalagi manajer bilang alasanku harus pindah karena apartemen ini akan direnovasi dan akan dilakukan ritual pengusiran arwah.” Aku memajukan wajah lalu berbicara lebih pelan, seolah takut orang lain mendengar. “Sepertinya mereka sudah tahu bahwa ada hantu yang tinggal di sini.” Reaksinya benar-benar seperti yang aku harapkan meski tidak tampak ketakutan. Dia hanya terlihat begitu sedih dan lesu. Seketika aku tergelak, senang karena dia termakan ucapanku. Dia pasti khawatir dengan ritual itu. Atau—takut berpisah denganku? “Ya, sebenarnya aku takut berpisah denganmu,” katanya kemudian. Lalu dia berusaha menampakkan senyum dengan tangan terulur, menyentuh helai rambutku yang lepas dari ikatan. “Tapi aku tidak ingin menjadi penghalang mimpimu. Kau sudah lama ingin tinggal di apartemen mewah. Ini kesempatan yang tidak bisa kau abaikan. Jadi pindah saja, tidak perlu memikirkanku.” Aku masih tersenyum lebar, tak terpengaruh kesedihannya. Apa dia tidak bisa melihat apa yang kurencanakan dalam pikiranku? “Itu romantis sekali dan sangat perhatian,” kataku seraya menggenggam tangannya lalu kutempelkan di pipiku. Tangannya hangat. Tidak seperti gambaran hantu-hantu pada umumnya. “Tapi...” sengaja kugantung kalimatku. “aku tidak akan pindah tanpamu. Kau boleh ikut. Ah, tidak. Harus! Kau harus ikut pindah bersamaku ke apartemen atas.” Lalu aku tergelak lagi. “Lucu juga kau tidak membaca itu dalam pikiranku.” Raut sedihnya belum berubah. Dia hanya menatapku dalam, tanpa mengatakan apapun. “Ayolah, aku hanya bercanda tadi. Jangan sedih begitu.” “Tapi kau tetap akan pindah,” katanya pelan. “Ya, bersamamu.” “Aku tidak bisa.” Keningku berkerut. “Apanya yang tidak bisa?” “Aku tidak bisa keluar dari apartemen ini.” Seketika senyumku lenyap. Tanganku yang masih menggenggam tangannya di pipiku turun hingga kedua tangan kami terjalin di atas sofa antara kami. Mulutku terbuka, menatapnya dengan sorot bingung dan tak percaya. “Tapi—tapi kau mengikutiku ke toko buku.” “Tidak.” “Lalu siapa yang di toko buku?” Dia terdiam, tampak berkonsentrasi. Dia pasti sedang membaca pikiranku sekarang, mencari sosok yang kutemui di toko buku. “Itu bukan aku,” sahutnya. “Ingat yang kukatakan bahwa hantu bisa menyerupai apa yang kau pikirkan?” “Apa mungkin karena aku berpikir hantu itu sepertimu, jadi dia menyerupaimu.” Dia mengangguk. “Mungkin saja.” “Lalu sekarang bagaimana?” “Apanya?” “Tentang kepindahanku!” aku berseru dengan rasa khawatir dan frustasi. Kalau dia tidak bisa pindah, aku juga tidak akan pindah. Dia tersenyum lembut. “Tidak apa-apa. Aku tetap di sini.” “Kalau begitu aku tetap di sini juga,” putusku kemudian lalu berdiri. “Fira—” “Aku akan menemui manajer dan mengatakan bahwa aku tidak bisa pindah.” “Fira—” “Tidak, jangan katakan apapun!” Mendadak mataku berkaca-kaca. Kami saling bertatapan. Aku berdiri sementara dia masih duduk di sofa. “Aku—aku tidak mau berpisah darimu.” Akhirnya kuakui itu dengan setetes air mata yang jatuh mengalir di pipiku. “Jangan,” katanya pelan dengan suara serak. “Jangan tumbuhkan perasaan itu di hatimu. Meski kau tidak perlu pindah sekarang, tapi nanti akhirnya kau tetap harus—” Aku menutup kedua telingaku seraya menggeleng. Kini air mataku tak bisa dibendung lagi. Aku menangis tanpa suara saat mundur lalu berbalik membelakanginya. Buru-buru kuhapus air mata di wajahku seraya berkata, “Aku pergi dulu.” Tanpa menunggu tanggapan, aku berderap menuju pintu apartemen. Astaga, kenapa jadi seperti ini?!    --------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN