KBL.07 IA TERLALU CANTIK

1291 Kata
ALEXANDRE WANG   Enam tahun sebelumnya…       Aku baru saja menginjakan kaki di Istanbul Ataturk Airport tadi pagi pada pukul 09.00 kota Istanbul. Aku tidak pernah tahu bagaimana wajah asli kota Istanbul sebenarnya, kecuali dari foto-foto yang ada di internet dan pastinya cerita dari orang-orang terdekatku. Ini pertama kalinya aku kembali ke tanah kelahiranku setelah sekian lama berada di kota New York. Melakukan perjalanan berjam-jam dari New York ke Istanbul sangat melelahkan bagiku. Setelah aku turun dari pesawat, aku telah di tunggu oleh seorang supir yang di utus oleh temanku di luar ruang kedatangan. Ia menuntunku berjalan ke parkiran dan membawaku ke tempat yang telah aku sepakati dengan temanku.       Aku dilahirkan di kota Istanbul, Turki dari pasangan yang berasal dari dua benua. Ibuku bernama Agatha seorang wanita berdarah Turki-Yunani. Dan ayahku seorang pria bernama Brandon Wang berdarah Asia bermarga Wang. Setelah aku lahir, orang tuaku pindah ke kota New York, Amerika Serikat untuk menjalankan bisnisnya di sana. Aku tumbuh hingga besar di kota New York sebagai pewaris tunggal dan penerus perusahaan Wang Corp. Dan dewasa ini aku ingin mengembangkan bisnisku di Istanbul, kota kelahiranku.       Selama di perjalanan dari bandara ke restoran yang dituju, aku menikmati pemandangan di luar jendela mobil yang sangat indah. Banyak bangunan-bangunan bergaya modern dan bergaya Romawi kuno menyatu dengan kota ini. Istanbul merupakan kota lintas benua di Eurasia yang membentang melintasi Selat Bosphorus diantara Laut Marmara dan Laut Hitam. Sebuah kota yang dulunya dikenal sebagai Konstantinopel dan Bizantium pada saat pemerintahan Kaisar Romawi. Dan pemandangan kota yang ada di dua benua ini sangat memanjakan mata, aku sangat takjub dibuatnya.       Siang itu aku akan mengadakan pertemuan dengan rekan bisnisku di salah satu restaurant yang ada di pusat kota Istanbul. Sebuah restaurant mewah dengan bangunan dan interior bergaya Baroque terlihat sangat artistic. Restaurant itu terletak tidak jauh dari Masjid Sultan Ahmed yang menjadi salah satu landmark kota Istanbul.       “Hey, Bro!” Terdengar suara familier dari depan pintu restaurant yang ada di seberang parkiran. Pria itu melambaikan tangannya padaku dan tersenyum hangat.       Pria itu bernama Erhan Yavuz, teman baikku saat aku masih duduk di bangku perguruan tinggi di kota New York. Ia seorang pria berkebangsaan Turki yang datang ke kota New York untuk melanjutkan pendidikannya. Aku menyukai kepribadiannya yang ramah, rendah hati dan sangat sopan. Dan yang membuatku semakin tertarik padanya adalah karena kami lahir di kota yang sama, Istanbul – Turki. Meski aku hanya lahir di kota Istanbul dan tumbuh besar di New York, tapi kedua orang tuaku mendidikku dengan kebudayaan Asia terutama Turki. Dan aku sangat menyukai kota dan kebudayaan Negara asal orang tuaku ini.       Aku dan Erhan sudah berteman baik cukup lama. Saat masih di New York, kami selalu melakukan kegiatan bersama-sama sebagai sahabat. Hingga akhirnya kami lulus kuliah dan Erhan kembali ke Negara asalnya, Turki. Beberapa waktu lalu aku menghubunginya untuk mengajaknya bekerja sama mengembangkan bisnis perhiasanku dan membangun kantor Wang Corp di kota Istanbul ini. Dan Erhan menyetujuinya.       Aku turun dari mobil dan berjalan dengan langkah besar kearah pria itu. Aku memeluk Erhan  dengan erat sebagai tanda keakraban kami. “Bro, sudah lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?”       “Ya, seperti yang kau lihat saat ini. Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?”       Aku tersenyum pada pria itu, “Aku juga baik-baik saja.”       “Bagaimana keadaan Om Brandon dan Tante Agatha Wang? Apa beliau baik-baik saja?” Erhan kembali bertanya padaku.       “Kedua orang tuaku baik-baik saja. Hanya saja beliau mendesakku untuk segera menikah. Padahal aku belum ingin menikah dan tidak percaya dengan konsep pernikahan.” Aku berbicara sambil memijat pangkal hidung dengan tangan kananku, sedangkan tangan kiriku berada di saku celana.       “Apa kau sedang curhat padaku?” Erhan terkekeh mendengar ucapanku, “Mungkin Om dan Tante ingin segera menimang cucu.”       “Huffftt….Entahlah.” Aku mebuang nafasku dengan kasar. “Aku sedikitpun tidak ada pikiran untuk menikah.”       “Apa kau yakin tidak akan menikah seumur hidup, Bro?”       Aku menggerakkan bibirku membentuk garis lurus sebelum menjawab, “Ya, mungkin saja. Aku tidak percaya cinta., Bro. Dan aku juga tidak ingin terikat dengan yang namanya pernikahan.”       Erhan kembali tertawa sambil membalikan tubuhnya. Ia merangkul bahuku memasuki pintu restaurant, “Ayo kita masuk. Kita ngobrol di dalam saja.”       Aku berjalan memasuki restaurant bersama Erhan. Baru saja aku memasuki restaurant ini, aku sudah disuguhi dengan ciptaan Tuhan yang sangat indah. Aku melihat seorang gadis cantik yang rupawan sedang melayani para tamu restaurant dengan buku menu dan nampan di tangannya. Gadis itu berambut ikal dan panjang dengan seragam waitress restaurant membalut tubuhnya yang tinggi.       Aku yang masih berdiri di pintu masuk restaurant menatap gadis waitress itu tanpa berkedip. Aku tidak tahu hal identik apa yang sangat menarik darinya, hingga aku bisa menatapnya begitu lama. Sudah banyak gadis lain yang ku temui di luar sana, tapi baru kali ini ada seorang gadis yang mampu mencuri perhatianku. Dia seperti sebuah medan magnet dari awal aku melihatnya beberapa detik yang lalu.       “Alex, kenapa kamu masih berdiri di pintu?” Erhan Yavuz yang telah melewati pintu restaurant membalikkan tubuhnya menegurku. “Ayo lah, yang lain sudah menunggu kita di lantai atas.”       Aku tersadar dari lamunanku dan menoleh kearah Erhan berdiri. Aku tidak menjawab pertanyaan Erhan. Aku berjalan menyamakan langkahku dengan Erhan menuju lift sambil merapikan jasku.       “Bagaimana dengan perkembangan bisnis yang sudah kamu jalani akhir-akhir ini?” Erhan bertanya padaku.       Aku menjawab pertanyaan Erhan sambil memasuki pintu lift, “Baik. Semuanya berjalan dengan lancar. Makanya aku menghubungimu untuk mengambangkan bisnisku di kota ini. Aku lihat orang di sini sangat memperhatikan fashion. Mereka selalu berpenampilan modis. Dan sepertinya bisnis perhiasan kita akan berkembang pesat di kota ini.”       Aku dan Erhan mengadakan pertemuan dengan beberapa orang rekan bisnis lainnya di ruang VVIP di lantai paling atas gedung yang telah di reservasi terlebih dahulu oleh Erhan. Kami membahas kerja sama dan pembangunan kantor baru Wang Corp yang ada di kota Istanbul.       Di tengah-tengah pembicaraan, terdengar suara ketukan pintu dari luar ruangan. Saat pintu telah terbuka, terlihat seorang gadis waitress membawa semua pesanan kami ke dalam ruangan dengan nampan besar beroda. Gadis itu adalah waitress yang aku lihat di lantai dasar tadi. “Permisi, Tuan. Saya membawakan semua pesanan Tuan dan akan menghidangkannya di meja.”       “Silahkan.” Erhan mempersilahkan waitress itu menghidangkan makanan di meja sambil memperhatikannya.       Aku menggeser tempat duduk mendekat pada Erhan dan berbisik, “Kenapa kau memperhatikannya seperti itu?”       “Ia terlalu cantik.” Erhan tersenyum menjawab pertanyaanku.       Tidak hanya aku dan Erhan saja yang melirik pada gadis waitress itu, tapi rekan-rekan pria yang lainnya juga melirik padanya. Kami melirik bukan karena pakaiannya yang seksi, karena seragam waitressnya memang tidak terlihat seksi. Ia hanya mengenakkan kemeja berwarna merah lengan pendek dengan rok hitam sebetis dan flat shoes kulit yang juga berwarna hitam. Tapi yang membuat kami semua melirik padanya adalah karena parasnya yang sangat cantik seperti boneka Barbie.       Yah, wajahnya seperti boneka Barbie versi Turki yang sangat cantik. Tubuhnya tinggi langsing, tidak kurus dan tidak gemuk terlihat sangat sempurna. Kulitnya putih berseri, alis hitam yang tebal, bulu mata yang panjang dan lentik, hidungnya yang mancung, dan bibir tipis yang merah seperti cherry di musim semi. Di tambah lagi dagunya yang belah menambah daya tariknya, membuat para pria yang melihatnya terpesona.       Setelah menghidangkan semua makanan di atas meja, kemudian gadis waitress itu tersenyum kearahku. “Silahkan, Tuan. Saya permisi dulu.”       Gadis waitress itu membalikkan tubuhnya dan berlalu keluar ruangan. Sedangkan kami para pria masih terpaku melihat kecantikannya yang alami. Yah, ia sangat mempesona meskipun tidak sedang tebar pesona.       “Andai saja aku belum memiliki istri, aku akan mengejarnya.” Salah seorang dari rekan bisnisku berbicara dengan wajah kagum.       Kami yang mendengar ucapannya tertawa terbahak-bahak bersama. Dilanjutkan dengan guyonan lainnya yang membuat pertemuan bisnis kali ini tidak terkesan kaku dan formal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN