“Andai saja aku belum memiliki istri, aku akan mengejarnya.” Salah seorang dari rekan bisnisku berbicara dengan wajah kagum.
Kami yang mendengar ucapannya tertawa terbahak-bahak bersama. Dilanjutkan dengan guyonan lainnya yang membuat pertemuan bisnis kali ini tidak terkesan kaku dan formal.
Beberapa jam kemudian rapat telah selesai dan kesepakatan pun telah dicapai. Semua peserta rapat keluar dari ruang VVIP di restaurant dan berjalan ke koridor. Selama berjalan di koridor menuju pintu lift aku menoleh ke sekeliling berharap bisa bertemu kembali dengan waitress tadi, namun aku tidak menemukannya. Aku, Erhan dan yang lainnya bersama-sama menaiki lift yang cukup besar dan akhirnya sampai di lantai dasar. Setelah sampai di lantai dasar restaurant, aku masih memperhatikan ke sekeliling dan masih tidak menemukan gadis waitress itu.
Saat aku sedang memperhatikan ke sekelilingku, tiba-tiba terdengar suara nampan terjatuh dan gelas pecah. Aku menoleh kearah dari mana suara itu berasal, dan mendapati seorang waitress telah menabrak Erhan yang sedang berjalan di depanku. Waitress yang menabrak Erhan itu adalah gadis waitress yang saat ini aku cari, ia membuatku penasaran.
“Maaf Tuan, aku tidak sengaja.” Waitress itu membungkukkan tubuhnya meminta maaf pada Erhan. Kemudian menyapu pakaian Erhan yang basah karena tumpahan air di gelas yang pecah tadi dengan sapu tangannya, “Sekali lagi maafkan aku Tuan.”
Erhan yang masih berdiri di depanku menundukkan kepalanya menyeka bajunya yang basah. Gadis waitress itu masih membungkukkan tubuhnya berulang kali meminta maaf. Erhan pun bersuara melihat gadis itu, “Sudah Nona, tidak apa-apa. Nanti bajunya bisa di cuci.”
“Tapi Tuan, aku sangat bersalah pada anda. Bagaimana kalau aku yang membayar uang laundry-nya?” Waitress itu masih berbicara pada Erhan dengan wajah bersalah.
Erhan tersenyum pada waitress itu, “Tidak apa-apa, Nona. Ini bukan masalah besar. Kamu juga tidak perlu membayar uang laundry-nya”
Aku yang melihat kejadian di depanku malah merasa sedikit aneh. Aku merasa tidak senang melihat waitress itu membantu Erhan menyeka bajunya. Kenapa bukan aku saja yang kamu tabrak tadi? Ucapku dalam hati sambil menatap wajah wanita itu.
Gadis waitress itu kemudian berjongkok membersihkan sisa pecahan gelas tadi di hadapanku dan Erhan. Ia terlihat seperti sedang menahan tangisnya karena ketakutan telah melakukan kesalahan pada tamu restaurant. Saat ia membersihkan lantai dari pecahan kaca, gadis itu sedikit berteriak kesakitan. Terlihat darah bercucuran keluar dari jari telunjuknya yang terkena beling pecahan gelas yang tajam.
Aku melangkah selangkah ke depan berniat untuk membantu gadis waitress itu. Tapi Erhan telah lebih dulu mendekat padanya. Aku hanya bisa menahan diri dan membiarkan Erhan membantunya. Erhan berjongkok menyamakan tingginya dengan waitress tersebut. Ia meraih tangan waitress yang sedang memegang tangannya yang terluka. “Apa kamu baik-baik saja Nona?”
Waitress itu menarik tangannya kembali dan melepaskan genggaman Erhan, “Maaf Tuan, aku tidak apa-apa.”
“Apa kamu yakin jarimu tidak apa-apa? Jari telunjukmu terluka.”
Gadis waitress itu kembali menunduk membersihkan pecahan beling yang berserakan di lantai. “Tidak apa-apa Tuan. Aku sudah biasa begini, hanya luka kecil.”
Tidak lama kemudian Manager Restaurant menghampiri kami, “Maaf Tuan, apa yang terjadi?”
Erhan bangkit dan berdiri meluruskan punggungnya. Ia membalikkan tubuhnya menatap Manager Restaurant yang sedang berdiri di hadapannya. “Tuan, tolong beri gadis ini obat. Aku tadi tidak sengaja menabraknya. Dan sekarang jarinya terluka karena pecahan gelas kaca.”
“Baik Tuan. Aku akan memberikan obat padanya.” Manager Restaurant tersebut mengangguk mengiyakan ucapan Erhan. “Emira, ikut aku!”
Oh, namanya Emira. Nama yang cantik, secantik wajahnya, ucapku membatin.
Gadis waitress itu menatap Erhan dan aku cukup lama. Ia bangkit dan berlalu pergi mengikuti Managernya dari belakang. Sesekali gadis itu membalikkan tubuhnya dan membungkuk meminta maaf pada Erhan. Aku masih diam melihat semua kejadian, hingga akhirnya Erhan mengangkat sudut bibirnya dan mengajakku pergi, “Bro, ayo kita pergi! Apa kamu ingin jalan-jalan terlebih dahulu?”
“Aku sangat lelah Erhan. Aku ingin istirahat saja. Mungkin jalan-jalannya lain waktu.” Aku menjawab pertanyaan Erhan sambil berjalan keluar restaurant.
Kami menaiki mobil Erhan yang telah terparkir di parkiran. Selama di perjalanan menuju kediaman milik Erhan, aku menikmati keindahan kota Istanbul. Banyak bangunan-bangunan bergaya Barouqe dan modern di sepanjang jalan. “Erhan, apa rumahmu jauh dari sini?”
“Tidak juga. Hanya beberapa kilometer dari restaurant tadi. Sepuluh menit lagi kita akan sampai.” Erhan menjawab pertanyaanku sambil mengendarai mobilnya.
Sepuluh menit kemudian, mobil Erhan pun berhenti di bawah gedung yang tinggi. Gedung berwarna putih dengan design modern ini adalah apartemen milik Erhan. Ia membuka pintu dan turun dari mobil, “Turun, kita sudah sampai. Untuk sementara kamu tinggal di apartemenku dulu, hingga nanti kamu mendapatkan tempat tinggal yang pas untukmu.”
Aku pun keluar dari mobil dan berjalan mengikuti Erhan dari belakang sambil menyeret koperku. Aku mengikutinya memasuki lift yang tidak jauh dari parkiran hingga akhirnya lift itu berhenti di lantai 15 gedung yang tinggi ini. Erhan keluar dari lift dan berjalan di koridor. Ia berhenti di pintu kedua setelah lift dan menempelkan jarinya di handle pintu hingga pintu itu terbuka.
“Masuklah!” Erhan mempersilahkanku masuk sambil membantu membawakan koperku.
“Apa kamu tinggal sendirian di sini?”
Erhan mengangguk, “Ya, aku tinggal sendirian disini.Sesekali ada yang menemaniku.”
“Siapa?”
Erhan hanya tertawa tidak menjawab pertanyaanku. Tapi aku mengerti maksud dari ucapannya dan tidak bertanya lagi. Aku melangkah memasuki apartemen yang besar itu dan melihat ke sekeliling ruangan. Interior apartemen seluruhnya berwarna abu muda dengan sedikit furniture berwarna hitam dan tidak terlalu banyak pajangan, sangat minimalis. Saat melihat sekeliling ruangan, mataku seketika tertuju kearah jendela yang besar di tengah ruangan itu. Aku melangkahkan kakiku mendekati jendela yang ada di sudut ruangan.
“Erhan, bangunan apa yang ada di ujung sana?” Aku menunjuk kearah bangunan berwarna putih yang ada di seberang sana. Bangunan-bangunan bertingkat bergaya aristrokat tersebut berjejer di pinggir pantai Selat Bosphorus dengan indah.
Erhan mendekat padaku dan melihat kearah yang aku tunjuk, “Oh itu yali.”
“Apa itu yali?”
“Rumah hunian besar yang mewah seperti mansion, orang di sini menyebutnya dengan yali. Dulunya yali itu di bangun oleh kaum elit dan aristrokat pada abad ke-19 sebagai rumah musim panas. Tapi sekarang orang-orang sudah banyak menjadikan yali itu sebagai hunian tetap.”
“Sangat bagus.”
“Apa kamu menyukainya?”
“Suka.”
“Aku memiliki teman developer yang menjual yali di kawasan sana. Jika kamu mau, aku bisa membantumu menghubunginya.” Erhan membalikkan tubuhnya berjalan kearah dapur apartemen yang ada di sudut kanan ruangan. Ia membuka kulkas dan menuangkan jus jeruk ke dalam gelas yang ada di tangannya.
“Tapi untuk apa rumah sebesar itu bagimu yang masih lajang ini? Menikah pun tak mau.” Erhan berjalan kearahku yang masih berdiri di pinggir jendela besar. Ia menyodorkan segelas jus jeruk yang ada di tangannya. “Minumlah…!”
“Membeli dan memilih tempat tinggal tidak ada hubungannya dengan menikah, Bro. Aku hanya suka gaya bangunan dan lokasinya yang strategis itu. Dari dulu aku juga punya impian mememiliki hunian yang ada di pinggir pantai dan menghadap ke laut.”
Aku membalikkan tubuhku dan beranjak duduk ke sofa yang ada di tengah ruangan. Aku menghempaskan tubuhku yang lelah dan menarik nafasku dalam-dalam. Meneguk segelas jus jeruk yang ada di tangan dan kemudian melanjutkan ucapanku, “Aku ingin tinggal di tempat yang sangat tenang, Erhan. Aku sudah bosan dengan hiruk pikuk kota New York.”
“Kalau begitu, yali itu dalah pilihan tepat untukmu. Selain hunian kamu juga memiliki pantai sendiri. Kalau aku, cukup tinggal di sini saja. Aku tidak sanggup tinggal jauh dari pusat kota. Hampir setiap hari aku memiliki jadwal pesta. Orang tuaku juga tidak akan mengizinkanku membawa wanita ke mansionnya. Bisa-bisa mereka akan membunuhku.” Erhan berbicara panjang lebar sambil terkekeh.
Aku menggelengkan kepala dan tersenyum mengejek menanggapi ucapan Erhan, “Kamu ini…”
Erhan kembali tertawa melihat ekspresiku. Ia yang masih berdiri di pinggir jendela kaca sambil melipat kedua tangannya pun berbicara. ”Alexandre Wang, aku ini pria normal. Aku memang belum ingin menikah, tapi aku membutuhkan wanita dalam hidupku. Berbeda denganmu yang tidak tertarik dengan wanita.”
Erhan melangkahkan kakinya ke hadapanku. Ia mengetuk lengan kanan yang masih menyimpul di d**a dengan jari telunjuk tangan kirinya. Ia berjalan di belakang sofa seperti hendak mengitarinya seolah-olah sedang berpikir. “En…selama aku mengenalmu, aku belum pernah melihatmu bersama wanita. Atau jangan-jangan…”
“Jangan-jangan apa?” Aku mengerutkan dahiku bertanya pada Erhan.
Erhan tertawa sejenak dan kembali menatapku, “Atau jangan-jangan kamu adalah seorang gay?”
“b******k, jangan asal bicara Erhan.” Aku membalalakan mataku menatap Erhan yang masih tertawa di hadapanku. Nafasku sedikit sesak mendengar tuduhan konyolnya yang membuatku kesal.
“Kalau bukan, kenapa hingga sekarang kamu tidak memiliki kekasih Tuan Alexandre?” Erhan masih terkekeh memberikan pertanyaan padaku.
Aku menjawab pertanyaan Erhan dengan wajah kesal, “Bukan tidak, tapi belum. Aku hanya tidak ingin ada hubungan terikat dengan wanita, bukannya tidak menyukai wanita. Juga belum menemukan wanita yang tepat dan pantas berada di sisiku.”
“Oke, oke. Kalau kamu menolak jika kamu bukan seorang gay. Tapi sebelum ada buktinya, aku tidak akan percaya jika kamu pria normal Tuan Alexandre.”
Aku semakin kesal dengan ucapan Erhan dan hendak melemparnya dengan gelas yang ada di tanganku. Tapi ia segera berlari ke kamarnya dan menutup pintu sambil tertawa terbahak-bahak. Beberapa detik kemudian Erhan membuka pintu kamarnya dengan hanya kepala yang terlihat sambil berkata, “Buktikan!”
Aku kembali menoleh kearahnya dan hendak mengejarnya ke kamar. Tapi Erhan dengan sigap menutup pintu kamar nya sambil tertawa dari dalam kamar. Dari dulu ia tidak pernah berubah, ia selalu senang menjahiliku.