EMIRA MIRAY
Aku menatap wajahku yang ada di dalam cermin. Aku mendandani diriku secantik mungkin agar terlihat menawan. Meski diriku yang sekarang tidak seperti dulu lagi, tapi aku tidak ingin tampil buruk dengan kondisi kaki lumpuh ini. Aku masih ingin tampil baik di depan orang lain meski sebenarnya suasan hatiku sangat tidak baik. Aku juga tidak ingin memberi kesan buruk dan membuat suamiku Nathan Collins malu di depan orang banyak.
Malam ini aku akan menghadiri peresmian sebuah rumah sakit baru di kota Istanbul, dimana rumah sakit itu adalah salah satu tempat Nathan Collins akan bekerja. Aku menggunakan long dress berwarna soft beige lengan panjang dengan motif bunga kecil berwarna orange stabilo di bagian ujung bawah dan leher turtle neck-nya. Sebuah dress simple yang selama ini belum pernah aku pakai. Dress yang cantik ini adalah pemberian dari Alexandre Wang saat iya pulang perjalanan bisnis satu tahun lalu dari Milan. Melihat dress ini membuatku teringat kembali akan kelembutan yang pernah Alexandre Wang berikan padaku selama pernikahan kami dulu.
Flashback On…
Aku baru saja pulang dari rumah sakit dengan jadwal praktek yang padat dan sangat melelahkan. Aku memarkirkan mobil di garasi dan memasuki yali melalui pintu samping. Saat pintu terbuka, aku dikagetkan oleh sesosok bayangan pria tinggi yang sedang duduk di ruang tengah dengan lampu remang-remang. Lampu ruang tengah tidak menyala, hanya ada cahaya dari lampu baca yang ada di samping sofa tempat bayangan tinggi itu duduk. Aku melihat arlojiku sudah menunjukan pukul 12 malam. Dan kemudian melangkahkan kaki ku perlahan-lahan seperti seorang pencuri yang takut ketahuan pemilik rumah.
Selain merasa takut, aku juga sangat berhati-hati karena di yali hanya ada aku dan beberapa maid perempuan. Alexandre Wang sedang ada perjalanan bisnis ke Mesir sejak minggu lalu, dan tidak ada seorang pun laki-laki di yali ini kecuali Erol yang kamarnya ada di pavilion belakang. Aku berjalan dengan pelan menaiki anak tangga sambil menahan nafas, berharap sosok bayangan tinggi yang sedang duduk itu tidak mengetahui kehadiranku.
“Apa kamu sudah pulang?” Aku dikagetkan oleh suara yang sangat familier terdengar dari ruang tengah yali. Seketika lampu ruang tengah terang benderang dan aku melihat Alexandre Wang sedang duduk di sofa dengan sebuah buku di tangannya.
Aku memegang dadaku yang hampir saja copot karena kaget, “Alex, kamu mengagetkanku.”
Aku membalikkan tubuh dan melangkahkan kakiku menuruni anak tangga berjalan kearah Alexandre Wang berada. “Alex, sejak kapan kamu pulang? Bukannya kamu bilang akan pulang minggu depan?”
“Awalnya aku memang berencana akan pulang minggu depan. Tapi aku sangat merindukan suasana yali, jadi aku mempercepat semua pekerjaanku di sana dan segera kembali.” Alexandre tersenyum hangat padaku.
Aku yang telah berdiri di hadapan Alexandre membalas senyumannya, “Apa kamu ingin aku buatkan teh panas kesukaanmu?”
“Tidak usah, tadi Aliye sudah membuatkanku teh saat aku baru sampai yali. Kamu duduk saja di sini, temani aku membaca buku.” Alexandre meraih tanganku yang hendak melangkah ke dapur dan kemudian menuntunku duduk di sampingnya.
Aku duduk di samping Alexandre menatap wajahnya yang tampan dengan jas putih yang masih menggantung di lenganku. Aku menyandarkan tubuhku yang lelah ke lengan sofa dan sesekali menatap wajah Alexandre dari samping. Ia terlihat sangat tampan dan elegan meski hanya duduk diam dengan tenang.
Alexandre menoleh kearahku yang dari tadi menatapnya. Ia tersenyum hangat dan berkata, “Apa kamu sangat lelah?”
Aku mengangguk mengiyakannya, “Iya. Hari ini praktek dari pagi hingga tengah malam. Pasien sangat banyak dan rekan dokterku ada yang libur hari ini. Jadi semua pasien aku yang menangani.”
Alexandre Wang menutup buku bacaanya dan bangkit dari sofa, “Tunggu sebentar, aku akan membuatkanmu teh panas dengan madu.”
Aku meraih tangan Alexandre berusaha menolaknya. Aku tahu sebenarnya ia lebih lelah dariku, apalagi perjalanan bisnis keluar negeri itu sangat menyita waktu dan pikirannya, “Tidak usah, aku bisa membuatnya sendiri. Kamu duduk saja.”
“Tidak, kamu duduk saja di sini. Aku yang akan membuatkanmu teh malam ini. Sesekali aku ingin memanjakan istriku, karena beberapa tahun terakhir aku terlalu sibuk di luar negeri mengurus perpindahan pusat perusahaan ke Istanbul. Jadi mulai sekarang aku akan menebusnya untukmu.” Alexandre kembali tersenyum padaku dan melepaskan genggamanku. Tubuh tingginya berjalan santai kearah dapur dengan tangan kanan di saku celana kanannya.
Aku menatap punggungnya yang berjalan ke dapur hingga tidak terlihat lagi. Hatiku terasa sangat hangat saat ia mengucapkan kata ‘ingin memanjakan istriku’. Meski selama pernikahan ia tidak pernah menyentuhku dan kami tidak pernah berbagi kamar bersama, tapi ia selalu memperlakukanku dengan baik. Ia tidak pernah menyakiti perasaanku ataupun memperlakukanku dengan buruk.
Meski ia sangat sibuk dan harus sering pergi keluar negeri untuk mengurus bisnisnya, ia tidak pernah lupa untuk menghubungiku setiap harinya. Ia selalu menanyakan keadaanku dan memberikan perhatian yang lebih layaknya seorang suami. Dan setiap ia pulang dari perjalan bisnis ia akan selalu mengajakku jalan-jalan dan memenuhi segala keinginanku. Ia tidak pernah menolak dan mengatakan tidak disetiap keinginanku, benar-banar seperti seorang suami idaman. Ia selalu bersikap seperti suami yang sangat mempedulikan istri dan menyayangi keluarganya. Dan itu membuatku kagum padanya.
“Ini teh madu untukmu. Segera minum selagi hangat agar tubuhmu kembali fit.” Alexandre memberikan secangkir teh madu buatannya padaku. Teh madu buatannya sangat enak dan membuat perasaanku menjadi hangat.
Aku menatap Alexandre Wang yang telah duduk di sampingku dengan buku di tangannya, “Alexandre…”
“Ya…” Ia menoleh padaku dengan senyuman hangat melengkung di bibir merahnya.
Aku meneguk teh madu yang ada di tanganku dan tersenyum menatap wajahnya yang tampan, “Terima kasih.”
Alexandre hanya tersenyum dan mengangguk menanggapi ucapanku. Dan kemudian ia kembali membaca buku yang ada di tangannya. Tidak lama kemudian Alexandre menatapku yang masih meneguk perlahan-lahan teh madu yang masih panas. Ia tersenyum dan berkata,“Aku ada sesuatu untukmu.”
“Apa?”
Alexandre meraih cangkir teh yang ada di tanganku dan menaruhnya diatas meja kopi yang ada di depan sofa. Ia menarikku untuk bangkit dari sofa dan berjalan ke lantai dua yali. “Ikut aku.”
Aku hanya diam saat Alexandre menarikku, karena aku tahu ia tidak akan berbuat macam-macam padaku. Ia adalah pria yang sangat sopan dan selama pernikahan kami yang hampir lima tahun ini ia tidak pernah bersikap melampaui batas. Aku berjalan di belakang Alexandre yang sedang menggenggam tanganku, hingga akhirnya ia berhenti di depan pintu kamarku. Ia membuka pintu kamar dan menyuruhku masuk. “Masuklah…!”
Saat telah memasuki kamar aku melihat sebuah box besar berwarna putih dengan pita hitam berlogo putih sebagai hiasannya. Penutup box itu bertulisan nama brand terkenal Alexander McQueen. Aku sangat kaget melihat box besar yang ada di atas tempat tidurku. Aku membalikan tubuhku dan bertanya pada Alexandre. “Alex,apa ini?”
Alexandre Wang yang sedang bersandar di pintu kamar sambil melipat kedua tangannya tersenyum, “Bukalah! Kamu akan tahu apa isinya.”
Aku melangkah ke samping tempat tidur dan meraih box besar yang ada di atas tempat tidurku itu. Aku mengangkat box yang lumayan berat itu dan membukanya perlahan. Dan aku sangat kaget menatap dress yang ada dalam box besar itu, “Wow, cantik sekali.”
“Apa kamu menyukainya?”
Aku mengangkat dress itu dan memperagakannya di depan cermin sambil berputar-putar. Long dress dengan leher model turttle neck dan lengan panjang berwarna soft beige ini sangat indah. Di tambah lagi dengan bunga-bunga kecil berwarna orange stabilo pada ujung bawah dan leher dress membuat dress ini terlihat semakin anggun. Aku yang masih memeluk dress itu berlari kearah Alexandre yang masih berdiri di pintu kamar. Aku memeluknya dengan erat sebagai ucapan terima kasihku yang mendalam, “Alex, terima kasih. Dress ini sangat cantik, dan aku sangat menyukainya.”
“Aku senang jika kamu menyukainya.” Alexandre tersenyum dan mengusap rambutku yang masih memeluknya.
Flashback Off…
“Nyonya, apa nyonya sudah siap?” Suara Aliye yang sangat lembut terdengar dari luar ruangan. Ia membuka pintu kamarku dan melanjutkan ucapannya, “Tuan Nathan sudah menunggu Nyonya di bawah.”
Aku mengangguk menanggapi ucapan Aliye yang sudah berdiri di samping meja riasku, ”Ya, aku sudah hampir siap. Aliye tolong ambilkan perhiasanku yang ada di dalam lemari itu.”
Aliye segera berjalan kearah lemari yang ada di sudut kamarku. Ia membuka pintu lemari tempat dimana perhiasanku disimpan dan berkata, “Nyonya, mau pakai perhiasan yang mana?”
“Ambilkan yang kotak merah, Aliye. Aku ingin memakai perhiasan pemberian Nathan dihari pernikahanku waktu itu.”
Aliye kembali berjalan kearahku sambil membawa kotak perhiasan berwarna merah yang ada di tangannya. Ia mengenakan kalung yang ada dalam kotak merah itu ke leherku. Tapi tiba-tiba ia berhenti sejenak menatapku lewat cermin. Ia sedikit mengerutkan keningnya melihat kearah kalung yang aku kenakan.
“Ada apa Aliye?” Aku menatap wajah Aliye lewat cermin dengan penasaran.
“Maaf, Nyonya. Sepertinya kalung itu tidak cocok jika di padu padankan dengan dress yang sedang Nyonya kenakan saat ini.”
“Lalu? Apa aku harus menggantinya?”
“Tunggu sebentar.” Aliye berjalan kearah lemari tempat perhiasanku dan kembali dengan kotak perhiasan berwarna baby pink di tangannya. Ia membuka kotak perhiasan tersebut dan memakaikan kalung berlian yanga ada di dalamnya ke leherku. Kemudian ia memasangkan earcuff di telingaku sebagai anting sekaligus hiasan rambut.
Aliye menatapku lewat cermin dan tersenyum, “Ini baru pas. Selera Tuan Alexandre sangat bagus.”
Aku terdiam sejenak dan mataku membola mendengar ucapan Aliye. Aku merasa kaget mendengar ia menyebutkan nama Alexandre Wang di hadapanku. Ia sangat tahu apa saja barang yang aku beli sendiri dan mana saja barang yang diberikan oleh Alexandre padaku. Karena selama enam tahun terakhir ini ia lah yang selalu mengurus kebutuhanku.
Aliye yang melihat ekspresiku menatapnya lewat cermin pun merasa bersalah, “Maaf Nyonya. Aku tidak bermaksud…”
Aku tersenyum dan memotong pembicaraan Aliye, “Tidak apa Aliye. Kamu benar, selera Alexandre memang bagus. Dan ia selalu memberikan yang terbaik untukku.”
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar yang membuat perbincanganku dengan Aliye terhenti, “Sayang, apa kamu sudah siap? Kita sudah harus berangkat, kalau tidak kita akan terlambat.”