Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar yang membuat perbincanganku dengan Aliye terhenti, “Sayang, apa kamu sudah siap? Kita sudah harus berangkat, kalau tidak kita akan terlambat.”
“Ya, sebentar lagi aku akan keluar.” Aku menjawab ucapan Nathan yang ada di balik pintu dari dalam kamar.
Aku menoleh kearah Aliye dan berkata, “Aliye, apa penampilanku saat ini sudah bagus?”
“Sangat sempurna Nyonya.” Aliye tersenyum padaku.
“Kalau begitu bantu akau keluar kamar. Jika kita masih saja di dalam kamar dalam waktu lebih lama lagi, bisa-bisa Nathan akan marah.”
“Baik Nyonya.” Aliye mendorong kursi rodaku keluar kamar dan membantuku menuruni anak tangga dengan perlahan dan sangat hati-hati.
Sedangkan Nathan hanya berdiri menunggu di bawah sambil tersenyum mengejek. Ia tidak pernah peduli dengan keadaanku meski sekarang aku sudah tidak bisa berjalan lagi. Ia juga tidak pernah menanyakan keadaanku, apa lagi menemaniku melakukan terapi di rumah sakit. Dan ia hanya akan bersikap baik padaku jika ia membutuhkan bantuanku. Aku merasa menjadi orang yang sangat tak berguna jika sudah berada di dalam rumah ini. Meski di luar sana orang-orang sangat menghargaiku sebagai dokter, tapi di rumah ini aku seperti tidak dianggap. Hanya Aliye dan Fatem yang peduli padaku. Aku memiliki status bersuami sedangkan hidupku sebenarnya seperti tidak memiliki suami. Aku kembali merasa seperti hidup sebatang kara tanpa ada kerabat dekat. Jika tidak ada Aliye dan Fatem, mungkin hidupku menjadi sangat kesepian jika sudah berada di rumah ini.
Saat kursi rodaku sudah menyentuh lantai, Nathan segera merebutnya dari Aliye yang sedang mendorong kursi rodaku. Ia merebutnya dengan kasar hingga membuatku yang duduk di atasnya terhuyung-huyung. “Lama sekali. Jika selama ini bisa-bisa aku akan batal menghadiri acara penting ini. Dasar wanita lumpuh.”
Aku hanya diam mendengar ucapan kasar dari mulut Nathan. Aku sedang tidak ingin bertengkar dengannya. Karena bertengkar dengannya tidak akan memberikan keuntungan bagiku, yang ada hanya diriku yang adirugikan dan tersakiti olehnya. Aku menatap ke depan berusaha menahan tangisku. Saat telah sampai di depan pintu mobil, Nathan kembali memanggil Aliye untuk menyuruhnya mengangkatku memasuki mobil. Ia tidak akan pernah membantuku memasuki mobil,dan ia hanya akan bersikap baik padaku di depan orang banyak untuk menutupin keburukannya.
Setelah memasuki mobil aku hanya diam seribu bahasa. Aku menatap ke luar jendela mobil tanpa menoleh kearah Nathan yang sedang menegendarai mobil. Masih terngiang ucapan Nathan tadi yang menggores hatiku. Dan Nathan pun tidak berbicara sepatah kata pun padaku. Ia hanya asyik mengobrol dengan orang yang ada di seberang teleponnya dengan suara rendah. Ia yang tengah berbicara dengan nada lembut seperti saat kami masih pacaran dulu. Aku tidak tahu ia sedang berbicara dengan siapa, yang aku tahu ia sedang menelepon seorang wanita. Dan aku hanya diam mengetahui hal itu. Perasaanku kini sudah mulai terasa hambar terhadap suamiku, Natha Collins. Dan perasaan itu semakin lama semakin bertambah hambar.
Beberapa menit kemudian Nathan Collins memberhentikan mobilnya di depan sebuah gedung baru rumah sakit yang terlihat mewah. Ini adalah rumah sakit swasta termewah yang ada di kota Istanbul. Ia keluar dari mobil dan mengambil kuris rodaku yang ada di bagasi belakang mobil. Ia membantuku keluar dari mobil hingga aku menduduki kursi rodaku. Ia mendorong kursi rodaku memasuki aula besar yang ada di rumah sakit tersebut. Ia sedikit merundukan tubuhnya hingga wajahnya sejajar dengan telingaku dan berbisik, “Jadilah anak baik. Jangan membuat masalah selama acara berlansung. Kalau tidak aku akan menghukummu setelah kita pulang dan sampai di rumah.”
Aku hanya bisa mengangguk menanggapi ucapan Nathan Collins. Aku tidak berani berbicara apalagi membantahnya jika aku ingin diriku selamat dari kamarahannya. Nathan Collins terus mendorong kursi rodaku hingga sampai di dalam aula. Sesekali ia berhenti menyapa teman sejawat dan rekan kerjanya juga para tamu undangan yang hadir dalam peresmian rumah sakit baru ini.
Kemudian ia membawaku ke sudut ruangan yang saat ini sedang berdiri banyak petinggi-petinggi rumah sakit. Ia menyapa satu-persatu para dokter dan petinggi rumah sakit dan memperkenalkanku sabagai istrinya pada mereka.
“Dokter Nathan Collins, istrimu sangat cantik. Aku pikir hanya gossip belaka, ternyata benar Anda memiliki istri yang sangat cantik seperti Dokter Emira. Anda sangat beruntung.” Seorang kepala rumah sakit berbicara pada Nathan dengan senyum lebar.
Nathan pun tersenyum lebar menanggapi ucapan kepala rumah sakit tersebut, “Terima kasih Pak atas pujiannya.”
“Ya , sama-sama.” Kepala rumah sakit itu menepuk pundak Nathan Collins dengan hangat seperti orang yang sudah kenal cukup lama. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan menarik tangan seorang pria yang tengah berdiri di belakangnya, “Dokter Nathan, perkenalkan ini Tuan Alexandre Wang. Selain ia seorang pemilik perusahan perhiasan terbesar, ia juga investor dengan saham terbanyak di rumah sakit kita ini.”
Aku sangat kaget mendengar kepala rumah sakit menyebutkan nama Alexandre Wang di hadapanku. Aku juga tidak menyangka jika Alexandre Wang ikut hadir dalam acara ini, dan ia adalah investor terbesar di rumah sakit ini. Ini semua benar-benar di luar dugaanku. Dan sekarang jantungku berdegup dengan kencang setelah mengetahui Alexandre juga berada di sini. Aku sangat takut Nathan mengetahui jika dulu aku dan Alexandre adalah suami istri. Aku takut Nathan akan membunuhku jika mengetahui hal ini.
Nathan Collins mengulurkan tangannya kepada Alexandre memberikan senyum lebarnya sambil memeperkenalkan diri, “Hallo Tuan Alexandre. Aku Dokter Nathan, senang bertemu denganmu.”
“Hallo.” Alexandre menjabat tangan Nathan dengan wajah tanpa ekspresi. Ia memperlihatkan wajah dinginnya seperti saat bertemu dengan orang yang sama sekali tidak ia kenal. Ia menatap wajah Nathan dengan tatapan yang sulit dimengerti.
“Oh iya Tuan Alexandre, perkenalkan ini istriku Dokter Emira Miray.”
Alexandre memutar kepalanya menoleh kepadaku. Ia tersenyum padaku sambil mengulurkan tanganya, “Hallo Dokter Mira, senang bertemu denganmu.”
Aku menatap mata Alexandre yang tertuju padaku dengan gugup. Kini tubuhku gemetar dan tanganku berkeringat dingin. Aku menarik nafasku dalam-dalam berusaha mengumpulkan semua nyaliku untuk menjabat tangan Alexandre, “Ha-halo.”
Nathan selalu berusaha mendekati Alexandre dan mengajaknya berbincang-bincang. Tapi Alexandre hanya menanggapi beberapa katanya dan lebih banyak diam tanpa menanggapi. Hingga akhirnya ada seorang wanita yang datang menghampiri dan menyapa Nathan Collins. Nathan pun meladeni wanita yang baru saja datang dan pergi bersamanya, “Tunggu di sini hingga aku kembali.”
Aku yang melihat suamiku pergi dengan wanita lain hanya diam mematung tanpa menanggapinya. Nathan merangkul wanita itu di hadapanku tanpa memikirkan perasaanku yang sedang duduk di kursi roda ini. Ia adalah seorang suami tanpa belas kasih di hatinya. Aku tidak peduli lagi apa dia masih mencintaiku atau tidak, setidaknya ia bisa menjaga perasaanku di hadapan orang lain. Tapi harapanku itu hanyalah sebuah harapan. Nyatanya ia tidak pernah memikirkanku apalagi menjaga perasanku. Aku terus menatap ke depan hingga punggung suamiku dan wanita itu tidak terlihat lagi. Hatiku kini seperti mati rasa karena sudah terlalu sering terluka olehnya. Dan setetes air mata pun tidak lagi jatuh di pipi karena sudah terbiasa disakiti.
“Apa kamu butuh udara segar, Sayang?” Tiba-tiba suara Alexandre yang sangat enak di dengar terdengar dari belakang kursi rodaku membuyarkan lamunanku. Aku tidak tahu sudah sejak kapan ia berdiri di dekatku. Kehadirannya membuat hatiku yang tadinya dingin kini menghangat kembali.
“Alexa…” Aku menoleh ke belakang dan menyebutkan namanya.
Ia tersenyum hangat padaku dan melangkah ke depan. Ia berjongkok di hadapanku berusaha menyamakan tingginya denganku yang duduk di kursi roda. “Jangan bersedih. Apa kamu ingin berjalan-jalan denganku mencari udara segar?”
“Tapi…”
“Tenang saja. Nathan tidak akan melihatmu sedang bersamaku.” Alexandre bangkit meluruskan tubuhnya dan berjalan ke belakang kursi rodaku. Ia mulai mendorong kursi rodaku keluar ruangan yang penuh dengan kebisingan itu.
Aku sangat tahu kebiasaan seorang Alexandre Wang. Sebenarnya ia tidak suka dengan pesta dan ia sangat suka ketenangan. Setiap menghadiri sebuah perjamuan, setelah menyapa orang-orang penting dan mengikuti acara penting, ia akan segera pulang atau pergi keluar ruangan mencari ketenangan hingga acara berakhir. Karena saat kami bersama menjadi pasangan suami istri, ia selalu memintaku menemaninya menghadiri setiap perjamuan dengan alasan tidak ingin pergi dengan wanita lain selain diriku. Dan hingga sekarang kebiasannya itu sedikit pun tidak berubah. Ia masih Alexandre Wang yang dulu aku kenal, yang tidak menyukai kebisingan dan selalu menjauh dari wanita lain selain diriku.
“Alex, kamu akan membawaku kemana?”
Alexandre Wang hanya diam tidak menjawab pertanyaanku. Ia terus mendorong kursi rodaku hingga kami berada di taman belakang gedung rumah sakit. Ia memberhentikan kursi rodaku di samping sebuah bangku taman yang berwarna putih dan kemudian duduk di bangku taman tersebut.
Aku melihat ke sekeliling taman yang dipenuhi bunga Tulip. Taman di belakang rumah sakit ini terlihat sangat indah karena ditumbuhi oleh ratusan bunga Tulip. Aku melirik pada sebidang tanah yang ada di hadapanku yang ditumbuhi bunga Tulip yang sangat mencuri perhatian. “Bunga ini…”