“Numa?” delik Timo, kaget dengan kedatangan Numa. Matanya dengan cepat turun ke bawah, dan bertanya, “Bagaimana dengan kakimu?”
“Udah nggak sakit lagi, Om.” Numa mengulurkan tangannya yang memegang termos ke Timo. “Aku mau ngembaliin ini, Om.”
Timo mendengus tersenyum. “Untuk kamu aja, aku punya satu lagi.”
“Ta … tapi ini mahal, Om.”
“Ambil saja!”
Numa sama sekali tidak berharap diberi termos, tidak peduli dengan harganya, murah atau mahal. Tapi karena Timo yang memberinya, dia menarik kembali tangannya, berucap dengan kepala menunduk, “Makasih banyak, Om Timo.”
Timo mengangguk tersenyum. “Papamu masih tidur?” tanyanya.
Numa tersenyum malu, “Ya, papa biasanya bangun jam delapan, dan aku harus pergi kuliah pagi-pagi.”
“Ok.” Timo tersenyum melihat Numa pagi ini terlihat sangat segar dan rapi, juga parfumnya yang wangi.
“Aku pamit, Om.”
Timo mengangguk. Tiba-tiba dia berseru ke Numa yang sudah berbalik arah. “Kamu cemberut kemarin.”
Mendengar kata-kata Timo, Numa berbalik lagi. Perasaannya kembali nelangsa mengingat pengkhianatan Daniel dan wajahnya cemberut lagi.
“Hei, duduk sini!” ajak Timo, duduk di bangku kecil di depan kamarnya.
Numa duduk dan wajahnya murung dan tertunduk.
Timo mengambil bangku lain dan duduk agak berjarak, sadar tubuhnya masih berkeringat.
“Aku ….” Numa menggeleng, tidak seharusnya dia berbincang dengan Timo yang baru dia kenal, meskipun disebut sudah mengenalnya saat kecil dulu.
“Hei, ada apa? Bilang aja sama aku, aku tau kamu mungkin segan ngobrol sama papa kamu,” ujar Timo lembut.
“Aku dikhianati pacar aku, Om.”
“Oh. So sad.” Timo ikut merasakan sedih Numa, meskipun berbeda kasus, tapi dia tahu bagaimana rasanya dikhianati.
“Hanya sebuah pesan sih. Jadi, ada cewek lain yang mengajaknya berhubungan badan, pacarku nggak ngaku, tapi aku sendiri yang melihat pesan itu. Hm … dia bilang hanya candaan.”
Timo tidak mengenal Daniel, tapi dia akhirnya mengetahui alasan Irfan yang tidak menyukai Daniel.
“Dia sebenarnya udah minta maaf dan aku bingung.”
“Dia sudah pernah melakukannya?”
Numa menggeleng lemah, meskipun baru satu kali Daniel berulah, tapi dia tidak sanggup memaafkannya.
“Kamu bilang aja kamu butuh waktu dulu. Terus kalo kamu yakin sama dia dan dia emang bisa berubah lebih baik, ya nggak ada salahnya menerimanya lagi,” ujar Timo, berusaha menenangkan perasaan Numa tanpa menjelek-jelekkan Daniel.
Numa pun terlihat menghela napas panjang. Dia memang mencintai Daniel dan Daniel adalah cinta pertamanya, tapi hatinya terluka mengingat pesan itu.
“Hei, nggak apa-apa sedih dan itu wajar dalam percintaan. Itu artinya, kamu lagi mengalami fase di mana kamu menyadari bahwa dalam percintaan memang akan ada pengkhianatan.”
Tidak tahu kenapa Numa merasa ketenangan luar biasa saat berbincang hangat dengan Timo.
“Boleh tahu kenapa Om tinggal di sini? Hm … nggak tinggal di rumah sama keluarga, Om?” tanya Numa hati-hati.
Timo tersenyum kecil. “Sama seperti papa kamu, Om sudah bercerai.”
Jantung Numa berdetak keras mendengar jawaban Timo. Lagi-lagi gadis cantik itu terhipnotis, tatapannya cukup tajam dan intens ke wajah Timo. Dia sampai menelan ludahnya saat melihat d**a bidang Timo yang berotot.
Timo tersenyum dalam hati, dia menyadari tatapan tidak biasa Numa ke arahnya.
“Apakah sama juga dengan papaku, hm … dikhianati mamaku.” Ragu-ragu Numa bicara setelah susah payah berhasil menepis kekaguman akan pesona Timo.
Timo pun mencebikkan bibirnya, kisah perceraiannya unik, dia dijebak berselingkuh. Tapi, tentu saja dia tidak mau menjelaskannya karena rumit. “Ya, seperti itu. Tapi ini soal bisnis. Aku dituduh melakukan kecurangan dalam bisnis keluarga mantan istri. Mereka mengusirku dan aku tidak punya apa-apa, lalu aku bekerja di bengkel papamu.”
Numa tertegun mendengar penjelasan Timo dan dia kagum dengan Timo yang tampak santai meskipun sudah melewati hal yang menurutnya cukup berat untuk dilewati.
“Hei, bukannya kamu harus kuliah?”
“Oh, iya, Om. Tapi sebenarnya nggak ada jam kuliah sih di awal pagi ini. Aku biasanya langsung ke perpustakaan dan cari bahan buat melengkapi laporan akhir kuliah. Jam kuliahku jam sepuluh.”
“Oh, kamu sudah mau selesai?”
“Ya, dua semester lagi.”
Numa menghela napas pendek, dia sebenarnya masih enggan beranjak dari dekat Timo dan senang berbincang akrab dengan pria itu. “Aku pergi dulu, Om Timo.”
“Ya.”
“Senang ngobrol sama Om.”
“Datang saja ke kamar kalo mau curhat. Atau … di dapur.”
Numa mengangguk semangat dan berbalik pergi.
***
Numa terlihat ke luar dari perpustakaan menuju kelasnya. Perasaannya kembali sama seperti kemarin, sebal dengan sikap Daniel yang telah mengkhianatinya.
Baru saja dia hendak masuk kelas, dia melihat pemandangan yang tidak mengenakkan, Daniel sedang mencium mesra pipi Lisa dan keduanya tertawa-tawa.
“Numa!” Daniel berseru ke arah Numa yang duduk di bangku. Dia berdecak kesal, sibuk menyalahkan diri sendiri. Dia duduk di samping Numa.
“Ya, di pipi, Numa.” Daniel mencoba berkilah.
“Kita nggak ada hubungan apa-apa lagi. Lo bebas kok.”
“Hei, Numa. Jangan begitu dong. Gue tadi seneng karena dana kegiatan lomba basket antar fakultas sudah cair.”
Numa mengerlingkan mata malas.
Tiba-tiba Lisa menghampirinya. “Numa, gue nggak ada hubungan apa-apa sama Daniel.”
“Iya, terus ada apa dengan asyik-asyikan malam Minggu, hm… dua malam lagi, ‘kan? Lo mau banget begituan sama dia, ya? Udah ngebet loh!” sindir Numa.
“Itu cuma bercanda aja, Numa. Gue nggak serius.”
“Masih aja ngeles loh!” Numa menatap tajam wajah Lisa dan Daniel secara bergantian. Tak hanya marah, dia juga merasa jijik jika harus kembali pada Danie. Baginya, pria itu hanya akan jadi mantan yang harus dia lupakan. Setidaknya, itu keputusan Numa saat ini. “Lo jadi saksi ya, Lisa! Gue sama Daniel mulai sekarang udah putus!”
“Numa!” teriak Daniel dan Lisa bersamaan. Mereka saling pandang, hendak membalas Numa, tapi dosen sudah datang dan teman-teman lainnya juga mulai memenuhi kelas.
***
Sejak pulang dari kampus, Numa sama sekali tak beranjak dari kamar. Dia tampak bete seharian ini karena mengingat soal apa yang dilakukan Daniel dan Lisa. Mereka bahkan sampai berani terang-terangan dekat di kampus.
Sudah berulang kali dia menghapus tulisannya di laptop, artikel tugas mata kuliah soal “Perbandingan Politik” belum juga selesai, padahal hanya sisa beberapa kata. Dia sudah menyiapkan materi tulisan, tapi entah kenapa otaknya mengalami stagnan. Dia memilih melihat-lihat media sosial, tapi suasana hatinya sedang tidak baik. Dia mengingat Timo yang tinggal di belakang rumah.
“Ah, lupa tanya nomor hape om Timo,” gumam Numa. Karena pikiran dan perasaannya bete, dia pergi ke luar kamar.
Kebetulan sekali, Numa melihat Timo berada di dapur luar sedang menikmati makan malamnya.
Timo tersenyum ke arah Numa yang berjalan ke dekatnya. “Sudah makan?” tanya Timo saat Numa duduk di sampingnya.
“Sudah.”
Timo melirik ke arah rumah. “Papa kamu sudah pulang?” tanyanya.
“Belum, biasa jam sembilan baru pulang,” jawab Numa, dan saat itu waktu menunjukkan pukul tujuh malam.
Numa menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan tidak semangat.
“Ada apa?” tanya Timo. Dia sangat mengenal Irfan sebagai pekerja keras. Tapi dia sebenarnya tidak setuju dengan Irfan yang kurang pandai membagi waktu. Dia akhirnya mengerti kenapa Numa dan Irfan tidak begitu dekat, karena Irfan yang terkesan tidak begitu memperhatikan Numa, sehingga Numa memiliki kepribadian yang keras kepala, setidaknya ini adalah awal analisa Timo yang baru satu minggu tinggal di rumahnya.
“Tentang pacar kamu?” tanya Timo pelan, sambil mengaduk sup dagingnya.
Numa mengangguk. “Om punya anak?” tanyanya tiba-tiba.
“Ya, laki-laki, kelas tiga SMP. Namanya Morgan.”
“Oh.”
“Hei, kita sedang bicara soal kamu … dan pacarmu.”
Numa berdecak sebal. “Sudah aku putusin, Om. Tadi aku melihatnya bersama cewek itu dan mereka ciuman–“
“Oh My God.”
Numa cemberut, dia pun lalu menangis.
“Hei, ya sudah, menangislah,” ujar Timo, iba melihat Numa. Lalu dia menghabiskan makan malamnya sambil mendengarkan Numa menangis tersedu-sedu.
Numa tertunduk, baru sekarang dia menangisi hubungan percintaannya dengan Daniel. Meskipun dia sudah memutuskan dan memarahi Daniel, tetap saja dia merasa sangat sedih.
Timo sudah selesai makan malam, beranjak dari duduk sambil membawa alat-alat makan kotornya, dan mencucinya di sink dapur. Mengambil dua gelas berisi minuman hangat dan membawanya kembali ke meja makan.
Timo duduk, lebih dekat dengan Numa, berujar pelan, “Minum air hangat, akan melegakan perasaan kamu.”
Tangis Numa reda, dia minum segelas air hangat dari Timo sampai habis.
“Awal-awal memang terasa sedih, sakit hati, dan pikiran yang kacau. Tapi setelahnya, langkah kamu akan lebih ringan karena sudah merelakan semua yang terjadi. Sekarang ini kamu pasti belum rela Daniel mengkhianati kamu.”
Numa menghela napas panjang, perasaannya cukup tenang mendengar kata-kata Timo, meskipun masih kesal dengan Daniel.
Timo melirik Numa, dia senang Numa yang tampaknya mau mendengarnya.
“Lega?”
“Iya, Om.”
Entah kenapa Timo tergerak mendekap pinggang Numa dan mengusapnya. Numa terkesiap, tanpa ragu pula dia meletakkan kepalanya di lengan Timo.
Timo mengatur emosinya yang tidak teratur, pikirannya mulai berkecamuk, dan dadanya yang bergemuruh. Dia memang menyukai Numa sejak awal bertemu, energinya sudah terserap sejak kejadian malam itu.
Numa ndusel di lengannya.
“Mau ke kamarku?” tanya Timo berbisik.
Bersambung