Bab 2. Terpesona

1133 Kata
“Emang paling sulit menghadapi anak perempuan kalo sudah mengenal cinta. Susah sekali diberi nasihat.” “Oh, dia sudah punya pacar?” “Ya, namanya Daniel, anak pemilik toko alat-alat berat bangunan, tinggal di BSD.” “Oh, bagus dong berarti. Dari keluarga berada.” “Tapi aku kurang menyukainya. Entahlah.” “Itu mungkin karena kamu belum siap aja melepas Numa atau kamu nggak mau dia buru-buru menikah dan kamu bakal ditinggal sama dia?” Irfan pun terkekeh, dia sebenarnya tidak masalah Numa punya pacar, tapi entah kenapa dia tidak menyukai sosok Daniel. Tanpa terasa perbincangan mereka berlangsung sampai menghabiskan dua gelas kopi. Setelah itu, Timo pun pamit kembali ke kamarnya yang berada di belakang rumah Irfan. *** Numa menutup laptopnya setelah menyelesaikan tugas kuliahnya malam ini. Dia tersenyum lega karena satu persatu tugas kuliahnya akan selesai, meskipun dilanda masalah dengan pacarnya. “Hm, akhirnya bisa santai,” gumam Numa sambil memainkan ponselnya. Ternyata ada puluhan panggilan tak terjawab dari Daniel juga puluhan pesan maaf Daniel. Numa menghela napas pendek saat membacanya. Daniel : Maaf banget, Numa. Gue memang salah, tapi gue dan Lisa nggak pernah sejauh itu dan itu hanya candaan. Lo sudah tahu gue lama, ‘kan? Lo yang ngerti gue, Numa. Numa masih mengingat pesan bernada m***m itu dan dia tidak bisa melupakannya. Numa mengerutkan bibirnya, padahal dia sudah merencanakan liburan indah bersama Daniel di akhir semester ini. Mereka berencana pergi liburan ke Tabanan, dan akan menginap di vila mewah milik orang tua Daniel. Meletakkan ponsel di atas meja tanpa membalas pesan apa pun dari Daniel, Numa merasa haus dan juga sedikit lapar. Dia ke luar dari kamarnya menuju dapur bersih yang tidak jauh dari posisi kamarnya. “Ck, kok habis sih?” gumam Numa kecewa. Tidak ada satu pun kotak s**u yang dia lihat di dalam kulkas. Dia berdecak kesal karena mau tidak mau harus ke dapur luar yang posisinya ada di bagian belakang rumah. Dapur yang biasanya boleh digunakan para pekerja papanya, persediaan makanan lengkap juga tersimpan di sana. Numa berjalan cepat tanpa alas kaki menuju dapur luar ingin segera mendapatkan satu kotak s**u, tapi langkahnya menjadi pelan karena dia melihat laki-laki berambut panjang terurai berpakaian kaus tipis dan celana panjang piyama sedang memanaskan sesuatu di dapur. Pria yang baru diperkenalkan papanya tadi sore, Timo namanya. “Hai.” Timo menyapa Numa dengan senyum lebarnya. Numa membalas sapaan itu dengan anggukkan dan senyum tipis. Dia lalu membuka kulkas dan mengambil satu kotak s**u. “Mau Om buatkan sekalian?” tawar Timo, seolah tahu Numa hendak membuat s**u panas. Numa menggeleng, dia cepat-cepat meninggalkan dapur. “Akh!!” Tiba-tiba Nurma menjerit, dan jempol kakinya mengeluarkan darah segar. Timo bergegas mendekati Numa, refleks meraih ketiaknya. “Jangan,” cegah Numa. “Ok, ok. Sebaiknya kamu duduk dulu.” Ternyata Numa tidak bisa berjalan, refleks tangannya mengarah ke Timo, meminta bantuan. “Duduk dulu,” ujar Timo sambil membimbing Numa duduk di atas kursi dapur. “Aww. Sakit.” “Tenang.” Timo duduk bersimpuh di depan Numa, meraih jempol kakinya yang berdarah, dan menghisapnya sedikit kuat. “Akh. Hmmm.” Numa terkaget sekaligus terkesima. Matanya terpejam, rasa sakitnya berkurang. Cukup lama Timo menghisap dan menelan darah segar yang ke luar dari jempol kaki Numa, sampai alirannya berkurang. Dia berdiri dan berjalan menuju kotak P3K, mengambil plester luka. “Dapur ini kotor, kenapa nggak pakai sendal?” “Aku buru-buru, Om,” jawab Numa. Entah kenapa perasaannya menghangat ketika kakinya disentuh lembut dan pelan kedua tangan Timo yang merawat lukanya dengan plester. Dia masih mengingat sensasi hebat yang belum pernah dia rasakan ketika jempolnya dihisap kuat. “Atau kamu mau s**u panasku? Masih panas, aku menggunakan termos,” ujar Timo. Numa mengangguk pelan. Timo beranjak dari duduknya, mengambil termos kecil dan menyerahkannya ke Numa. “Om Timo gimana?” “Nanti aku buat lagi.” Numa menatap Timo lebih intens. “Kamu masih ingat … waktu kamu umur tiga tahun, kamu sering aku gendong.” “Oh, ya?” “Ya, terakhir aku melihat kamu saat kamu mungkin berusia sepuluh tahun. Tapi … kamu sepertinya memang nggak kenal aku.” Numa mengangguk pelan, mengingat banyaknya teman papanya, tapi papanya yang memang tidak pernah memperkenalkannya satu satu secara khusus. Baru kali ini saja dia diperkenalkan dengan Timo, yang ternyata sangat baik. Timo membantu Numa berdiri dari duduknya. “Aku bisa sendiri, Om,” ujar Numa. Timo menyerahkan gelas termosnya ke Numa, dan mengawasi langkah Numa menuju ke dalam rumah. Dia tersenyum menggeleng saat melihat punggung kecil Numa yang sudah hilang dari pandangannya. Entah kenapa dia merasa seolah energi dari dalam tubuhnya terserap ke sosok muda Numa. *** Sementara itu Numa sudah berada di dalam kamarnya, menyesap pelan s**u dari termos Timo. Dia melirik plester luka di area jempol kakinya dan kembali mengingat kejadian barusan dengan detail. Numa tersenyum kecil, masih merasakan getaran di dadanya yang berdesir hebat ketika kakinya dihisap lembut Timo. “Dia ganteng banget,” gumam Numa dalam hati, terutama saat mengingat bahu luas Timo yang bisa jadi tempatnya berlindung, juga tatapan matanya yang begitu teduh memandangnya. “Astaga.” Numa menepuk jidatnya, menyadari usia Timo yang jauh lebih tua dari usianya, dan dia belum tahu status Timo yang sebenarnya. *** Keesokan paginya, Numa bangun di awal pagi dan mendapatkan tubuhnya terasa segar. Dia tidak lagi merasakan sakit di kakinya, dan bisa berjalan seperti biasa. Setelah berpakaian rapi, Numa meraih tasnya juga termos milik Timo, dia hendak mengembalikannya pagi ini juga, khawatir Timo memerlukannya, apalagi Numa tahu termos Timo berharga jutaan, dia pernah melihat termos itu dibawa salah satu teman sekelasnya. Numa sendiri tidak begitu tertarik memiliki termos, meskipun dia bisa saja membelinya. Termos sudah dicuci bersih Numa di sink dapur dalam dan melapnya sampai benar-benar kering. Lalu dia sarapan sebentar dengan cereal, pisang dan s**u. Setelahnya, dia bergegas ke bagian belakang rumahnya. “Neng Numa? Cari siapa pagi-pagi?” tanya Edi, salah satu pekerja di rumahnya. Dia sedang membersihkan taman. Numa melihat Timo sedang push up di depan pintu kamarnya. “Om Timo, Pak.” “Oh.” Pak Edi langsung menoleh ke arah pintu kamar Timo, dia melihat Timo sedang berolah raga, lalu beralih ke Numa. “Mau balikin termosnya,” ujar Numa. “Saya panggilkan?” tawar Edi. “Nggak usah, Pak. Aku sendiri saja.” Numa tidak mau mengganggu pekerjaan Edi. Numa langsung berjalan mendekati pintu kamar Timo. Dia tertegun saat melihat tubuh jangkung tegap sedang berayun ke atas dan ke bawah dengan keringat yang mengucur deras di punggung. “Om Timo,” panggil Numa pelan. Timo mengangkat tubuh kekarnya, dan langsung berdiri dengan cepat, lalu menoleh ke belakang. Lagi-lagi Numa menelan ludahnya, tubuh tegap dan tinggi Timo lumayan menggugah perasaannya. “Ya ampun, dia emang bener-bener ….” Numa masih termangu diam. Menatap Timo, seolah terhipnotis akan pesona dari duda tampan itu. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN