“Hubungi saya kalau kamu setuju dengan tawaran saya,” ucap Sakha setelah memakai kembali bajunya.
Naya pun menutup tubuhnya dengan selimut, sepenuhnya sadar dari gairah yang membakar tubuhnya. “Sampai kapan saya harus menjadi simpanan kamu?”
Sakha tersenyum dingin. “Sampai saya puas dengan tujuan saya.”
“Dan pastinya bukan Cuma menyambut kamu setiap malam. Suatu saat kamu pasti meminta tidur bersama, kan?”
“Buat apa saya bayar kamu kalau tidak saya pakai?”
“Tapi saya Cuma berniat hanya satu malam lalu melupakan semuanya.”
Sakha merangkak, mendekati Naya yang masih setengah berbaring. “Kamu mau uang lebih banyak lagi atau mau melepaskan kesempatan ini?”
“Saya …”
“Ini kartu nama saya. Hubungi saya kalau kamu sudah punya jawaban. Dan bukan Cuma uang, apartemen pun saya berikan.”
Naya menggelengkan kepalanya bahkan menutupnya dengan bantal karena perkataan Sakha terus terngiang di telinganya. Pertemuan tadi membuatnya terus membayangkan apa yang sempat terjadi satu minggu lalu. Merasa sangat menyesal karena tidak tahu kalau Sakha adalah presiden direktur AT Konstruksi.
“Dari sekian perusahaan, kenapa aku harus kerja di tempatnya?” keluh Naya.
Perempuan itu beranjak dari tempat tidur lalu mengambil kartu nama yang pernah diberikan oleh Sakha. Diperhatikannya kertas kecil bertuliskan nama tunggal yaitu Sakha dengan pekerjaan sebagai direktur sebuah percetakan terkenal.
“Jadi semua ini bohong?”
Naya langsung mengerang frustrasi, semakin gila dengan semua kejadian yang menimpanya. Membayangkan apa yang terjadi jika akhirnya menolak tawaran dari Sakha. Akankah pekerjaan yang baru seumur jagung akan berakhir begitu saja. Jika itu terjadi, makin sulitlah hidupnya.
“Tapi kenapa dia masih mencari di luar padahal sudah punya tunangan?”
Di tengah rasa penasaran dan juga frustrasi, Naya dikejutkan oleh suara ponselnya yang berdering. Dengan malas, ia mengulurkan tangan untuk mengambil ponsel yang ada di atas meja. Sebuah nomor tidak dikenal muncul sebagai penelepon.
“Siapa yang nelpon?” gumamnya penasaran.
Khawatir jika ini nomor dari rekan kerjanya yang baru, Naya terpaksa menjawab panggilan telepon itu. Benda pipih itu berpindah, tepat di depan telinganya.
“Halo, selamat malam.”
“Naya …”
Suara lirih terdengar di seberang telepon dan Naya bisa mengenali siapa pemiliknya. “Tante Ikah?”
“Naya, tolong om kamu, Nay. Mereka bawa om kamu karena belum bisa bayar hutangnya. Tante benar-benar takut kalau mereka sampai berbuat jahat kepada om kamu.”
Sekujur tubuh Naya gemetar, dadanya berdetak cepat membayangkan hal buruk menimpa paman dan bibinya. Mereka memang kejam karena tega menjadikannya jaminan sebuah hutang dengan total setengah milyar. Memintanya untuk menikah dengan lelaki tua demi melunasi hutang itu. Naya tidak sanggup jika hidupnya berakhir sebagai istri ketiga atau entah keberapa.
Walaupun paman dan bibinya sudah merawatnya dengan baik sejak kecil hingga sebesar ini, tapi Naya benar-benar tidak bisa membantu dengan cara seperti. Ia tidak sanggup menyerahkan hidupnya dan akhirnya ia memilih kabur ke Jakarta. Meski pergi tanpa berpamitan, Naya tidak mengganti nomornya demi tetap tahu bagaimana keadaan paman dan bibinya.
“Naya, Tante tahu kami sangat jahat. Tapi Cuma kamu yang bisa nolong untuk bebasin om kamu.”
“Tapi Naya nggak bisa nikah, Tante. Membayangkannya saja sudah nggak sanggup. Tolong ngerti juga posisi Naya, Tante.”
“Iya Naya, Tante sangat ngerti. Om dan Tante juga merasa bersalah tapi semuanya sudah terjadi. Tolong Naya, kami mohon. Anggap saja ini balas budi kamu karena kami sudah membesarkan kamu dengan baik. Membiayai sekolah hingga kamu selesai kuliah.”
Air mata Naya akhirnya jatuh juga. Pada akhirnya kalimat itu keluar juga. Yang ia kira sebagai ketulusan, ternyata diminta untuk mengembalikan.
“Maaf Tante, Naya belum bisa. Tolong jangan ganggu hidup Naya lagi. Nggak apa-apa kalau Om dan Tante anggap Naya durhaka dan nggak tahu terima kasih. Tapi Naya masih mau menjalani hidup Naya tanpa harus terkurung dalam pernikahan dengan lelaki tua.”
“Satu minggu Naya. Mereka kasih waktu satu minggu. Setelah itu, Tante nggak tahu bagaimana nasib om kamu.”
Naya tidak sanggup mendengarkan kepiluan yang bibinya katakan. Ia menutup sambungan telepon lalu terdiam dengan kedua mata basah. Pada kenyataannya, ia tidak pernah benar-benar bisa mengabaikan keluarganya. Rasa khawatir dan bingung menjadi satu, takut kalau terjadi sesuatu kepada pamannya.
“Ya Tuhan, kenapa aku harus mengalami kesulitan ini?” ucapnya dengan nada pilu.
***
Hari kedua Naya bekerja, semuanya masih berjalan dengan normal. Dimulai dengan pagi hari yang gugup karena harus bertemu lagi dengan Sakha. Laki-laki itu berjalan di lobi lalu sempat tertangkap menatap ke arah Naya. Hal ini membuat perepuan itu gemetar dengan perasaan takut. Pikirannya hari ini benar-benar kacau karena telepon semalam dan juga harus bertemu dengan Sakha.
“Nay, makan. Jangan bengong, nanti waktu istirahatnya habis.”
Naya sedikit gelagapan. “Ah, iya. Maaf, aku lagi banyak pikiran.”
“Ada masalah, ya?”
“Enggak kok. Maklum, aku baru tinggal di Jakarta jadi masih perlu penyesuaian. Ditambah tempat kerja juga baru, jadi double kan.”
“Oh itu. Tenang saja, Nay. Kalau ada apa-apa, kamu bisa kasih tahu aku. Sebisa mungkin aku bantu kamu.,” ucap Julia.
“Makasih yang Lia.”
“Sama-sama.”
“Julia, aku boleh tanya-tanya soal perusahaan, nggak?”
“Boleh. Tanya aja.”
Naya menghela napas pelan, mengatur napasnya agar bisa tenang saat bicara. “Pak Sakha, eh maksudku Pak Ganesh saudara berapa orang? Apa ada saudaranya yang juga ikut mengelola perusahaan?”
“Pak Ganesh anak tunggal. Ada sih beberapa sepupunya ikut kerja di sini.”
“Oh begitu,” Naya mengangguk pelan. “Terus Pak Ganesh sudah lama tunangan?”
Julia berpikir sejenak. “Kalau nggak salah dua bulan lalu. Mereka dijodohin dan katanya memang saling cinta. Desas-desusnya mereka mau nikah tahun depan. Nggak bisa dibayangkan bagaimana keturunan mereka nanti. Pak Ganesh ganteng banget, dan Mbk Alessa cuantik pol. Kalau nanti kamu ketemu langsung, pasti setuju sama pendapatku,” tutur Julia dengan antusias.
“Oh …”
“Dari tadi oh terus. Kenapa kamu nanya soal Pak Ganesh?”
“Enggak, Cuma penasaran aja. Soalnya kamu selalu bilang ngefans sama dia.”
Julia terkekeh pelan. “Karena Pak Ganesh aku jadi berangan-angan bisa dapat calon suami kayak dia. Nggak masalah kalau sikapnya dingin, tegas atau selera humornya rendah. Yang penting mapan, ganteng dan juga penyayang.”
“Semoga dapat sesuai keinginan kamu ya, Lia.”
***
Naya tengah berdiri di depan pintu sebuah apartemen yang cukup mewah. Menunggu pemiliknya membuka pintu untuknya. Perasaan takut dan gugup menjadi satu karena ini kali pertama datang ke tempat di mana jika ingin naik ke unitnya harus mendepatkan akses. Ditambah membayangkan berhadapan dengan Sakha, rasanya Naya bisa gila.
Setelah mengirim pesan bahwa ia ingin bertemu, Sakha langsung mengutus asistennya untuk memberikana alamat apartemen. Sakha akan menunggu di sana untuk mendengarkan keputusan Naya.
“Selamat malam,” ucap Naya begitu pintu terbuka dan Sakha ada di hadapannya.
Sakha tersenyum dingin. “Saya kira kamu tidak jadi datang. Silakan masuk.”
Naya masuk lebih dulu dan Sakha mengikuti di belakang. Ia sungkan, namun juga sangat takjub melihat apartemen dengan desain interior yang sangat mewah. Siapa sangka ia akan masuk ke tempat seperti ini.
“Silakan duduk. Mau minum apa?”
“Air putih saja,” jawab Naya gugup.
Sakha tersenyum karena kepolosan Naya. Tidak lama, laki-laki itu kembali dari dapur dengan membawa dua minuman kemasan yang dingin.
“Silakan diminum.”
Naya mengangguk. “Terima kasih.”
“Karena saya buru-buru, kita langsung saja. Jadi bagaimana keputusan kamu, apa mau menerima tawaran saya atau …”
“Saya mau menerima tawaran kamu jadi simpanan kamu asal kamu memberikan uang yang sudah dijanjikan,” jawab Naya dalam satu tarikan napas.
Sebuah seringai nampak di wajah Sakha yang membuat Naya sedikit gentar. “Kamu yakin? Karena kalau kamu sudah setuju, maka tidak ada kata mundur lagi.”
Naya mengangguk yakin. “Saya butuh uang, jadi sudah yakin dengan keputusan saya.”
“Baiklah, biar saya kasih tahu tugas kamu.”
“Tugas? Bukannya saya Cuma jadi simpanan kamu yang harus siap melayani kapan pun kamu mau?”
Sakha mengangguk. “Benar. Tapi apa kamu bisa masak?”
“Masak? Bisa, saya bisa masak makanan Indonesia, itu saja.”
“Kamu harus menyiapkan makanan setiap malam karena saya akan datang ke sini setelah pulang kerja. Berpenampilan yang baik dan juga harus wangi. Jangan pernah membuka rahasia ini, termasuk dengan orang terdekat kamu. Kalau kamu sampai buka rahasia, ada konsekuesni yang harus kamu terima.”
“Konsekuensi?”
“Iya. Hidup kamu akan berakhir menyedihkan.”
Naya terkejut mendengar itu. “Baiklah, saya akan jaga rahasia. Tapi apa saya masih boleh kerja?”
“Boleh. Lakukan apa yang biasa kamu lakukan. Tapi jangan pernah berhubungan dengan laki-laki lain selama kamu masih bersama saya.”
“Sampai kapan?”
“Sampai saya bosan. Tapi tenang saja, selain uang 500 juta, kamu akan dapat uang setiap bulan. Bahkan kamu bisa tinggal di sini karena tempat ini akan jadi tempat pertemuan rahasia kita,” jelas Sakha.
Naya terdiam sejenak, mencerna semua pembicaraan ini. Lalu perempuan itu menghela napas pelan sebelum bicara. “Apa saya boleh tanya sesuatu?”
“Apa?”
“Kenapa kamu cari simpanan disaat kamu sudah punya tunangan? Bahkan saya dengar tahun depan kalian menikah.”
Laki-laki itu tersenyum sambil menghisap rokoknya. “Karena saya butuh hiburan saat bosan. Daripada saya bayar kamu sebanyak itu cuma untuk semalam saja, lebih baik saya tambah lalu kamu bisa melayani saya dalam segala hal setiap malam.”
Mendengar itu, susah payah Naya menelan liurnya sendiri. Tidak bisa dibayangkan, apakah hidupnya akan lebih sengsara saat bersama Sakha atau menikah dengan lelaki tua itu.
“Kenapa, kamu berubah pikiran?”
Naya menggeleng. “Tidak, saya terima semuanya. Jadi kamu Cuma akan datang saat malam hari?”
“Iya. Saya hanya butuh kamu saat malam.”
“Baiklah, kalau begitu semua sudah jelas. Kapan kamu kirim uangnya?”
Ditanya soal uang oleh Naya, Sakha tertawa ringan. Laki-laki itu beranjak dari duduknya, lalu menghampiri Naya. Dari belakang, Sakha berbisik pelan.
“Apa malam ini kamu sudah siap bekerja?”
Naya menutup mata karena merasakan bulu kuduknya merinding. Bayangan saat Sakha menjamahnya pada malam itu kembali terlintas. Seketika jantungnya kembali berdetak hebat dan rasanya tidak sanggup ada di sini.
“Apa harus malam ini? Saya …saya harus pulang dulu. Tolong kasih waktu Pak Sakha.”
Sakha mengecup leher Naya, setelah itu kembali ke tempat duduknya. “Baiklah. Saya kasih kamu waktu 2 hari untuk pindah. Dan uangnya akan diurus oleh asisten saya, jadi kamu tenang saja.”
“Baik Pak Sakha.”
“Jangan panggil saya Pak kalau Cuma berdua, panggil saja Sakha,” ucap laki-laki itu. Lalu Sakha mengulurkan tangannya. “Dan satu lagi Naya, selama kita bersama, jangan pernah melibatkan hati karena kamu akan rugi sendiri. Paham?”
Naya mengangguk. “Itu semua nggak akan pernah terjadi.”