Dua minggu sebelumnya.
“Nih, cari hiburan di sini. Jangan jadi anak kos terus, kamu harus bergaul.”
Naya menatap undangan bertuliskan vip untuk pesta topeng. Keningnya mengernyit, tidak tahu pesta apa yang dimaksud. Kenapa temannya itu bisa punya undangan seperti ini.
“Kamu dapat ini dari mana, Da?”
Minda meneguk kopi pahit yang baru saja dibuat. “Dapat dari pacarku. Kamu tahu sendiri Barlin kerja di bar hotel bintang lima. Dan tempatnya itu mau ada pesta topeng. Jadi dia kasih aku biar bisa masuk.”
“Hah? Memang boleh begitu? Apa penyelenggaranya nggak curiga sama tamu yang nggak dikenal”
“Boleh asal nggak ketahuan,” jawabnya enteng.
Naya manggut-manggut saja karena ia tidak pernah melakukan hal semacam ini ketika bekerja di tempat sebelumnya. “Terus kenapa kamu kasih undangan ini ke aku?”
“Aku malas dan kebetulan ada kerjaan. Jadi buat kamu saja, hitung-hitung cari kenalan di sana. Kata Barlin, tamunya dari kalangan berduit, pengusaha sukses, jadi masa kamu nggak bisa dapat satu dengan modal wajah kamu yang cantik ini.”
“Tapi Minda, apa pacar kamu tau?”
Minda mengangguk. “Dia senang kalau kamu mau datang, berharap kamu bisa dapat kenalan orang kaya.”
Ada raut wajah bingung yang Naya tunjukkan. Belum genap satu bulan di Jakarta, apakah harus melakukan ini. Satu sisi, ia seperti mendapatkan jalan lewat Minda untuk melancarkan rencananya. Namun di sisi lain, Naya juga merasa takut dan cemas.
“Kenapa bengong? Mau datang atau nggak? Kalau nggak mau, aku kasih ke orang lain saja.”
Naya mengangguk dengan ragu. “Iya, aku mau.”
Manda menyentuh tangan Nayana dengan tatapan lekat. “Naya, aku nggak pernah berniat nyuruh atau menjerumuskan kamu dalam kehidupan Jakarta yang keras. Aku Cuma mau kamu dapat relasi yang bagus sambil nunggu pengumuman pekerjaan. Misal kamu bergaul dengan orang sukses, siapa tahu ada jalan untuk sebuah pekerjaan yang bagus, sehingga kamu bisa bantu om dan tante kamu bayar hutang. Aku nggak bisa bantu banyak, Cuma ini yang aku bisa lakuin untuk kamu.”
“Tolong jangan merasa terbebani, Minda. Kamu sudah mau nampung aku waktu pertama datang ke sini, rasanya aku bahagia sekali. Sampai akhirnya kamu juga yang bantu aku cari lowongan kerja. Kamu sudah bantu aku banyak hal, terima kasih Minda,” ucap Naya lalu memberikan pelukan kepada teman baik semasa SMA di Malang.
“Jaga diri baik-baik ya, Nay. Aku doakan masalah kamu cepat selesai dan bisa hidup dengan tenang tanpa menikah dengan tua bangka itu.”
Naya mengangguk. “Iya Da, aku akan terus cari cara.”
***
Satu minggu setelah Manda memberikan undangan pesta topeng, kini Nayana sudah berada di sebuah bar mewah yang baru kali ini wanita itu datangi. Mengenakan gaun berwarna merah menyala dengan belahan samping hingga di atas lutut, membuat kakinya yang jenjang nampak begitu indah. Ditambah model v pada bagian atas, memperlihatkan belahan d**a yang sedikit membusung dan menantang. Tidak lupa, topeng berwarna senada dengan gaunnya, menjadi pelengkap yang sempurna. Perempuan berusia 25 tahun itu langsung menjadi pusat perhatian begitu masuk ke sana.
“Tenang Nay. Nggak ada yang perlu kamu takuti. Kamu sudah berhasil kabur dari Malang ke Jakarta. Harusnya kamu bisa melewati malam ini dengan baik, sesuai rencana.”
Naya berjalan pelan karena ia belum terbiasa mengenakan heels tinggi milik Minda. Semua yang ia kenakan adalah hasil berburu dengan temannya itu. Untung saja ada tempat menyewa gaun dengan harga terjangkau, sehingga Naya tidak perlu mengeluarkan banyak uang.
Setalah melihat bagaimana situasi di tempat itu, Naya berjalan menuju meja bar. Naya belum melihat keberadaan pacarnya Minda sehingga ia benar-benar mengandalkan diri sendiri.
Sebelum duduk, Naya mengambil minuman berwarna bening yang entah apa isinya. Yang jelas, ia tidak mau terlihat bod0h dan canggung agar tidak mudah dipermainkan oleh orang-orang di sini. Ketika mendapatkan tempat yang santai, Naya segera duduk di sana. Di sebelahnya ada laki-laki duduk sendiri, tengah menikmati pestanya.
Naya mencium aroma dari minuman sebelum dicicip sedikit. Ia tidak mau mabuk tanpa menyelesaikan tujuannya. Itu sebabnya ia tetap waspada, membaca situasi dan melihat siapa yang bisa ia dekati. Satu yang coba ia tekankan pada dirinya agar tidak mendekati laki-laki yang sudah beristri agar rasa bersalahnya tidak semakin besar. Walaupun sulit, Naya masih mencoba teguh dengan prinsipnya.
Kedua mata Naya menangkap keberadaan seorang laki-laki dengan perawakan masih muda. Ia tidak melihat ada cincin yang melingkah di jarinya. Sambil menghela napas, Naya beranjak dari kursi tinggi yang diduduki.
Sial tidak bisa dihindari, Naya lupa sedang mengenakan heels sehingga kakinya salah berpijak. Tubuhnya hilang keseimbangan, menyebabkan ia jatuh di pangkuan laki-laki yang duduk di sebelahnya. Gelas berisi minuman jatuh ke pakaian laki-laki itu, hingga membuat Naya merasa terkejut sekaligus cemas.
Naya terdiam sekian detik dengan posisi kedua tangan bertumpu pada tubuh laki-laki itu. Wajahnya mendongak, sehingga mereka saling menatap. Meski mengenakan topeng, bisa Naya tebak kalau wajah laki-laki ini sangat tampan. Sorot matanya tajam dan mengintimidasi. Naya pun segera sadar dari keadaan canggung ini.
“Ma – maaf. Saya nggak sengaja,” ucap Naya sambil berusaha mengeringkan sisa minuman dengan tangannya.
Laki-laki itu menghela napas, mengusap bajunya yang basah dengan saputangan yang ada di dalam saku jasnya. “Tidak apa-apa. Apa kamu terluka?”
Naya menggeleng. “Enggak, kok. Sekali lagi saya minta maaf. Apa saya perlu ganti biaya loundry pakaian kamu?”
“Tidak perlu, hanya terkena minuman,” jawabnya. “Tapi sebagai gantinya, temani saya minum, gimana?”
Tiba-tiba jatuh dan tiba-tiba diminta untuk menemani minum, Naya masih cukup kaget dengan situasi ini. Ia mencoba memperhatikan laki-laki di hadapannya namun tidak mencolok. Dilihat dari penampilannya, laki-laki asing ini nampak mapan. Ditambah postur tubuhnya yang gagah, cukup memikat hati para wanita.
“Bagaimana?”
Naya mengangguk ragu. “Bo – boleh.”
Begitu Naya setuju, laki-laki itu langsung mengajak Naya pergi ke sebuah tempat yang sedikit pojok. Ada sebuah sofa, lalu mereka duduk di sana. Naya yang masih belum terbiasa, nampak tegang duduk di sebela laki-laki itu.
“Kita belum kenalan. Saya Sakha.”
“Nayana, panggil saja Naya.”
“Nayana, nama yang indah,” gumam Sakha. “Dengan siapa kamu datang ke sini?”
“Sendiri,” jawabnya singkat. Naya seakan kehilangan cara berpikir waras. Otaknya lumpuh dan lidahnya kelu duduk bersanding dengan Sakha.
Sakha tersenyum. “Kenapa tegang sekali?” tanya laki-laki itu. Lalu tangannya dengan santai melingkar di pinggang Naya. Menarik wanita itu agar semakin dekat dengannya. Kemudian, tanpa diduga Sakha mendekati telinga Naya untuk berbisik. “Saya tahu kalau malam ini pasti jadi pengalaman pertama kamu datang ke tempat seperti ini. Jangan takut, saya akan menemani kamu.”
Seketika bulu kuduk Naya meremang merasakan embusan napas dari Sakha pada lehernya. Ditambah dengan kata-kata dari laki-laki itu, semakin membuat jantungnya berdegup kencang.
“Apa yang buat kamu berakhir di pesta ini?” tanya Sakha tanpa basa-basi.
Naya menelan liurnya dengan susah payah. “Saya, saya mau mencari orang yang mau bayar keperawanan saya,” jawabnya dalam satu tarikan napas.
Salah satu sudut bibir Sakha terangkat, membentuk senyum remeh. “Berani sekali kamu, Naya.”
“Apa Anda tertarik?”
“Apa?”
Naya menatap Sakha dengan berani. Ia tidak peduli jika belahan gaunnya tersingkap sehingga memperlihatkan pahanya yang mulus. Atau pikiran Sakha yang menganggapnya w************n. Walaupun dengan penuh resiko, ia tetap melakukan rencananya.
“Saya tidak mau buang-buang waktu meladeni Anda tanpa ada imbalan. Kalau Anda mau, ayo lakukan penawaran.”
Sakha tidak bisa menahan tawanya. Untung saja suasana di tempat itu cukup berisik, sehingga tidak ada yang peduli.
“Kenapa Anda tertawa? Apa ada yang lucu?”
“Tidak, jangan tersinggung. Baiklah, berapa banyak yang kamu butuhkan?”
“Nggak banyak bagi Anda yang mungkin kaya raya. Kalau Anda mau, silakan bayar 500 juta. Saya masih bersih, belum pernah ada yang menyentuh. Kalau terbukti berbohong, silakan jangan bayar.”
Sakha meneguk minuman miliknya sambil mencerna ucapan Naya. “Sebenarnya saya tidak terlalu butuh. Kalau kamu mau, 300 juta. Saya langsung transfer begitu selesai.”
“Kejam sekali. Bagaimana kalau 400 juta?”
“Sudah saya bilang, malam ini saya tidak terlalu butuh. Saya hanya berniat bantu. Kamu pasti sangat butuh uang ini, kan?”
Naya terdiam. Mencoba untuk berpikir tenang. Ia tidak mau rugi tapi juga tidak ingin mengulang penawaran ini kepada laki-laki lain. Baginya sudah sangat memalukan dan menjijikan harus terjebak dalam keadaan rumit seperti ini.
“Baiklah, saya setuju,” jawabnya.
Setelah terjadi kesepakatan, Naya dibawa ke sebuah kamar di hotel yang sama oleh Sakha. Sejak awal, laki-laki itu sangat tenang hingga membuat Naya merasa malu. Ia tidak bisa membayangkan malam jenis apa yang akan dilewati. Ia hanya berusaha untuk melakukannya hingga selesai dan uang ia dapatkan.
Begitu masuk ke dalam kamar, Naya dibuat terkejut oleh apa yang Sakha lakukan. Laki-laki itu langsung mencium bibirnya dengan begitu semangat. Naya sampai tidak sempat meletakkan tas miliknya karena langsung didorong ke tembok depan pintu oleh Sakha.
Naya pasrah, membalas ciuman Sakha yang terasa sedikit manis dan pahit. Lidah laki-laki itu menyusuri rongga mulutnya. Hinga Naya hampir kehabisan oksigen.
Setelah beberapa menit berlalu, Sakha melepaskan bibir Naya. Nampak kabut gairah di wajah Sakha yang sulit untuk ditutupi. Laki-laki itu juga langsung membuka topengnya dan memperlihatkan wajah aslinya.
Kedua mata Naya membola saat melihat bagaimana tampan wajah laki-laki yang tengah mengungkukngnya. Ia masih sulit percaya, laki-laki yang tidak sengaja berkenalan dengannya, akan setampan ini.
“Kamu yakin melakukan ini?” tanya Sakha kepada Naya.
Naya mengangguk dengan tatapan sendu dan napas tersengal. “Tidak ada jalan lain untuk mundur. Ini semua demi keselamatan saya.”