7. MALU DI HADAPAN SAKHA

1647 Kata
Suara alarm yang sangat nyaring berhasil membuat Naya tersentak dari tidurnya. Matanya langsung terbuka dan melihat ke sekitar kamar yang masih remang. Walaupun dalam keadaan setengah sadar, Naya langsung mengenali kalau tempatnya saat ini bukanlah kamar miliknya. Ia pun melihat ke samping tapi tidak menemukan keberadaan Sakha. “Dia sudah pergi?” Naya melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul lima pagi. “Sepagi ini?” Naya menundukkan wajah, mengusap dengan kedua tangannya. Tidurnya begitu nyenyak sampai tidak tahu apa yang terjadi tadi malam. Namun satu yang membuatnya lega, ia masih mengenakan piyama dengan lengkah. “Aku terlalu berpikir negatif. Mana mungkin dia macam-macam sedangkan aku lagi halangan,” gumamnya sambil mengikat rambut. Tidak ingin berlama-lama di kamar yang tidak ada pemilikinya, Naya bersiap untuk turun dari tempat tidur. Akan tetapi, telinganya samar-samar menangkap suara yang tidak jauh dari kamar itu. Seketika Naya terdiam, merasakan cemas sekaligus waspada. “Apa Sakha belum pergi? Rasanya mustahil dia mandi sepagi ini.” Merasa penasaran, Naya bergegas mencari sumber suara yang asalnya dari arah closet room milik Sakha. Kakinya berjinjit agar tidak menimbulkan suara. Ia benar-benar takut kalau itu bukan Sakha melainkan orang lain yang menerobos masuk. Begitu Naya masuk, ia tidak menemukan keberadaan Sakha. Namun dari arah kamar mandi yang menyatu dengan closet room, terlihat bayangan seseorang. Naya terkejut karena siluetnya membentuk teluk tubuh seorang laki-laki dan jelas itu Sakha. “Ya Tuhan! Kenapa aku sebodoh ini. Jelas itu Sakha, tapi masih aja mikir ada penyusup,” gerutu Naya penuh sesal. Tidak mau ketahuan oleh Sakha masuk tanpa izin, Naya berbalik badan. Ia bersiap keluar dari kamar tersebut dan kembali ke kamarnya. Langkahnya lagi-lagi pelan, agar tidak menimbulkan suara. “Mau ke mana?” Kedua mata Naya membola dan kakinya berhenti bergerak. Ia menelan salivanya susah payah karena tertangkap basah oleh Sakha. “Saya nanya kamu, Naya. Kenapa masuk tanpa izin dan sekarang malah kabur?” Naya masih mematung dengan tangan gemetar dan jantung berdegup kencang. Ia belum mengenal Sakha dengan baik, bisa saja pertanyaannya itu mengandung kemarahan yang siap meledak. Dan tubuhnya tersentak ketika ia merasakan ada sentuhan di punggungnya. “Sudah saya bilang, lihat saya kalau lagi ngomong!” Sakha dengan sedikit kasar menarik tangan Naya sehingga wanita itu kini berbalik arah menatap laki-laki itu. Pandangan mata mereka bertemu dengan sorot yang berbeda. “Kamu ngggak tuli, kan?” Naya menggeleng ketakutan. Selain karena ketahuan, ia juga dibuat sangat gugup melihat Sakha bertelanjang dadaa dan hanya mengenakan handuk di bagian bawah. “Ma – maaf, Sakha. Saya kira kamu sudah pergi dan yang ada di sini bukan kamu. Makanya saya masuk untuk memastikan,” jelasnya dengan gugup. Sakha tidak menjawab. Matanya intens menatap wajah Naya. Tangannya bergerak, mengapit dagu wanita yang nampak sangat gugup. “Kamu mau cium saya?” tanya Naya polos. “Jangan! Saya baru bangun, belum gosok gigi,” sambungnya. Salah satu sudut bibir Sakha terangkat, membentuk senyum tipis. Tanpa basa-basi, laki-laki itu mengarahkan bibirnya ke leher Naya yang jenjang, mengecup bagian sana. Bukan hanya ciuman singkat, namun juga diiringi gigitan kecil yang membuat Naya meringis sekaligus kaget. Naya mengepalkan kedua tangan yang sedang berada di dadaa bidang Sakha yang dingin. Matanya terpejam dengan leher kaku. Ia tidak tahu bagaimana menghentikan Sakha yang bermain-main pada salah satu area sensitif di tubuhnya. “Ja – jangan dikasih tanda, saya harus kerja, Sakha!” Bukannya menyerah, Sakha semakin mendorong tubuh Naya ke dinding. Ciumannya semakin intens, bahkan tak ragu membasahi area ini. Membuat Nayat meronta lemah, tidak ada arti baginya karena pada akhirnya berhasil membuat wanita itu mendesahh pelan. Naya merasakan tubuhnya semakin memanas ketika telapak tangan besar Sakha menyusuk ke dalam piyamanya. Mengusap perutnya lalu beralih pelan ke bagian dadaa yang bersembunyi di balik bra. Ia tidak tahan lagi diperlakukan seperti ini, sungguh terasa menyiksa. “Sa – Sakha.” Begitu puas, Sakha mengakhiri namun belum mau melepaskan wanita itu. Matanya kembali menatap dengan kabut gaiirah yang muncul di sana. “Bagiamana hukuman pagi ini?” “Hukuman?” Sakha mengangguk. “Karena masuk tanpa izin.” “Tapi saya sudah bilang alasannya!” “Anggap saja ini pelajaran biar kamu makin terbiasa dengan permainan saya.” Naya berdesis dengan bibir mengerucut. Ia mendorong tubuh Sakha, namun matanya mengangkap sesuatu yang aneh di tubuh laki-laki itu. Matanya terbelalak dengan mulut terbuka. Namun tidak lama, ia memalingkan wajah. “Kenapa keget?” tanya Sakha santai. “Kamu sudah pernah lihat hal seperti ini, kan?” Tidak tahan digoda terus menerus oleh Sakha, Naya kembali mendorong laki-laki itu. “Pagi-pagi otaknya sudah messum!” Kedua bibir Sakha terangkat mendengar ucapan berani Naya. Laki-laki itu menatap kepergian wanita yang ia pilih sebagai simpanannya. Sakha menghela napas, menatap miliknya yang menegang di balik handuk atas ulahnya sendiri. “Bahkan dengan hal sederhana saja dia bisa buat milikku seperti ini. Ada-ada saja padahal sudah selesai mandi,” gumamnya sambil mengusap tengkuknya. Sementara itu, Naya melihat lehernya di cermin dan menemukan dua tanda merah hasil perbuatan Sakha. Ia mengerang kesal karena tanda ini bisa membuatnya mendapat masalah di tempat kerja. “Gimana caranya ngilangin tanda merahnya? Besok aku kerja, nggak mungkin dengan kondisi kayak gini,” keluhnya. Setelah Naya selesai mandi, ia keluar kamar untuk membuat sarapan. Meski masih sedikit kesal dengan Sakha, ia berniat membuat sarapan untuk laki-laki itu. Namun begitu keluar kamar, ia tidak mendapati tanda-tanda akan keberadaan Sakha. “Sekarang dia ke mana lagi?” Trauma dengan kejadian tadi, Naya lebih memilih memanggil nama Sakha, alih-alih masuk ke kamarnya. Namun sudah beberapa kali dipanggil justru tidak ada jawaban. Dengan takut dan ragu, Naya membuka pintu kamar Sakha untuk mengecek secara langsung. “Maaf saya masuk karna kamu nggak jawab.” Naya tidak menemukan Sakha di mana pun. Dugaannya benar kalau laki-laki itu pergi tanpa berpamitan. “Setidaknya bilang kalau mau pergi,” gumamnya. Saat hendak keluar dari kamar itu, Naya menoleh ke closet room. Bulu kuduknya meremang mengingat apa yang Sakha lakukan kepadanya. “Aku nggak tau kalau akan sesulit ini jadi simpanan Sakha,” keluhnya. *** Entah sudah berapa kali Naya melihat lehernya demi memastikan kalau bekas ciuman yang ditinggalkan Sakha tidak terlihat. Tentu saja ia harus bekerja keras menutupinya dengan makeup demi menghindari teguran atasannya. Sebagai orang yang bekerja di bagian depan, penampilannya akan jadi santapan pertama. Itu sebabnya ia sangat kesal saat Sakha dengan sengaja memberikan tanda pada lehernya yang terbuka. “Kamu liatin leher terus, memang kenapa?” tanya Julia tiba-tiba. Naya terkejut dan langsung menyimpan cermin kecil miliknya. “Enggak kok. Cuma ngecek makeup.” “Nay, aku minta tolong bawa surat dan dokumen dini divisi marketing dan hrd, ya. Sudah aku pisah, jadi kamu tinggal serahin aja.” “Oke.” Tanpa menunggu lama, Naya bergegas melakukan pekerjaannya. Berjalan menuju lift untuk pergi ke lantai tiga. Ia menunggu sejenak karena lift masih digunakan. Perhatian Naya teralihkan saat seseorang tiba-tiba berdiri di sebelahnya. Naya terkejut karena saat ini Alessa menoleh dan tersenyum kepadanya. Kecantikan wanita itu benar-benar sulit untuk didiskripsikan dengan kata-kata. Terlalu sempurna jika mendapat perlakuan buruk dari Sakha. Naya mengangguk pelan dan membalas senyuman wanita itu. Tidak lama pintu lift terbuka. Naya membiarkan Alessa masuk lebih dulu lalu ia mengekori dan berdiri di sudut belakang. Dari tempatnya, diam-diam Naya memperhatikan sosok wanita di hadapannya. Mengenakan dress berwarna merah maroon dan heels hitam yang cukup tinggi menopang kakinya yang jenjang. Sempurna sekali sosok di hadapannya. “Mau ke lantai berapa?” tanya Alessa. “Oh, lantai tiga,” jawab Naya gugup. Suasana hening dan memang sepatutnya seperti itu mengingat mereka tidak saling kenal. Menatap sosok Alessa di hadapannya, hal ini mengingatkan Naya pada apa yang ia lakukan bersama Sakha. Dan lagi-lagi rasa bersalah itu muncul. Naya mengusap pelan lehernya. Dadanya seakan terasa sesak berada di lift yang sama dengan wanita itu. Untung saja tidak lama ia sampai di lantai tiga dan segera keluar dari sana. “Harusnya aku nggak melakukan ini. Alessa pasti sakit hati kalau tau aku jadi simpanan tunangannya,” batinnya. Setelah makan siang, Naya pergi membeli kopi yang ada di luar area gedung tempatnya bekerja. Menurut Julia, kopinya cukup enak dan bisa membantu menghilangkan kantuk. Naya tidak mungkin bekerja dalam keadaan menguap beberapa kali. Jika dilihat oleh tamu atau atasannya, bisa-bisa ia mendapat teguran. Begitu mendapatkan apa yang diinginkan, Naya segera kembali ke tempat kerjanya. Saat kakinya melangkah di halaman gedung, tanpa diduga ia bertemu dengan Sakha yang tengah berjalan dengan Alessa. Sejenak ia terkejut karena bertemu pandang dengan laki-laki itu. Langkah kakinya pun melambat. Namun saat Alessa menarik tangan Sakha dan bergelayut manja, Naya memalingkan wajah dan bersikap biasa saja sesuai dengan pesan yang dikatakan laki-laki itu. Naya kembali melangkah cepat. Namun karena sepatu yang dikenakan memiliki hak yang cukup tinggi, ia kehilangan keseimbangan. Naya jatuh di hadapan Sakha dan Alessa. Betapa siall dan menyedihkan kondisinya saat ini. Ditambah ice coffee yang ia beli juga tumpah tak bersisa. “Benar-benar memalukan,” gerutunya. “Kamu nggak apa-apa?” Naya mendongak dan melihat keberadaan Alessa bersama Sakha. “Enggak kok.” Tanpa pikir panjang, Naya beranjak dari posisinya. Selain rok yang dipakai kotor, kakinya juga terdapat lecet dan terasa sakit. Namun semua itu ia tahan. Rasa sakit tak sebanding dengan rasa malu karena jadi pusat perhatian orang di sekitar. “Lain kali, kalau nggak biasa pakai sepatu dengan hak tinggi, sebaiknya jangan dipaksa. Alih-alih penampilan jadi sempurna, kamu malah celaka,” ucap Alessa. Naya mengangguk dengan wajah terasa panas. Di hadapan Sakha, ia tidak ada apa-apanya dibanding Alessa. “Iya, terima kasih untuk sarannya.” Pasangan itu berlalu dari hadapan Naya. Ia masih berdiri di tempat semula, menatap dirinya yang sangat menyedihkan. Selain itu, Naya juga masih ingat jelas bagaimana tatapan dingin Sakha melihat keadaannya sekarang. “Memangnya aku berharap apa dari dia?” Naya tersenyum miris. “Aku Cuma wanita penghiibur saat dia bosan. Dan mungkin juga malu melihat kondisiku sekarang. Sadar diri Nayana, wanita seperti kamu nggak akan pantas ada di tempat spesial.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN