“Karyawan kamu lucu ya, Mas? Nggak bisa pakai sepatu dengan hak tinggi tetap dipaksa. Bikin malu sendiri kan jadinya.”
Sebuah kalimat remeh keluar dari bibir Alessa begitu sampai di tempat di mana mobilnya parkir. Sakha yang mendengar itu hanya tersenyum tipis tanpa ekspresi lain. Apa yang terjadi kepada Naya bukan jadi urusannya. Jelas saja, sebagai petinggi perusahaan, ia tidak mengurusi hal remeh tentang apa yang dipakai oleh karyawannya.
“Kamu harus jaga mata dan hati. Aku nggak mau kamu tergoda sama karyawan yang nggak ada valuenya. Entah Cuma buat main-main atau yang lain. Jangan buat harga diriku jatuh, Mas.”
Sakha menghela napas kemudiaan mengangguk pelan. “Aku terlalu sibuk, Sa.”
“Aku Cuma ingetin kamu, Mas.”
“Ya sudah, aku harus buru-buru ke ruangan. Kamu hati-hati di jalan, ya. Kabari kalau kamu sampai di tempat visit.”
Alessa mengangguk. “Iya Mas. Kalau misal aku lupa, kamu bisa hubungan Niklas atau Ita.”
“Oke.”
Setelah tunangannya pergi, Sakha berjalan untuk ruangan kerjanya. Beberapa mata tertuju kepadanya, setiap kali ia bersama dengan Alessa. Hal yang sudah biasa dan tidak terlalu memengaruhinya. Masih dalam batas wajar mengingat ia adalah presiden direktur yang dikenal sudah memiliki tunangan sempurna.
Langkah kaki Sakha tegas dengan mimik wajah dingin. Beberapa karyawan memberikan salam dan hanya dibalas senyum tipis. Begitu sampai di lobi, pendangan matanya tertuju pada meja resepsionis di mana posisi Naya berada. Ia kembali ingat apa yang menimpa wanita itu.
Sakha kembali melurukan pandangan matanya, mengabaikan pikiran tentang Naya. Bagaimanapun, ia tidak boleh terlibat interaksi berlebihan, sesuai dengan kesepakatan dengan wanita itu, terutama saat mereka ada di tempat kerja.
“Pak Ganesh, saya baru dapat email dan sudah saya forward ke email Anda,” ucap Darius begitu Sakha menjatuhkan b0kongnya di kursi kerja.
“Kapan di kirim?”
“Baru saja, Pak.”
Sakha mengangguk lalu tangannya terulur untuk membuka email dari laptop di hadapannya. Keningnya mengkerut dengan raut wajah yang serius. Tidak lama, salah satu sudut bibirnya terangkat, menampakkan senyum remeh.
“Apa Anda mau mengambil tindakan?” tanya Darius.
Sakha menggeleng. “Tidak. Belum saatnya, jadi cukup awasi saja.”
“Baik. Kalau begitu saya permisi dulu, Pak.
“Darius!”
Laki-laki itu berhenti di tempatnya. “Iya Pak?”
“Kamu tau nggak, Naya ke kantor naik apa?”
“Nayana?” Darius sedikit kaget sekaligus bingung. “Sepertinya naik kendaraan umur, Pak.”
“Dia bisa bawa mobil?”
“Kalau soal itu saya kurang tau. Biar saya tanyakan ke dia.”
Sakha mengibaskan tangannya. “Nggak usah. Kamu nggak perlu cari tau.”
“Oh, baik Pak Ganesh.”
Asisten Sakha melangkah menuju keluar dari ruang kerja bosnya. Namun tiba-tiba berhenti dengan wajah tiba-tiba tertunduk, seperti melihat sesuatu.
“Ada apa?” tanya Sakha yang sadar.
“Ada gelang, Pak.” Darius mengambilnya, kemudian memberikannya kepada Sakha. “Sepertinya punya tunangan Anda.”
Sakha memperhatikan gelang emas putih pemberiannya. “Iya, memang punya Alessa. Dia pasti nggak sadar kalau gelangnya lepas.”
Setelah Darius pergi dari ruangannya, Sakha duduk termenung sambil menatap layar laptop. Helaan napas panjang terdengar beberapa kali. Tangannya yang ada di atas meja mengepal sambil memegang gelang milik Alessa.
“Akan aku ikuti semua permainan ini,” gumamnya.
Sakha terkesiap ketika sekelebat bayangan Naya tiba-tiba muncul tanpa diduga. Suara dehaman pelan terdengar, demi menyamarkan rasa terkejut dan gugupnya. Siapa sangka saat segala benang kusut yang menjerat pikirannya, sosok wanita yang beberapa hari menghiasi malamnya, muncul begitu saja.
“Kenapa tiba-tiba ingat Naya? Apa karna rasa bersalahku waktu dia jatuh tadi?” Sakha menghela napas kasar. “Entahlah, aku nggak mau pusing karna hal ini.”
Setelah berkutat dengan pekerjaan dengan pikiran yang kacau, Sakha memutuskan untuk pulang. Waktu pulang sudah lewat satu jam dan suasana gedung AT sudah sepi. Hanya terlihat beberapa karyawan yang sedang lembur menyelesaikan tanggung jawab masing-masing.
Begitu Sakha keluar dari lift, langkah kakinya melambat. Ia melihat Naya berjalan menuju pintu keluar. Wanita itu berjalan dengan kaki yang tidak normal dan kemungkinan karena jatuh tadi siang.
“Apa kakinya separah itu?” gumam Sakha.
Sakha terus memperhatikan Naya dari kejauhan. Jalannya yang lamban, membuat laki-laki itu merasa gemas.
“Dia pulang sama siapa?”
Tidak lama, sebuah taksi online berhenti di depan Naya. Wanita itu masuk dan menghilang dari pandangan mata Sakha. Ada sedikit kelegaan yang dirasakan laki-laki itu karena Naya tidak harus berdiri lama dengan kondisi kaki yang tidak baik-baik saja.
Tujuan Sakha bukan pulang ke apartemen miliknya atau ke tempat Naya melainkan bertemu Alessa untuk mengembalikan gelang milik tunangannya itu. Awalnya Sakha tidak berencana pergi sekarang. Namun Alessa meminta Sakha segera membawakan benda yang terjatuh di ruang kerja Sakha.
“Aku nunggu kamu dari tadi.”
Alessa langsung melingkarkan kedua tangannya di leher Sakha begitu sampai di tempat tinggalnya. Tanpa memberikan kesempatan kepada laki-laki itu untuk sekadar membuka sepatu yang dipakai, Alessa mencium bibir Sakha penuh semangat. Seperti orang yang sudah lama tidak bertemu dengan hassrat yang menggebu. Sementara itu Sakha mencoba membalas, namun hanya sebentar dan segera mendorong lembut tubuh wanita itu.
“Aku haus, Sa,” ucapnya.
Raut wajah kecewa muncul di wajah Alessa karena ciumannya harus berakhir. “Tunggu, aku ambilkan.”
Sembari menunggu Alessa mengambil air, Sakha duduk di sofa. Ia mengusap bibirnya yang basah karena ciuman tunangannya.
“Kamu tidur di sini kan, Mas?” tanya Alessa setelah memberikan segelas air putih untuk Sakha.
“Lihat nanti saja. Aku capek karna kerjaan di kantor,” jawabnya lalu mulai meneguk air putih.
Alessa mengambil tempat di sisi Sakha. “Memangnya kalau nginep di sini kamu nggak bisa istirahat?”
Sakha tersenyum menatap tunangannya. “Kamu masih tanya? Tentu saja kita akan berakhir mandi dua kali.”
Mendengar itu, Alessa mengulum senyum. “Ya sudah, tapi temenin aku sampai tidur baru kamu boleh pergi.”
“Iya.”
“Oh iya, mana gelangnya?”
Sakha mengambil benda itu dari saku kemejanya. “Lain kali hati-hati. Untung jatuhnya di kantorku dan ketemu.”
“Maaf ya Mas, lain kali aku pasti hati-hati. Kalau gelang hadiah kamu hilang, aku pasti sedih banget.”
“Gimana visit tadi? Semuanya lancar?”
“Lancar kok. Yang punya butik suka sama cara kerjaku.”
“Baguslah. Kapan naik videonya?”
“Mungkin lusa,” jawabnya. “Ngomong-ngomong, Mas sudah makan malam?”
Sakha menggeleng. “Belum. Kamu gimana?”
“Belum juga. Gimana kalau pesan makanan biar bisa makan malam sama-sama?”
“Boleh. Tapi jangan yang jauh biar nggak terlalu lama.”
“Iya Mas Ganesh Sayang,” jawabnya manja.
Menu yang dipilih Alessa adalah sushi dari restoran kesukaannya. Sakha tidak bisa menginterupsi pilihan tunangannya agar tidak terjadi perdebatan. Untung lokasinya tidak terlalu jauh, sehingga tidak perlu menunggu lama.
“Aku lebih suka cabang yang satunya, Mas. Yang ini kayak ada yang kurang rasanya,” ucap Alessa.
“Rasanya sama aja, kok. Mungkin karna lapar,” ucap Sakha.
Alessa terkekeh pelan. “Satu yang aku syukuri kamu jadi pasanganku, Mas. Nggak picky eater dan mau makan menu pilihanku.”
“Yang penting makanannya layak di makan.”
Percakapan ini seketika membuat Sakha ingat dengan Naya. Pertama kali mencicipi masakan wanita itu, ia langsung suka. Meski sederhana dan bisa ia beli di tempat lain, Sakha sangat menghargai usaha Naya untuk menyenangkannya. Sementara wanita di hadapannya, lebih memilih lelah karena menjadi wanita karier dibanding harus menjadi ibu rumah tangga dan mengurus dapur. Akan tetapi Sakha tidak masalah dengan pilihan tunangannya yang nanti akan menjadi istrinya.
“Katanya mau tidur, tutup mata dong,” ucap Sakha sambil mengusap punggung Alessa yang ada dalam dekapannya.
“Masih usaha, Mas. Kamu capek ya peluk aku?”
“Enggak, Cuma tanganku pegal.”
Alessa berdecis lalu melepaskan diri dari dekapan laki-laki itu. “Kayaknya aku nggak bisa tidur cepat, Mas. Kalau Mas Ganesh mau pulang, nggak apa-apa kok.”
“Kenapa nggak bisa tidur?” tanya Sakha dengan kening mengkerut. “Ada yang lagi kamu pikirin?”
“Enggak kok. Cuma belum ngantuk.”
“Terus kalau aku pergi, kamu mau ngapain?”
“Paling edit konten sambil nunggu ngantuk.”
Sakha mengangguk pelan. “Oh. Ya sudah, kalau begitu aku pulang sekarang,”
“Biar aku antar sampai depan.”
Sebelum Sakha pergi, seperti biasa Alessa memberi pelukan yang cukup lama. Setelah itu, diakhiri dengan ciuman. Namun kali ini Sakha hanya memberi kecupan singkat yang berakibat mendapatkan protes dari wanita itu.
“Kenapa nggak mau aku cium lama?” tanya Alessa dengan bibir mengerucut.
“Baru selesai makan, rasanya nggak nyaman ciuman.”
“Maksudnya mulutku bau?”
Sakha mengusap pucuk kepala wanita itu. “Bukan, tapi aku.”
“Biasanya juga nggak masalah,” gerutu Alessa. “Ya sudah, hati-hati di jalan ya, Mas. Jangan lupa kasih kabar kalau sudah sampai.”
“Iya. Good night, Sayang.”
“Good night, too, Mas.”
***
Mobil yang Sakha kemudikan melaju melintasi jalanan Jakarta yang padat. Tujuannya bukan ke arah apartemen yang selama ini ia tinggali. Sakha justru pulang ke tempat di mana Naya tinggal. Entah kenapa, pikirannya terus tersita oleh wanita itu, hingga membuatnya lebih memilih meninggalkan Alessa meski wanita itu ingin agar ia menginap di sana.
Sesampainya di apartemen, Sakha mendapati lampu ruang tamu masih menyala padahal sudah hampir jam 11 malam. Ia masuk tanpa mengeluarkan suara. Yang pertama ia lihat adalah sosok Naya tengah tertidur dengan posisi meringkuk di atas sofa. Wajahnya nampak lugu dan polos.
Sakha berjongkok di sisi sofa, menatap Naya yang nampak tertidur dengan lelap. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya terangkat dan jari tangannya merapikan anak rambut yang menutipi area wajah Naya.
“Kenapa dia tidur di sini?”
Lama Sakha memperhatikan Naya. Ia bukan kali pertama melihat wanita ini tidur, namun entah kenapa ia merasa betah. Wajahnya teduh, seperti anak baik-baik. Sangat disayangkan harus mengambil jalan pintas demi mendapatkan uang.
“Kalau kamu nggak kertemu aku, apa kamu masih bisa tidur setenang ini?”
Setelah puas menatap Naya, Sakha membawa wanita itu dalam kamar miliknya dengan cara di gendong ala bridal style. Membaringkan dengan hati-hati agar tidak bangun. Setelah itu, Sakha pergi ke dapur untuk mengambil air minum sebelum nanti membersihkan diri.
“Dia masak semua ini buat aku?” Sakha kaget ada makanan tersaji di meja makan. “Jangan-jangan dia ketiduran di sofa karna nunggu aku datang. Dan aku yakin dia pasti belum makan.”
Merasa kasihan dengan makanan yang belum tersentuh, Sakha berinisiatif menyimpannya di dalam kulkas. Ada perasaan bersalah karena datang terlambat tanpa pemberitahuan sehingga membuat Naya menunggu hingga ketiduran.
“Padahal kamu bisa aja makan duluan, tapi kenapa harus nunggu aku datang.”
Setelah selesai mandi, Sakha langsung menyusul Naya ke tempat tidur. Masuk dalam selimut yang sama, lalu tidur dengan posisi menatap wajah wanita itu.
“Kita belum lama kenal, tapi aku penasaran, apa kamu tersiksa jadi wanita simpananku?”
Segala tanpa tanya bersarang di kepala Sakha namun belum bisa menemukan jawabannya. Selama ini, ia sulit memiliki hubungan yang lama, kecuali dengan Alessa hingga mereka bisa bertunangan. Sakha merasa susah dan sulit menemukan wanita yang cocok dan membuatnya nyaman. Namun dengan Nayana Ranupatna, dengan mudahnya ia berbagi ranjang yang sama.
Sakha menarik tubuh Naya, lalu mendekapnya dalam posisi tidur. Menghirup aroma tubuh wanita itu dalam-dalam, yang membuat indra penciumannya terasa nyaman.
“Sepertinya aku harus hati-hati. Kalau tidak, kamu bisa saja masuk semakin jauh ke dalam hidupku,” ucapnya yang diakhiri dengan kecupan lembut pada kening Naya.