Rasa hangat yang mendekap tubuhnya membuat Naya nyaman diposisinya saat ini. Matanya enggan terbuka, tidak rela tidurnya berakhir begitu cepat. Kenyamanan yang sulit ia dapatkan ketika tidur. Namun, saat indera penciumannya menangkap aroma yang tidak familier. Perlahan Naya membuka matanya dan mendapati tubuh besar berbaring di sisinya. Kedua matanya membola, sadar karena tangannya berada di pinggang Sakha.
“Sa – Sakha?”
“Akhirnya bangun juga,” gumam Sakha dengan mata masih tertutup.
Naya menarik tangannya, sedikit menjauh dari sosok laki-laki itu. “Kenapa kamu di sini?”
Sakha membuka mata, lalu beranjak dari posisi tidur. Tidak hanya itu, laki-laki itu meregangkan tangannya dengan kening mengkerut, seakan merasakan pegal.
“Kamu sadar barusan nanya apa?”
“Nanya apa?” Naya mulai bingung sekaligus panik. “Oh, maaf. Saya yang salah, harusnya saya nggak tidur di sini. Sekarang saya pergi,” ucapnya.
Melihat tingkah Naya, Sakha tersenyum tipis. Wajah panik dan juga ketakutan menjadi satu, membuatnya nampak sangat konyol. Setidaknya ia bisa lupa dengan tangannya yang pegal akibat tertindih kepala wanita itu dengan hiburan saat ini.
“Sekali lagi saya minta maaf.”
Naya yang tidak berpikir jernih, bukanya turun dari sisi tempat tidur yang satu, justru dengan polosnya melawati tubuh Sakha. Kakinya dengan cepat menapak di lantai demi bisa seghera kabur. Akan tetapi tidak lama wanita itu mengaduh dengan tubuh yang tidak seimbang. Ya, Naya lupa dengan kakinya yang sedang sakit akibat insiden jatuh di depan Sakha dan Alessa kemarin siang.
Tubuh wanita itu jatuh dengan posisi menengadah di pundak Sakha. Terdiam beberapa saat untuk mencerna semua yang terjadi. Menahan sakit sekaligus malu karena lagi dan lagi membuat kekacauan.
“Ma – maaf, Sakha,” gumam Naya tanpa tenaga.
Sakha segera mengubah posisinya dan kini sedang berada di sisi Naya dengan wajah menatap wanita itu. “Kaki kamu sakit?”
“Iya.”
“Karena jatuh kemarin?”
Naya mengangguk pelan sambil menggigit bibir bagian bawah karena gugup. Bahkan sejenak menahan napas karena berada dalam posisi yang cukup dekat dengan Sakha.
“Sudah tau sakit tapi nggak hati-hati. Kamu benar-benar ceroboh,” gerutu Sakha.
“Saya lupa, bukan sengaja, Sakha.”
Naya masih terdiam di tempatnya ketika Sakha bergerak dan meninggalkan tempat tidur. Ia takut melakukan kekonyolan yang semakin membuat laki-laki itu kesal.
Rasa malu yang Naya rasakan belum berakhir sampai di sana saja. Tiba-tiba terdengar suara yang berasal dari perutnya. Wanita itu langsung menutup mata karena sudah tidak sanggup lagi melihat reaksi Sakha.
“Perutmu perlu diisi,” ucap Sakha sambil menahan senyum.
“Iya, saya lapar.”
“Biar saya bantu kamu bangun,” ucap Sakha dan langsung menggendong tubuh mungil Naya.
“Nggak usah, Sakha. Saya masih bisa jalan sendiri, kok,” tolak Naya semampunya.
“Kalau ada yang bantu, terima saja, jangan banyak protes.”
Mendengar itu, nyali Naya langsung ciut dan bibirnya menutup dan berani bersuara lagi. Tangannya melingkar tanpa permisi di leher Sakha demi menjaga keseimbangan saat digendong ala bridal style.
Naya membatin saat melihat wajah Sakha sedekat ini dengan pikiran yang benar-benar waras. Ia tidak menyangka akan terlibat hubungan berbahaya dengan sosok setampan Ganesha Sakha Ariotedjo.
“Turunin di sofa aja,” gumam Naya malu-malu.
Perlahan Sakha menurunkan Naya di sofa. Laki-laki itu tidak langsung pergi tapi tetap berdiri di hadapan Naya sambil menatap wajah wanita itu.
“Sebaiknya ke dokter, periksa kaki kamu.”
“Nggak usah, sudah dikasih obat kok.”
Sakha merjongkok di hadapan Naya lalu memegang kaki wanita itu. Sontak sikapnya ini membuat Naya canggung dan berusaha menghindar.
“Coba saya lihat.”
“Jangan! Kaki saya nggak apa-apa kok. Tadi Cuma kaget, makanya jatuh.”
Laki-laki itu berdecak dengan sorot mata kesal. Tangannya tetap meraba pergelangan kaki Naya untuk memastikan apakah bengkak atau tidak.
“Lain kali pakai sepatu yang nyaman, jangan buat susah diri sendiri.” Sakha kembali berdiri. “Apa uang dari saya kurang untuk beli sepatu yang nyaman?”
“Enggak kok, Cuma sayang sepatu masih bagus tapi nggak dipakai.”
“Kamu sengaja pakai sepatu model begitu biar dapat perhatian karyawan laki-laki?”
Kening Naya mengkerut dengan ekspresi wajah bingung. “Ya enggaklah. Saya pakai itu karna itu yang saya punya. Lagian kalau mau narik perhatian lawan jenis apa salahnya.”
“Kamu lupa kalau tubuh dan hidup kamu milik saya?”
Naya berdeham dan tidak mau membalas tatapan tajam Sakha. “Saya nggak lupa kok. Tapi tetap saja semua tuduhan kamu nggak benar.”
Suasana mendadak menjadi canggung. Sakha masih berdiri tanpa mengalihkan pandangan dari Naya. Sementara wanita itu tertunduk sambil memainkan jari-jari tangannya.
“Semalam kamu nggak makan ya, makanya pagi-pagi sudah lapar?”
“Saya nungguin kamu.”
“Lain kali nggak perlu nunggu saya. Kalau kamu lapar, makan saja.” Sakha mengambil tempat di sisi Naya. “Saya juga belum tentu datang atau makan di sini, jadi jangan melakukan hal yang sia-sia,” sambungnya.
Naya memberanikan diri mengangkat wajah lalu menatap Sakha yang duduk di sampingnya. “Kamu sendiri yang bilang datang tiap malam terus saya harus siapin makan malam. Kalau gitu, lain kali kasih kabar biar saya nggak serba salah.”
“Kamu nggak punya hak ngatur saya, Naya. Sekarang sudah saya kasih tau, seharusnya kamu paham tanpa protes,” ucap Sakha dingin.
“I – iya, saya minta maaf.”
Sakha beranjak dari duduknya dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana. “Saya harus pergi sekarang.”
“Kamu nggak mandi dulu atau sarapan di sini?”
“Saya ada janji dengan orang tua saya.”
Naya pun mengangguk pelan. “Oh, baik.”
Begitu Sakha pergi dari apartemen, Naya ingin melihat keadaan meja makan sekaligus sarapan. Ia cukup kaget melihat kondisi meja yang bersih dan rapi. Lantas ia membuka kulkas dan melihat menu semalam yang sudah tertata rapi di dalam sana. Apa yang Sakha lakukan membuat hatinya menghangat.
“Terima kasih, Sakha. Walaupun aku belum tau banyak tentang kamu, tapi satu hal yang aku sadari. Kamu laki-laki baik yang nggak pernah memandang rendah orang sepertiku.”
***
“Nay, kayaknya kaki kamu perlu dibawa ke dokter, deh. Takutnya malah makin parah terus susah jalan.”
Naya meneguk es teh yang menjadi teman makan siang di kantin perusahaan. “Besok juga sembuh kok. Lagian kakiku nggak bengkak, Cuma sakit sedikit.”
“Tapi jalan kamu pincang. Kalau Bu Ara tau kamu nggak dokter, yang ada kamu kena tegur. Kamu tau sendiri Bu Ara tegasnya kayak gimana. Apalagi kamu kerja di posisi yang juga mementingkan penampilan.”
“Makasih sudah ingetin aku, Lia. Nanti aku pikir-pikir dulu.”
Naya dan Julia kembali menikmati makan siang yang sudah habis setengah porsi. Ponsel milik Naya yang ada di atas meja berdenting singkat. Dengan santai ia melihat pesan masuk yang ternyata dari Darius. Mendadak Naya tegang karena tidak menyangka asisten Sakha mengirim pesan kepadanya.
“Siapa Nay? Serius banget.”
“Enggak kok. Cuma pesan dari teman lama.”
“Oh …”
Pesan dari Darius terus terngiang bahkan sampai Naya menyelesaikan pekerjaan. Tidak disangka Sakha akan memberi perintah disaat ia menolak saran dari laki-laki itu. Bukan hanya Julia yang khawatir mengenai kondisi kakinya, tapi Sakha juga sama sampai harus mengirim Darius untuk mengantar ke dokter.
“Apa nggak masalah kita satu mobil? Saya takut ada yang lihat kita,” ucap Naya yang kini ada di mobil yang sama dengan asisten Sakha. “Saya bisa aja naik taksi terus ketemu di tempat tujuan.”
“Nggak apa-apa. Paling mereka mikir kamu ada hubungan sama saya.”
Naya terkekeh pelan. “Itu lebih baik daripada mereka tau saya dan Pak Sakha ada main di belakang.”
“Saya boleh kasih kamu saran?”
“Saran?”
“Iya, tapi mungkin bisa bikin saya dipecat sama Pak Ganesha kalau kamu ngadu.”
Ucapan Darius buat Naya penasaran. “Ngadu? Memangnya saran apa?”
“Jangan sampai kamu terbawa perasaan atas semua sikap baik Pak Ganesha. Sejak dulu beliau memang terkenal baik. Jadi kalau kamu merasa diperlakukan layak padahal kamu hanya wanita simpanan, saya harap kamu sadar diri demi kebaikan kamu, Naya,” jelas Darius yang tetap fokus mengemudi.
Seperti mendapatkan sebuah tamparan yang keras di wajahnya, Naya dipaksa sadar akan posisinya saat ini. Benar apa yang dikatakan Darius, ia Cuma itik buruk rupa yang bermimpi menjadi angsa cantik yang mendapatkan kehidupan layak. Pada kenyataannya, ia hanya wanita yang diperlukan saat malam dingin mulai nampak.
“Tolong jangan tersinggung. Saya tidak ada niat memandang rendah kamu, saya Cuma nggak mau kamu semakin dalam terluka karena jalan yang kamu pilih.”
Naya tertunduk dengan senyum miris terbentuk di wajahnya. “Nggak apa-apa, Mas Darius. Saya tau diri kok kalau saya ini nggak akan pernah ada harganya bagi Pak Sakha. Tapi memang bukan itu tujuan saya menerima tawaran beliau. Saya butuh uang dan Pak Sakha memberikannya. Hubungan kami hanya sebatas itu.”
Darius mengantar Naya pulang ke apartemen setelah selesai memeriksakan kondisi kakinya. Untung saja firasat wanita itu benar mengenai kakinya. Tidak ada luka atau cedera serius. Hanya terkilir dan dalam kategori ringan sehingga tidak perlu penanganan khusus.
“Sekali lagi terima kasih ya Mas sudah antar saya ke dokter.”
“Kamu harus bilang itu ke Pak Ganesha. Saya bertindak sesuai perintah beliau.”
Naya mengangguk. “Kalau Pak Sakha ke sini, saya pasti bilang kok. Selain itu, saya nggak mungkin menghubungi atau ngomong langsung saat di kantor.”
“Saya suka kamu bertindak hati-hati. Semoga semuanya berjalan sesuai rencana dan posisi kamu tetap aman,” ucap Darius.
“Iya Mas.”
Sesampainya di unit apartemen, Naya segera melihat ponselnya. Tidak ada pesan dari Sakha mengenai malam ini apakah akan datang atau tidak. Ia pun tidak mungkin menghubungi lebih dulu yang bisa saja menyebabkan masalah.
“Nggak ada salahnya aku masak. Bukan Cuma buat dia, tapi aku juga perlu makan,” gumam Naya.
Meski tidak tahu apakah Sakha datang atau tidak, Naya tetap berkutat di dapur. Membuat menu makan malam yang sederhana mengingat dokter menyarankan agar tidak banyak bergerak agar kakinya cepat pulih.
Selesai masak, Naya pergi mandi. Hati kecilnya berharap Sakha datang. Ia ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan yang diberikan lewat Darius. Namun sayang, selesai mandi pun tidak ada tanda-tanda akan kemunculan laki-laki itu.
Naya duduk di sofa sambil mengulas senyum tipis. Tangannya memegang ponsel yang tidak ada pesan atau telepon masuk. Seketika ia ingat apa yang Darius katakan kepadanya, menyebabkan hatinya seperti dicubit.
“Aku …aku Cuma Nayana. Mau berharap apa dari sosok besar seperti Sakha?” Naya berdecis kesal kepada dirinya sendiri. Ia menggelengkan kepala agar sadar diri. “Jangan lupa diri Naya, tujuanmu hanya uang, itu saja.”