Entah sudah berapa kali pandangan mata Naya tertuju pada pintu lobi gedung AT untuk melihat kedatangan Sakha. Mencoba untuk bersikap sewajar mungkin demi tidak dipandang curiga oleh rekan kerjanya terutama Julia. Nemun hingga waktu menunjukkan pukul 11 siang, Sakha belum juga menunjukkan batang hidungnya. Naya berpikir apakah ia sudah melewatkan kedatangan laki-laki itu padahal sudah standby tanpa jeda.
“Nay, aku ke ruangan Pak Ganesha dulu, ya.”
“Aku aja yang bawa, Lia. Tadi kan ada surat buat divisi keuangan yang belum aku bawa.”
Julia terdiam lalu mengangguk. “Oh iya, aku lupa. Ya sudah, buruan bawa ke sana. Takutnya surat penting, biar kita nggak kena masalah.”
“Oke.”
Bukan tanpa tujuan Naya mengambil alih tugas Julia, ia ingin tahu apakah Sakha ada di kantor atau tidak. Jika laki-laki itu ada di ruangannya, maka Naya punya kesempatan untuk kirim pesan tanpa takut ketahuan oleh tunangan bosnya. Mungkin terkesan berlebihan tetapi Naya terlalu banyak menerima kebaikan dari Sakha hingga membuatnya merasa tidak enak.
“Apa aku tanya sama Mas Darius aja, ya. Kalau nanya sama sekretarisnya Pak Sakha, takut nanti curiga,” gumamnya di dalam lift.
Begitu suara lift berbunyi, Naya langsung melangkahkan kakinya keluar. Wajahnya tertunduk melihat surat yang akan diserahkan ke bagaian divisi keuangan, sehingga tidak melihat siapa yang ada di depannya. Kecerobohannya itu membuat tubuhnya menabrak sosok laki-laki hingga nyaris terpental. Untung saja tangannya segera ditahan sehingga tubuhnya tetap tegak.
“Kamu nggak apa-apa?”
Wajah Naya kaget sekaligus panik. Matanya perlahan menatap sosok yang sudah membantunya agar terhindari dari cedera sekaligus rasa malu.
“Ada yang sakit?” tanya laki-laki dengan penampilan rapi dan juga berwibawa. Perlahan membantu Naya kembali tegas ke posisinya.
Naya menggeleng kaku. “Enggak Pak. Sa – saya baik-baik saja berkat pertolongan Bapak,” ucapnya gugup. “Oh iya, saya minta maaf karna kurang hati-hati, Pak.”
Laki-laki itu berdecak dengan menyipitkan mata. “Tua sekali dipanggil Pak.”
“Ya?” gumam Naya bingung.
“Lupakan. Syukurlah kamu baik-baik saja.”
“Kalau begitu saya permisi dulu, Pak,” ucap Naya masih dengan ruat wajah gugup.
Sepanjang jalan menuju ruang divisi keuangan, Naya meruntuki kecerobohannya yang sering membuat orang lain susah sekaligus dirinya sendiri malu. Tentu saja itu bukan hal yang disengaja. Ia tidak sebod0h itu melakukan sesuatu demi mendapatkan perhatian.
Setelah menyampaikan beberapa surat ke divisi keuangan, Naya melanjutkan tujuannya pergi ke ruang kerja Sakha. Ada di lantai yang berbeda sehingga ia kembali naik lift menuju sana.
“Ketemu lagi.”
Naya kaget melihat laki-laki barusan keluar dari lift. “Iya Pak.”
“Kamu karyawan di sini, kan?” Pandangan mata laki-laki itu tertuju pada ID card yang Naya pakai. “Naya?”
“Iya, saya Naya bagian front office.”
“Oh, saya Arden” balas pria itu sambil mengulurkan tangan. “Dari divisi keuangan.”
Naya pun turut menyambut tangan Rama. “Maaf Pak Arden, saya harus buru-buru.”
“Baiklah. Jangan lupa hati-hati biar nggak nabrak lagi.”
“Baik Pak, terima kasih.”
Ketika pintu lift mulai tertutup, senyum dari Arden masih bisa Naya lihat. Seseorang yang baru ia kenal namun begitu ramah. Dan ini kali pertama ia mengetahui karyawan bernama Arden karena terlalu banyak pekerja di sini yang tidak mungkin ia ingat semuanya.
“Dia karyawan biasa atau punya jawabatan tinggi, ya?” Naya berpikir serius. “Kalau dari penampilannya, nggak mungkin Cuma karyawan biasa di divisi keuangan. Semoga saja dugaanku salah,” gumamnya.
Sesampainya di ruang kerja presiden direktur, Naya bertemu dengan seorang wanita yang memiliki jabatan sebagai sekretaris Sakha. Berpenampilan rapi dan juga penarik. Sama seperti Darius, tampan dan juga pintar. Orang-orang yang berada di sisi Sakha bukan sosok yang biasa saja.
“Selamat siang Mbak, ada surat untuk presiden direktur.”
“Baik, terima kasih,” ucap wanita itu. Lalu melihat beberapa surat yang Naya berikan. “Sepertinya besok baru bisa diserahkan ke Pak Ganesha,” gumamnya.
Naya mendengar lalu berdeham pelan. “Pak Ganesha lagi nggak di tempat ya, Mbak?”
“Iya. Beliau lagi ke Bandung buat cek proyek.”
“Oh. Ya sudah, saya permisi dulu ya, Mbak.”
“Silakan.”
Akhirnya Naya tahu mengenai posisi Sakha yang sejak tadi ditunggu. Ternyata laki-laki itu memang tidak ada di kantor karena tugas keluar kota.
“Sebaiknya jangan ganggu Pak Sakha. Aku nggak mau dia marah.”
***
Naya sedang duduk di meja makan, menikamti menu makan malam seorang diri. Mengingat Sakha sedang keluar kota, jadi sudah pasti laki-laki itu tidak akan datang malam ini. Ada rasa sepi yang Naya rasakan. Entah kenapa sekeping rindu menyusup di dalam hatinya karena sejak kemarin tidak Sakha tidak datang ke apartemen.
“Jangan gila, Naya. Siapa kamu boleh kangen sama Pak Sakha,” ucapnya mengingatkan diri sendiri.
Selesai makan malam, Naya membereskan semua peralatan makan dan membersihkan dapur. Sebisa mungkin tempat ini selalu dalam keadaan bersih dan rapi. Ia tidak mau mendapatkan keluhan dari Sakha yang sudah memberikan tempat mewah untuknya.
Saat Naya akan pergi ke kamar, tiba-tiba ponsel dalam genggaman tangannya mengelurkan suara notifikasi. Ia membuka dengan santai karena pengirimnya adalah Julia. Namun saat membaca pesan itu, kedua matanya membola dengan raut wajah terkejut. Naya kembali membaca, berharap apa yang rekan kerjanya sampaikan salah.
“Pak Sakha kecelakaan?”
Seketika tubuh Naya lemas dan tangannya gemetar memegang ponsel. Ia kembali menyalakan lampu ruang tamu lalu duduk di lantai, bersandar pada sofa. Seakan otaknya tidak mampu berpikir dengan jernih bahkan untuk membalas dan memastikan lagi kebar itu belum bisa.
“Ya Tuhan, apa berita ini benar?” gumamnya panik.
Naya mencoba tenang lalu menghubungi Julia. Ia tidak akrab dengan rekan kerja yang lain, sehingga hanya Julia sebagai sumber informasi baginya. Namun ia harus tetap tenang dan tidak mencolok agar rekannya itu tidak berpikir aneh.
“Ha – halo Julia.”
“Iya Nay?”
“Itu, soal berita Pak Sakha, eh maksudku Pak Ganesha. Kamu tau darimana, Lia? Di grup kok nggak ada?” tanya Naya.
“Oh, aku dikasih tau sama temen di divisi marketing. Katanya dia dikasih tau rekan yang lain tapi nggak jelas siapa yang dimaksud. Oh iya, kamu jangan sebar berita ini ya biar nggak heboh. Ini juga masih simpang siur. Semoga aja nggak bener.”
Jantung Naya semakin berdegup kencang dan berharap sama dengan Julia. “Jadi mobilnya kecelakaan di tol?”
“Katanya sih begitu, Nay. Tapi entahlah, aku jadi cemas. Kasihan kalau beneran kecelakaan dan nggak tau kondisinya.”
“Kita doakan semoga Pak Ganesha dan rombongan nggak kenapa-kenapa.”
“Amin. Nay, aku mau ke toilet dulu.”
“Oh oke, sorry ganggu.”
“Nggak apa-apa. Lagian aku yang kasih info duluan, wajar kamu penasaran.”
Setelah menghubungi Julia, bukannya semakin tenang, Naya justru merasa semakin cemas. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana kondisi Sakha.
“Ya Tuhan, semoga dia baik-baik aja. Aku – aku benar-benar takut,” gumam Naya dengan kedua mata basah.
Berita kecelakaan sangat membuat Naya trauma. Orang tuanya meninggal karena kejadian ini. Itu sebabnya ia harus tinggal dan dibesarkan oleh saudara ayahnya yaitu pamannya yang sebelumnya terlilit hutang hingga membuatnya memilih menjadi simpanan. Sekarang Sakha mengalami hal yang sama tanpa tahu bagaimana keadaan laki-laki itu.
“Aku coba kirim pesan ke Mas Darius. Semoga dia juga baik-baik aja dan bisa kasih kabar soal Pak Sakha.”
Begitu selesai mengirim pesan kepada asisten Sakha yang juga ikut ke Bandung, Naya beranjak dari lantai lalu meringkuk di sofa. Ia tidak jadi masuk ke kamar karena yakin tidak akan bisa tidur. Ponsel masih terus dalam genggaman tangan, berharap segera mendapatkan kabar.
Pikiran buruk terus menghantui Naya. Air matanya akhirnya jatuh juga. Meski hubungannya dengan Sakha hanya sebatas saling menguntungkan, tetap saja ia memiliki rasa peduli. Setelah lelah berpikir dan juga menangis, perlahan Naya tertidur dalam posisi masih meringkuk di sofa.
“Sakha,” gumam wanita itu dalam tidurnya dengan ruat wajah khawatir.
Naya merasa tubuhnya bergerak lembut. Pucuk kepalanya seperti ada yang membelai. Perlahan ia membuka mata untuk mencari tahu apa yang terjadi. Dengan kesadaran yang belum sempurna, matanya terbelalak dengan ekspresi kaget.
“Kenapa tidur di sini lagi?”
“Sa – Sakha?” Naya melonjak dari posisi tidur. Ia berdiri mengikuti apa yang Sakha lakukan setelah sebelumnya berlutut di sisinya.
“Kenapa kaget?”
Tanpa menjawab, Naya langsung menghamburkan pelukan ke arah Sakha. Seakan ingin menunjukkan betapa leganya bisa melihat sosok yang membuatnya sangat khawatir. Tidak peduli apakah ini mimpi atau nyata. Yang jelas, Naya ingin meluapkan segala kecemasannya.
“Saya benar-benar takut, Sakha. Takut terjadi hal buruk sama kamu,” ucapnya pedih.