10. Hukuman dari Daffian

1021 Kata
Pagi hari ini di kantor, Marsel kembali bertemu dengan Daffian. Jabatan sang adik lebih tinggi daripada Daffian, tapi sebagai kakak Daffian seolah tidak mau mengakuinya. Daffian melewati Marsel begitu saja tanpa menyapa sama sekali seolah tidak melihatnya. Beberapa karyawan pun menyoroti sikap Daffian. Meski begitu, Marsel sama sekali tidak keberatan jika kakaknya bersikap seperti itu. "Pantas saja Pak Bastian lebih memilih mempromosikan Pak Marsel, memang sikap Pak Daffian dari dulu seperti itu." "Sudah lima tahun Pak Daffian di sini, tapi sikapnya masih saja angkuh tidak ada perubahan." "Aku juga lebih suka Pak Marsel daripada Pak Daffian." Kurang lebih komentar-komentar seperti itu yang dilontarkan beberapa karyawan perusahaan mengenai Daffian dan Marsel. Tok tok! Pintu ruang kerjanya diketuk, dan Marsel mempersilahkan untuk masuk. Ternyata kakaknya yang muncul membawa beberapa dokumen. "Baru satu tahun di sini, kamu sudah banyak sekutu rupanya." Daffian menyerahkan dokumen yang perlu ditandatangani dengan sedikit dilempar ke meja Marsel. "Apa maksud Kakak?" tanya Marsel, tidak mengerti apa yang Daffian maksud. "Lihat saja nanti, perusahaan ayah akan jadi milikku. Sudah sepantasnya aku mendapatkannya karena aku anak sulung." Jawaban Daffian tidak menjawab pertanyaan Marsel. Pria bermata tajam itu tiba-tiba kembali mengambil dokumen yang sudah Marsel tanda tangani dengan kasar. Sedangkan Marsel hanya bisa menatap punggung kakaknya yang sudah berbalik dan berjalan keluar ruangan. *** Alisha mendapatkan izin untuk keluar rumah oleh Daffian. Jika ia pikir-pikir lagi, sepertinya sang suami akan memberi kelonggaran jika Alisha bersikap menurut dan tidak membantah. Setidaknya beberapa hari ini Alisha tidak memancing emosi Daffian dan suaminya itu tidak melakukan kekerasan fisik terhadapnya. Meski hanya pergi ke minimarket dekat kawasan rumahnya, itu sudah membuat Alisha senang. Setidaknya dia bisa menghirup udara luar, bukan terus terkurung di dalam rumah. Saking senangnya melihat-lihat camilan yang ada di rak minimarket, Alisha sampai tidak sadar menabrak seseorang yang juga sedang berdiri memilih belanjaan. "Eh, maaf." Alisha buru-buru meminta maaf, dia melihat sekilas pria yang ditabraknya tanpa sengaja itu. "Kamu ...." Pria itu menatap Alisha cukup lama, tapi membuat Alisha buru-buru pergi karena takut bertemu pria tidak dikenal. "Maaf, ya." Setelah meminta maaf sekali lagi, Alisha langsung berjalan menuju kasir untuk membayar belanjaannya. "Padahal aku belum selesai memilih, tapi gara-gara pria itu aku jadi takut." Alisha bergumam sepanjang jalan kembali ke rumah. Mungkin dia semacam memiliki trauma gara-gara sikap kasar Daffian selama menikah. Alisha jadi takut jika bertemu pria asing. Apalagi pria tadi menatap Alisha begitu intens, seolah mengenal atau mungkin pernah melihat Alisha. Ternyata keterkejutan Alisha belum selesai, sebuah mobil hitam tiba-tiba berhenti di depannya. Ternyata pria yang tadi di minimarket turun dari mobil itu dan menghampiri Alisha. "Maaf aku mengagetkanmu," katanya. Alisha langsung bersikap waspada. Pria asing itu tiba-tiba menghadang jalannya, tentu saja dia kaget dan menatap penuh heran. "Anda siapa? Kenapa Anda mengikuti saya? Bukankah saya sudah minta maaf?" Alisha memeluk belanjaannya, bukan karena dia takut belanjaannya direbut. Tapi setidaknya bisa dia jadikan senjata untuk memukul pria di depannya jika macam-macam. "Saya--" "Alisha ...!" Suara Daffian membuat Alisha dan pria asing itu menoleh bersamaan. Pria asing itu tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Ternyata Daffian baru saja pulang kerja dan hendak pulang ke rumah, namun dia melihat istrinya di pinggir jalan berdiri dengan seorang pria. "Sedang apa kamu di sini?!" tanya Daffian, dengan nada meninggi. Dia juga menatap pria di depan Alisha dari atas hingga bawah. "Dan siapa dia?" Rasa takut kembali menyelimuti Alisha, padahal beberapa hari ini rasanya sudah damai, kenapa ada saja masalah yang membuat Daffian murka. "A-aku tidak tahu, Mas." Alisha tidak berbohong, dia memang tidak tahu siapa pria asing itu. "Kamu siapa? Kenapa berdiri di pinggir jalan dengan istriku?" Daffian bertanya pada pria di depannya. "Maaf, sepertinya saya salah orang." Pria itu melihat ketakutan di wajah Alisha, dan merasa ini semua karenanya. "Saya permisi." "Bagus ya kamu, aku izinkan keluar rumah malah bertemu dengan pria lain?! Masuk ke mobil sekarang!" Daffian kembali memperlakukan Alisha dengan kasar. Tangan pria itu menarik Alisha untuk segera masuk ke dalam mobil, tanpa memperdulikan Alisha yang meringis kesakitan. Sedangkan pria asing itu melihat semuanya lewat spion mobilnya. Dia hanya bisa mengepalkan tangan melihat Alisha diperlakukan kasar oleh suaminya. Sesampainya di rumah Alisha didorong hingga tersungkur ke lantai dan belanjaannya jatuh berserakan. "Setelah Marsel, lalu sekarang kamu mencari pria lain hah?!" "Mas, aku sungguh tidak tahu siapa dia. Tiba-tiba mobilnya berhenti dan dia menghadangku!" Tapi Daffian terlihat tidak mempercayai Alisha. Dia menggendong Alisha dan menjatuhkannya di sofa. "Mas, kamu mau apa?! Tolong! Tolong!" Alisha hendak kabur ketika Daffian dengan cepat membuka jas dan kemejanya, namun tangannya kembali ditarik Daffian dan dijatuhkan ke sofa lagi. "Mas, ampun! Aku memang tidak tahu siapa dia! Mas Daffian!" Tanpa menghiraukan Alisha yang memohon, Daffian langsung mencium bibir istrinya itu dengan kasar. Sedangkan Alisha sekuat tenaga mendorong Daffian agar melepaskannya. Tangan Daffian sudah kemana-mana, meski dia berhak atas Alisha, tapi sekali lagi Alisha tidak mau dengan cara seperti ini. Alisha ingin Daffian bersikap lembut terhadapnya. Air mata sudah kembali mengalir, padahal Alisha pikir dia tidak akan menangis lagi. Kancing kemeja Alisha sudah terlepas beberapa, Daffian juga memberikan tanda kepemilikan di leher Alisha. "Mas, cukup ... berhenti ... aku minta maaf," lirih Alisha. Padahal dia tidak tahu apa salahnya. Bahkan ini memang bukan salahnya, pria itu yang menghampiri Alisha. Bahkan mereka belum mengobrol dengan jelas. "Aku tidak suka kamu bersama pria lain. Kamu hanya milikku, Alisha!" seru Daffian. Alisha sudah tidak melawan lagi, percuma karena dia kalah tenaga. Tapi Daffian malah menghentikan aksinya, dan tentu saja membuat Alisha terheran-heran. Daffian menarik diri dari Alisha. Melihat betapa kacaunya sang istri dia tersenyum menyeringai. "Ini bentuk peringatanku, Alisha. Jika kamu berani menemui Marsel atau pria lain lagi, aku bisa melakukan hal yang lebih daripada ini!" Alisha langsung mengancingkan kembali kancing kemejanya dengan tangan gemetar. Air masih tidak mau berhenti mengalir dari matanya. Dia melihat Daffian naik ke lantai dua, meninggalkannya begitu saja tanpa permintaan maaf. Peringatan Daffian benar-benar membuat Alisha trauma. Dia tidak bisa membayangkan jika Daffian melakukan hal yang lebih daripada ini. "Aku harus segera keluar dari sini ...." Tadinya Alisha pikir dengan bersikap patuh maka Daffian akan lebih baik padanya, namun emosi pria itu yang menjadi masalahnya. Dia tidak bisa mentoleransi hal yang membuatnya marah dan tidak mau mendengar penjelasan apapun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN