9. Sandiwara

1004 Kata
Makan malam keluarga berlangsung seperti biasa, tanpa adanya keributan seperti bulan lalu. Nampaknya Daffian sudah mau menerima keputusan ayahnya, atau mungkin pura-pura menerimanya. Daffian sedang ke toilet, membuat Marsel merasa memiliki kesempatan untuk bicara dengan Alisha. Pria yang tingginya lebih pendek dari sang kakak itu menarik tangan Alisha agar mengikutinya. "Kita mau kemana, Marsel?!" pekik Alisha tertahan. Marsel membawa Alisha ke taman belakang. Ia mengecek sekitar memastikan tidak ada Daffian maupun kedua orang tuanya, karena percakapan ini tidak boleh ada yang mendengar selain mereka berdua. "Kenapa Mbak Alisha tidak menjawab pesanku? Aku benar-benar khawatir, takut Kak Daffian menyakitimu." Alisha sedikit kebingungan, karena dia tidak merasa menerima pesan Marsel. Namun kemudian dia teringat Daffian membacakan pesan itu dengan keras. "Ponselku rusak," bohong Alisha. "Tapi pagi itu Mbak Alisha sempat membacanya, dan aku menunggu balasan." Alisha sedikit kelimpungan mencari alasan lain. Dia hanya tidak mau Marsel terseret lebih jauh olehnya. "Sepertinya isi pesanmu juga tidak perlu aku balas, Sel. Aku baik-baik saja dan Mas Daffian tidak memarahiku. Apa itu sudah menjawab pertanyaanmu?" Marsel tidak langsung merespon. Dia membaca setiap gerakan dan mimik wajah lawan bicaranya. Jelas sekali Alisha terlihat menyimpan kekhawatiran. "Aku tahu semua yang Mbak Alisha dan Kak Daffian tunjukkan di depan kami hanyalah sebuah sandiwara." Alisha memalingkan wajahnya, tak lagi menatap Marsel. "Terserah apa katamu, Marsel. Ini rumah tanggaku, aku dan dan Daffian lebih tahu urusan kami. Sebaiknya kamu tidak usah ikut campur!" "Tapi-" "Apa kamu tidak dengar apa yang kakak iparmu katakan?!" Suara berat seorang pria memotong kalimat Marsel. Daffian muncul, entah sejak kapan dia berdiri di sana dan mendengar percakapan atau tidak. "Kenapa kamu tidak percaya sekali pada keharmonisan rumah tangga kami?" Daffian melingkarkan tangannya pada pinggang Alisha, membuat wanita yang memakai dress panjang selutut itu menegang meski mencoba bersikap biasa saja. "Aku tidak bermaksud ikut campur, hanya saja ...." Marsel menatap pada Alisha, raut wajah wanita itu seolah memberi isyarat agar Marsel tidak mendebat lagi. "Aku minta maaf kalau aku salah," lanjutnya kemudian. Daffian tersenyum menang. Tangan kirinya menepuk-nepuk pundak Marsel. "Jadilah adik yang baik, Sel. Jangan berpikir untuk merebut istri kakakmu sendiri." Marsel sudah siap membalas ucapan Daffian, tapi kakaknya itu sudah menarik Alisha untuk segera pergi. Tak pernah terbesit di benak Marsel untuk merebut Alisha seperti yang Daffian katakan, hanya saja ia merasa semua ini tidak beres dan Marsel merasa perlu memperbaikinya. "Kalian bertiga dari mana?" Bu Rosa melihat Daffian dan Alisha, disusul Marsel di belakangnya. "Kami hanya mengobrol di halaman belakang." Daffian kemudian menyalami sang ibunda dan pamit pulang. "Aku dan istriku pamit dulu ya, ibuku sayang. Bulan depan kita bertemu lagi." Bu Rosa terkekeh mendengar ucapan Daffian. "Sepertinya sekarang kamu jadi lebih cerita, Daf. Ibu senang melihatnya. Bulan depan bawakan ibu kabar baik, ya." "Ini semua berkat Alisha." Daffian memuji istrinya di depan Bu Rosa, sedangkan Alisha yang tahu pujian itu hanya sandiwara hanya dapat menunjukkan senyuman palsu. Marsel yang sepertinya sudah muak melihat sandiwara Alisha dan Daffian memilih untuk pergi ke kamarnya. Suami istri itu memperhatikan tindakan Marsel, jelas dari raut wajahnya kesal, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. *** Daffian langsung menyeret Alisha dengan kasar sesampainya di rumah, membuat istrinya itu memekik kesakitan. "Lepas, Mas! Tanganku sakit!" Sesampainya di kamar Daffian baru melepaskan cekalan tangannya dengan kasar. Bekas cekalan Daffian sampai tercetak merah di pergelangan tangan istrinya yang berkulit putih. Alisha memegangi pergelangan tangannya yang terasa nyeri. "Aduh," rintihnya, seraya meniup-niup bekas memerah itu. "Bisa-bisanya kamu berduaan dengan Marsel! Dia itu adik iparmu sendiri, Alisha! Apa kamu sudah tidak waras?!" Kilat amarah tercetak jelas di kedua bola mata Daffian. Entah sebenarnya apa yang membuat pria itu marah, karena Alisha dekat dengan Marsel atau karena takut Alisha mengadu pada Marsel. Jika Daffian marah karena Alisha dekat dengan Marsel, mungkinkah sang suami merasa cemburu? Jika dia merasa cemburu, itu berarti Daffian memiliki perasaan untuk Alisha. Tapi mengapa sikapnya selama ini justru begitu kasar pada sang istri? "Aku tidak berduaan dengan Marsel seperti apa yang kamu pikirkan, tiba-tiba saja Marsel menarikku ... aku tidak mengatakan apa-apa padanya. Aku kan sudah berjanji padamu, Mas!" Baru saja rasanya Alisha merasakan sedikit kedamaian, lagi-lagi emosi Daffian tersulut karena melihat dia bicara dengan Marsel. "Sebenarnya apa yang kamu takuti? Takut aku berselingkuh dengan adikmu atau takut aku mengadu padanya?" Daffian berdecih. "Apa maksudmu aku takut kamu berselingkuh dengan Marsel? Aku tidak peduli, Alisha! Aku tidak mencintaimu dan tidak peduli kamu dekat dengan pria manapun. Aku juga bisa bermain dengan wanita manapun sesuai keinginanku!" Pria itu berjalan mendekati Alisha, membuat wanita di hadapannya pun bergerak mundur untuk menjaga jarak. "Tentu saja aku takut kamu mengadukan hubungan rumah tangga kita yang harmonis ini adalah sandiwara. Atau mungkin kamu melebih-lebihkan cerita dan mengatakan bahwa aku menyiksamu selama ini." Giliran Alisha yang berdecih dalam hati. Jika Alisha menceritakan tentang Daffian yang menyiksanya itu bukan melebih-lebihkan, bukan juga sebuah karangan. Karena memang faktanya pria itu menyiksanya, baik fisik maupun batin. "Aku tidak akan menyeret Marsel. Aku janji, Mas. Jadi tolong, jangan lakukan apapun pada adikmu." Daffian tidak menjawab permohonan Alisha, namun pria itu tiba-tiba mendorong tubuh Alisha hingga terjatuh di atas tempat tidur. Dengan cepat dia naik dan mengukung istrinya. "Mas Daffian! Kamu mau apa?!" teriak Alisha, sambil berusaha meloloskan diri namun Daffian memegang kuat kedua tangannya. "Kamu mau Marsel aman, kan? Kalau begitu puaskan aku. Aku akan membiarkan Marsel sebagai gantinya." Suara dingin itu membuat Alisha membulatkan matanya. Meski Daffian suaminya, tapi tidak seharusnya dia memberikan hal berharga pada sang suami dengan cara seperti ini. "Kenapa? Kamu tidak mau?" terka Daffian, karena melihat raut wajah Alisha yang takut sekaligus panik. "Aku ... aku belum siap, Mas. Tolong lepaskan aku," pinta Alisha, berharap Daffian melepaskannya. "Lagi pula aku juga tidak yakin tubuhmu ini bisa memuaskan aku." Daffian beranjak turun dari ranjang, membuat Alisha merasa lega karena kali ini suaminya tidak memaksanya. "Karena kamu tidak mau melakukannya, jangan salahkan aku jika Marsel mendapatkan peringatan karena sudah berani dekat-dekat denganmu!" Setelah mengatakan itu, Daffian pergi begitu saja karena tidak mau mendengar Alisha membalas atau mendebat perkataannya. Sedangkan Alisha jadi kepikiran, bentuk peringatan macam apa yang akan Daffian berikan pada Marsel?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN