8. Peringatan

1011 Kata
Daffian tersenyum mengejek sambil membaca pesan yang Marsel kirimkan ke ponsel Alisha. Semalaman dia berada di klub malam dan pulang saat fajar. Saat ini waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Pria itu baru saja membersihkan diri dan membawakan sekotak makanan untuk Alisha. Tanpa mengetuk lebih dulu, Daffian membuka kunci dan membuka pintu begitu saja. "Mas! Ketuk dulu pintunya sebelum masuk!" protes Alisha, dia sedang memakai pakaian dan tiba-tiba suaminya masuk begitu saja. Ya meskipun mereka sah suami istri dan Daffian boleh saja melihat Alisha. Tapi tetap saja Alisha merasa tidak nyaman. "Kamu pikir aku akan tergoda dengan badan kurusmu itu?!" Ejekan Daffian sudah menjadi makanan Alisha sehari-hari. "Ini aku bawakan sarapanmu agar kamu tetap hidup. Aku ini suami yang baik kan?" Tatapnya menyeringai. Alisha sama sekali tidak berminat menanggapi omong kosong Daffian. Dia hanya menerima nasi kotak pemberian suaminya. "Terima kasih." Daffian duduk di sofa yang ada di kamar. Dia mengeluarkan ponsel milik Alisha yang tadi berada di dalam saku celananya. Dengan suara yang sengaja dikeraskan, Daffian membacakan pesan yang Marsel kirimkan tadi malam. "Apa Mbak Alisha baik-baik saja? Kak Daffian tidak memarahi Mbak Alisha lagi kan? Bagaimana kalau kita bertemu di luar rumah? Apa Mbak Alisha bisa keluar sebentar saja tanpa Kak Daffian?" Alisha yang sedang mengunyah makanannya pun terhenti. Dia menatap ke arah Daffian yang juga sedang menatap ke arahnya. "Bukankah adikku itu manis sekali? Sepertinya dia menaruh rasa pada kakak iparnya sendiri." Alisha susah payah menelan makanannya. "Tidak mungkin, Marsel memang pria yang baik." Daffian tertawa keras. "Lalu maksudmu aku ini pria jahat?" Alisha mengiyakan dengan cepat, namun dalam hati. Bagaimana bisa Daffian ingin disebut pria baik dengan segala perlakuannya terhadap Alisha selama ini? "Kenapa kamu diam saja, huh?" Daffian bersungut-sungut karena berharap Alisha menyebutnya pria baik, tapi sang istri malah tidak meresponnya. "Aku sedang makan, apa Mas Daffian tidak lihat? Tidak boleh berbicara ketika sedang makan." Entah keberanian dari mana Alisha berani berbicara seperti itu pada Daffian. Pria yang tengah duduk di sofa itu mengangkat satu alisnya karena ucapan Alisha. "Kamu sudah berani menjawabku rupanya." Daffian bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Alisha. "Kamu merasa mempunyai seseorang di sisimu sekarang? Marsel itu lemah, dia tidak bisa apa-apa asal kamu tahu!" Alisha mengangkat wajahnya dan memberanikan diri menatap Daffian. Kali ini mereka saling menatap cukup lama. Alisha menatap dengan pandangan penuh kebencian, sedangkan Daffian menatap wanita itu dengan tatapan menindas. "Silakan saja jika kamu mau membawa Marsel ke dalam urusan kita. Tapi jangan salahkan aku jika terjadi hal buruk pada Marsel akibat ulahmu ini. Karena kamu yang menarik Marsel masuk." Tentu saja peringatan Daffian sekaligus ancaman itu membuat nyali Alisha menciut. Dia sendiri saja belum bisa melindungi diri, apalagi harus melindungi Marsel. Bentar kata Daffian, tidak seharusnya Alisha membawa Marsel ke dalam masalah mereka. Alisha juga tidak mau terjadi hal buruk pada Marsel karena terlalu memperdulikannya. "Jadi apa yang Mas Daffian inginkan? Sudah satu minggu lebih aku terkurung di sini. Aku butuh kebebasan." Daffian menatap lekat-lekat wajah Alisha. Tatapannya penuh permohonan seolah mangsa yang berharap dibebaskan oleh pemburu. "Kamu yakin tidak mendengar apapun hari itu?" tanya Daffian, dengan nada dingin dan tegas. Alisha menggeleng pasti. "Sungguh, aku tidak tahu apa yang Mas Daffian bicarakan. Kakiku tersandung dan akhirnya teh yang aku bawa terjatuh." Meski tak yakin dengan jawaban Alisha, tapi satu minggu lebih Daffian telah mengurungnya dan memang Alisha tidak mengaku. Mungkinkah perempuan itu benar tidak mendengar percakapan Daffian? "Aku tahu Mas Daffian ragu, aku juga tidak memaksamu untuk percaya. Kalau memang mengurungku lebih baik silakan saja kurung aku selama mungkin." Kata-kata Alisha seolah berusaha meyakinkan dan menghapus keraguan yang Daffian miliki. "Aku akan membebaskanmu, tapi dengan syarat." Daffian menjeda kalimatnya. "Jangan katakan apapun pada Marsel dan juga kedua orang tuaku. Kita harus kembali menjadi sepasang suami istri yang bahagia di depan mereka seperti biasanya. Kamu paham?!" Alisha mengangguk. Akhirnya penantiannya untuk mendapatkan sedikit kebebasan pun tiba. Setelah ini dia harus segera memikirkan rencana agar lepas dari Daffian untuk selamanya, tanpa melibatkan Marsel ataupun orang lain. "Terima kasih sudah percaya padaku." Daffian tidak membalas ucapan terima kasih Alisha. Pria itu dengan cuek berjalan pergi keluar kamar. Saking senangnya, Alisha kembali mendapatkan nafsu makannya. Sarapan yang Daffian bawakan habis tak tersisa. Wanita cantik itu kembali memiliki harapan untuk bertahan hidup. Untunglah dia tidak jadi berpikiran pendek dan mengakhiri hidupnya malam itu. . Akhirnya tanggal yang Alisha tunggu-tunggu tiba, yaitu jadwal makan malam bersama. Setiap bulan di tanggal 10 orang tua Daffian menjadwalkan makan malam keluarga. "Alisha, kamu tidak mau memberikan sesuatu pada ibu?" tanya Bu Rosa tiba-tiba, membuat Alisha sedikit kebingungan dan menatap ke arah Daffian yang sama saja tidak mengerti. "Ibu," tegur Pak Bastian. Sangat paham ketidaksabaran istrinya. Padahal beliau sudah mengingatkan agar tidak terlalu berharap. "Maksud ibu memberikan apa?" Alisha bertanya balik, disertai senyum agar tidak membuat ibu mertuanya tersinggung. "Maksud ibu pasti cucu kan?" timbrung Daffian. "Tenang saja, aku dan Alisha sedang mengusahakannya. Iya kan, Sayang?" Tangan pria itu merangkul pundak Alisha. Alisha langsung melirik ke arah Marsel yang sejak tadi belum bersuara, namun buru-buru ia mengalihkan pandangannya. "Iya, Mas." Alisha langsung menyahut Daffian. "Ibu kira hari ini akan mendapatkannya kejutan dari kamu dan Alisha, Daf." Nada Bu Rosa terdengar kecewa. "Kata Marsel saat dia ke rumah kalian Alisha sedang tidak enak badan, ibu kira sedang ngidam." Daffian terkekeh mendengar penjelasan ibunya. "Marsel mengatakan seperti itu?" "Marsel hanya bilang Alisha sedang sakit, bukan sedang ngidam. Memang ibumu saja yang tidak sabaran." Pak Bastian memaparkan. "Ayah jangan seperti itu." Kali ini Marsel akhirnya bersuara. "Wajar saja ibu sangat menantikan kehadiran cucu, sama sepertiku yang menanti hadirnya keponakan untukku, tapi belum juga muncul." Memang putra kedua Bu Rosa itu lebih peka dan bisa menengahi suasana. Marsel membela ibunya yang pasti merasa kecewa lagi. Setiap bulannya Bu Rosa menantikan berita bahagia dari Daffian dan Alisha, namun hal itu tak kunjung ia dapatkan. "Maaf ya, Alisha. Ibu bukannya bermaksud menekan atau menuntutmu." Bu Rosa memeluk singkat menantunya. "Tidak apa-apa, bu. Aku juga paham perasaan ibu, maaf karena belum membawakan berita baik yang ibu tunggu." Alisha kemudian melanjutkan dalam hati. 'Mungkin memang berita baik hadirnya seorang cucu itu tidak akan pernah datang.'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN