“Kepo banget sih Pak.” Lastra terkekeh melihat Zio yang terus saja memaksanya untuk menceritakan siapa sebenarnya kedua orang yang berurusan dengan Lastra tadi.
“Duduk sini.” Menepuk tempat kosong pada kursi panjang di sebuah taman yang telah di duduki Zio terlebih dahulu. Setelah berputar-putar tanpa tujuan akhirnya Zio menepikan mobilnya di sebuah taman, ia enggan mengantarkan Lastra pulang sebelum mendengarkan kisah yang terjadi di balik keributan di pesta tadi. Cukuplah wajah Lastra yang berputar di pikirannya, ia tak mau menambah rasa penasaran menghantui dirinya.
“Sejak kapan ya, Bos Zio kepo sama kehidupan pribadi sekretarisnya.” sindir Lastra.
“Last!” Zio langsung memberinya tatapan dingin dan tajam kepadanya.
Lastra terkekeh pelan melihatnya, tiba-tiba matanya berubah sayu memalingkan wajahnya dari Zio dan menatap lurus melihat pada kendaraan yang berlalu lalang tak jauh dari tempat duduk mereka.
“Cewek di resepsi tadi … saudara tiri saya … Dera …” Lastra memejamkan matanya menghela nafas dengan berat, masa lalu yang ditinggalkanya datang tiba-tiba membuka luka yang sudah ditutupnya rapat-rapat.
“Terus …”
“Aduh saya bingung deh Pak, harus mulai dari mana, gak pinter ngerangkai kata sayanya.” cengir Lastra sambil mengusap tengkuknya pelan.
“Dari awal.” Jawab Zio enteng
“Ceritanya panjang, ntar bosan lho dengerinya”
Zio melihat arloji di pergelangan tangannya. “Cerita sekarang! masih banyak waktu.” Perintahnya sudah tidak sabar ingin mengetahui semuanya.
“Kok tiba-tiba kepo gini sih pak?”
Zio mengusap wajahnya kasar dengan kedua tanganya. “Astagaaa, Last!” Serunya yang sudah menahan kesabaran sedari tadi ,karena Lastra selalu mengalihkan inti pembicaraan.
“Iya iya… Tapi nanti kalau saya nangis gimana?” kekeh Lastra lagi lalu menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan pelan.
“Jadi singkatnya Bunda itu meninggal waktu saya umur 9 tahun terus setahun kemudian ayah nikah lagi sama ibunya Dera, Dera itu lebih tua 3 tahun dari saya.” Zio melipat tangannya di depan d**a menatap Lastra yang diam tidak melanjutkan ceritanya.
“Sudah ceritanya?!”
Lagi-lagi Lastra hanya terkekeh pelan sambil menunduk, ia hanya ingin menyembunyikan rasa sakit yang ada di balik sikapnya saat ini. Tapi dipaksa mengingat semua masa lalu secara tiba-tiba seperti ini membuat benteng yang sudah ia bangun selama hampir tujuh tahun kini hancur. Ia terisak pelan sambil menggenggam erat ujung rok batik yang ia kenakan, air mata yang sudah ia tahan sedari tadi, tak bisa lagi ia bendung.
“Last … Kamu nangis?” Mendengar Lastra yang terisak pelan Zio langsung mengubah posisi duduknya menghadap Lastra.
Lastra yang tersadar langsung menghapus air matanya dengan kedua tangannya lalu tersenyum memandang Zio. “Tuh kan jadi nangis, tanggung jawab hayo”
Zio lalu menggenggam kedua tangan Lastra. “Maaf … Aku gak bermak-“
“Dari kecil ... Saya diasuh sama pembantu di rumah, Ayah sama Bunda sibuk sama kerjaan mereka, pergi pagi pulang malam.” Potong Lastra. “Saya juga di taruh di sekolah yang ada asramanya sangking gak maunya mereka diribetin sama anak (menghela nafas), setahun setelah Bunda gak ada, Ayah datang ke asrama ngenalin istri barunya dan juga … Dera."
“Itu terakhir kalinya Ayah datang ke asrama, tiap bulan Ayah cuma transfer uang buat biaya pendidikan dan keperluan selama saya di asrama dan itu berlanjut sampai saya lulus dari sekolah menengah atas.” Jelas Lastra menahan perih yang teramat di hatinya.
“Tapi kenapa Dera benci banget sama kamu Last? Dan... cowok tadi?” Sebenarnya inilah inti dari semua yang ingin Zio ketahui. Ia penasaran dengan siapa Tama sebenarnya, Zio melihat ada sebuah rasa juga luka yang pernah terjalin sangat dalam di antara mereka. Tapi apakah itu?.
“Kak Tama, mantan pacar.” Lastra menghela nafas menyenderkan tubuhnya pada bangku taman, melihat langit yang saat ini bertabur begitu banyak bintang di dalamnya. “Kalau kata orang, Ayah adalah cinta pertama putrinya, itu gak berlaku buat saya, Kak Tama … dia adalah orang pertama yang nunjukin saya bagaimana rasanya merindu, membutuhkan, dibutuhkan, dicintai, segala rasa yang bisa membuat orang tersenyum bahkan hanya karena hal-hal receh … tapi dia jugalah yang … “ Senyum sinis berhasil menghiasi wajahnya seketika. “Dia ternyata tunangan Dera … jadi hampir dua tahun saya pacaran sama orang yang sudah bertunangan …”
“Kamu gak tau kalau dia tunagan Dera?” Tanya Zio semakin penasaran.
Lastra menggeleng
“Saya masih di asrama waktu pacaran sama Kak Tama … kelas sebelas, saya gak tau dan memang sudah lelah mencari tau gimana kehidupan ayah di luar sana sama istri dan anak barunya, yang penting sih uang yang dia kirim, lebih terus aja gak pake kurang.” Kekehnya pelan.
“Dan hari itu, hari kelulusan … gak cuma kak Tama yang datang tapi yang mengejutkan ternyata ayah juga datang sama istrinya juga Dera. Disitu baru deh ketauan, kalau kak Tama itu sudah ditunangin sama Dera.” Lastra menarik nafas dan menghembuskanya kasar
“Sampe situ sih sakitnya gak seberapa, tapi di tampar terus dihina dihadapan teman-teman sekolah dan gak ada satupun yang bela itu rasanya …” Tenggorokan Lastra tercekat, tidak bisa meneruskan apa yang ingin ia utarakan. Ia menunduk meremas tangan Zio yang sedari tadi tidak melepaskan genggamanya.
Lalu setetes air mata yang sudah tidak bisa dibendung jatuh di punggung tangan Zio disusul dengan tetesan berikutnya. Zio lalu menarik Lastra ke pelukannya dan membiarkannya mengeluarkan seluruh emosi yang tertahan di dalam dirinya.