Sudah 15 menit lebih, Lastra duduk pada kursi teras yang berada di depan rumah bosnya tersebut. Tapi Zio belum juga keluar menunjukkan batang hidungnya. Entah ke mana perginya bosnya itu pikirnya, dan meninggalkan dirinya seorang diri seperti orang bodoh yang tersesat
“Arrgghh…” Lastra menggeram frustasi.
Untunglah tak lama ada pelayan yang Lastra kenal tiba-tiba keluar dari garasi rumah.
“Bik Aniiiiik …” Teriak Lastra.
Bik Anik yang mendengar panggilan Lastra, seketika langsung berlari menghampirinya.
“Lho ada mbak Lastra, udah lama mbak?” tanya Bik Anik. "Kok gak ada yang beritahu saya sih, tau gitu kan saya bikinin minum dulu." Lanjutnya.
“Hampir setengah jam Bik! Gak usah dibuatin minum, saya minta tolong dipanggilkan Bos Zio aja, bisa?” Lastra menjawab dengan lelah bercampur kesal.
Bik Anik pun mengangguk dan bergegas ke dalam untuk memanggil anak majikannya itu.
Belum sempat Bik Anik menaiki tangga menuju ke kamar Zio, Nyonya Andreas memanggilnya.
“Bik, kalau ke atas tolong panggilkan Zio ya, bilang saya mau bicara” Pintanya
“Ini juga mau panggil Mas Zio, Bu, ada Mbak Lastra di depan, katanya sudah hampir setengah jam nunggu Mas Zio." Ucap Bik Anik yang juga tergesa.
Nyonya Andreas yang kaget langsung bergegas keluar menghampiri Lastra dan Bik Anik segera naik untuk memanggil Zio.
“Lho Last, ada urusan kantor habis ini bareng Zio? Mau pergi?” tanya Nyonya Andreas penasaran karena tidak biasanya Zio membawa pegawai ke rumah kecuali memang ada perhelatan acara, itupun yang diundang hanya jajaran yang berkepentingan di kantor.
Lastra memaksakan senyum di wajahnya. “Maaf Nyonya, saya juga gak tau, tadi pas pulang kantor saya dipanggil disuruh masuk mobil. Terus tadi sudah sampai sini, saya malah ditinggal gitu aja. Saya tungguin dari tadi, Bos Zionya gak keluar-keluar. Saya kan bingung jadinya” Keluhnya dengan tidak bersemangat.
“Maaf Bu, Mas Zionya lagi tidur, saya gak berani ganggu, saya permisi.” Bik Anik yang sudah melaporkan kondisi Zio di kamar lalu segera pamit untuk melanjutkan pekerjaanya.
“Anak ini maunya apa sih!” Gumam Nyonya Andreas mulai terlihat kesal. “Emm Last, kamu masuk dulu ya, tunggu, duduk di dalam, biar saya panggilkan Zio.”
Nyonya Andreas berlalu menuju kamar Zio dengan mulut yang tidak berhenti mengomel, ia heran dengan tingkah anaknya belakangan ini terhadap Lastra. Yaa, nyonya Andreas tau semua apa yang terjadi belakangan ini di kantor, Levi memang sengaja magang dan ditempatkan di dekat Zio agar Nyonya Andreas bisa lebih memantau anak satu-satunya itu. Ia bukannya tidak tau semua yang dilakukan Zio di kantor hanya saja ia selalu merasa kurang atas informasi yang didapatkan tentang Zio. Ia perlu orang lain yang netral tidak memihak Zio dan orang itu adalah Levi yang kebetulan mencari perusahaan untuk magang di akhir semester kuliahnya.
“Zio.., Zio bangun!!!” Nyonya Andreas berteriak dan mengguncang tubuh Zio dengan kasar.
“Apa sih mih? baru juga tidur, aku capek, ngantuk.” Jawab Zio tanpa menoleh dan masih dengan mata terpejam, lalu menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
“Hei, kamu kira Lastra gak capek nunggu kamu di bawah dari tadi!”
Zio berpikir sejenak mencerna apa yang dikatakan maminya tentang Lastra yang sedang menunggunya di bawah. Dan ya, Zio lupa benar-benar lupa kalau ia tadi membawa serta Lastra pulang ke rumah. Ia lupa karena karena terlalu kesal, entah kesal kenapa, ia juga tidak mengerti. Zio pun langsung terduduk dan berpikir sejenak melihat Maminya yang sudah menaruh kedua tangannya di pinggangnya.
“Ck!!” Zio pun mengambil ponsel yang ia letakkan di nakas samping tempat tidur, dicarinya sebuah nama lalu ia segera berbicara dengan seseorang dengan nada yang masih saja terlihat kesal.
“Pak, tolong Lastra diantar pulang ya, pastiin dia masuk pintu kamar apartemennya, baru pak Edi boleh balik!” Tanpa menunggu jawaban dari pak Edi, Zio langsung menutup teleponya secara sepihak dan menghempaskannya begitu saja di atas kasur yang ia tiduri. Lalu ia pun melanjutkan lagi mimpi indahnya dengan kembali berbaring dan memeluk guling disampingnya tanpa memperdulikan Maminya yang sedari tadi hanya menggelengkan kepala melihat tingkah anak satu-satunya itu.