Malam ini kediaman Andreas kedatangan seseorang yang diminta secara khusus oleh Nyonya Andreas untuk menginap karena sebentar lagi, orang tersebut sudah tidak bisa lagi untuk ia minta menginap di rumahnya secara bebas.
“Loh Lev, katanya dipingit, kok di sini?” Zio yang baru masuk ke ruang makan langsung menarik kursi dan mendudukan tubuhnya di samping Levi
“Mami kangen Zi, besok-besok kan sudah gak bisa nyuruh Levi nginap sini. Sudah jadi istri orang!” Nyonya Andreas berceloteh sambil mengambilkan nasi serta lauk untuk suaminya.
“Iya nih, maaf ya Bang, Levi lewatin.” Ia meledek sambil cekikikan
“Maksud lo?” Zio menendang kaki Levi di bawah meja makan hingga gedis itu berteriak mengaduh.
“Aww, sakit ih Bang!”
“Sudah-sudah, ayo makan dulu.” Tuan Andreas menghentikan sementara pertengkaran kedua sepupu tersebut.
Di tengah-tengah makan malam Levi tiba-tiba menyeletuk
“Bang, kamu, sama Mbak Lastra itu kenapa sih?”
“Memang kenapa Lastra sama Zio?” Tanya Nyonya Andreas penasaran.
Tapi Zio yang diberi pertanyaan malah asik melahap makanannya seolah tidak ada yang mengajaknya berbicara..
“Mbak Lastra kemarin nelpon, minta tolong tanyain ke Mas Hans, apa di perusahaannya butuh pegawai, sepertinya Mbak Lastra mau resign deh.” Sambil melirik malas ke Zio
Zio yang mendengarnya langsung menghentikan makanya dan berdiri meninggalkan meja makan dengan langkah tergesa, wajahnya terlihat kesal. Ia tak memperdulikan maminya yang berteriak memanggil dan bertanya kepadanya. Ia masuk kamar mengganti baju, bergegas mengambil kunci mobil dan pergi begitu saja melajukan mobilnya tanpa pamit. Kedua orang tuanya hanya menggeleng dengan tingkah anaknya itu.
Dan, di sinilah Zio berakhir menepikan mobilnya, setelah berkeliling tidak jelas seperti perasaanya saat ini. Ia berhenti di depan gedung apartemen Lastra. Entah apa yang ada dipikiranya saat ini, tapi ia begitu kesal saat mendengar Levi mengatakan bahwa Lastra sedang menanyakan perkerjaan di perusahaan Hans. Ia menyadari kalau belakangan ini sikapnya terhadap Lastra memang kurang baik, ia dengan sengaja menambah beban pekerjaan Lastra. Zio juga tidak mengerti akan sikapnya tersebut.
Lamunannya terhenti saat Zio melihat sesosok yang begitu ia kenal keluar dari apartemen dengan memakai piyama biru, rambut digulung ke atas dijepit seadanya, dan sandal jepit.
Lastra! Zio membatin.
Lastra berjalan dengan santainya dan melewati mobil yang di parkir oleh Zio begitu saja. Tanpa pikir panjang, Zio keluar dari mobilnya dan mengikuti Lastra dalam diam. Sampailah Zio di sebuah minimarket, lalu dengan cepat ia mengedarkan pandangannya mencari sosok Lastra yang tiba-tiba menghilang tenggelam di salah satu rak perlengkapan khusus wanita.
“Pantesan aja kemarin-kemarin mukanya jutek, ternyata lagi PMS!”
Yah, kini Zio sudah berada tepat dibelakang Lastra yang sedang memasukkan pembalut kedalam keranjang belanjaanya.
Lastra terdiam sejenak, tanpa mau menoleh sedikitpun. lalu menghela nafas. “Pak Zio … ngapain di sini?”
Kalau saja bukan Bosnya, mungkin Lastra sudah meninggalkan pria itu begitu saja. Malas sekali sebenarnya ia mendengarkan suara yang akhir-akhir ini seringkali membuat mood-nya jungkir balik.
“Terserah saya, minimarketnya kan bukan punya kamu?”
Tidak bisakah pria yang sedang berada di belakangnya saat ini berbicara tidak seenak perutnya, pikir Lastra memutar bola matanya dengan jengah.
Minuman dingin! Itulah yang ada benak Lastra saat ini. Ia lalu segera meninggalkan Zio menuju freezer, mengambil sebuah botol soda dan segera membayarnya di kasir, Lastra bergegas keluar mencari tempat duduk untuk mendinginkan kepalanya yang mendidih secara tiba-tiba.
Zio segera menyusul Lastra lalu menarik kursi yang tepat berada di samping wanita itu, untuk ia duduki.
“Kamu, lagi cari kerja di kantor Hans?” Zio bertanya telak tanpa basa basi
“Tau dari Levi?” Sambil menegak minumannya Lastra berusaha tenang mengontrol emosinya yang memang benar saat ini ia sedang datang bulan dan moodnya sedang tidak baik bila berkaitan dengan Zio. Lastra hanya menatap lurus ke depan tanpa mau menoleh Zio sedikitpun.
“Hans!”
Zio berbohong karena tidak ingin membuat citra adik sepupunya menjadi buruk di depan Lastra. Karenanya ia mengambing hitamkan Hans.
“Kenapa? Bukannya Pak Zio harusnya senang ya, jadi gak harus marah-marah gak jelas sama saya!” Ucap Lastra dingin.
Sebelum Zio membuka mulutnya, Lastra yang sedang mengalami mood swing masih melanjutkan ocehanya.
“Pak Zio itu kenapa sih, saya kok ngerasa bapak tuh sensi banget sama saya semenjak kejadian di klub malam waktu itu. Salah saya dimana coba?! Dikit-dikit pecat! dikit-dikit, besok gak usah masuk sekalia!. Kalau mau pecat ya pecat aja pak! Ato Bapak nunggu surat pengunduran diri gitu dari saya, jadi gak perlu ngasih-ngasih duit pesangon?” Lagi, Lastra meneguk minumannya sesaat lalu melanjutkan lagi protes yang di layangkan ke Bosnya. “Ato Pak Zio mikirnya, saya selama ini adalah w************n! picik banget lah kalau Bapak sampe mikir seperti itu.” Tangan meremas dengan kuat kaleng soda yang sudah kosong tak bersisa.
“Saya gak pernah punya pikiran kalau kamu itu w************n, Last!” Jawab Zio yang kini memutar tubuhnya menghadap Lastra.
“Terus kenapa belakangan ini pak Zio gitu sama saya, jangan-jangan baru putus gitu sama pacarnya, saya deh jadi sasaran?” Protes Lastra yang masih tidak mau melihat wajah Bosnya itu sama sekali.
Zio terdiam, karena ia sendiripun tidak mengerti kenapa belakangan ini bersikap menyebalkan ke pada Lastra. “Oke oke, saya janji gak akan gitu lagi sama kamu, ayo berdiri saya antar ke apartemen kamu, ini sudah malam, sebaiknya kamu istirahat.”
Lelah berdebat Lastra pun menurut saja untuk diantarkan oleh Zio ke atas. Sepanjang jalan ke apartemen tak terucap satu patah katapun diantara keduanya sampai Zio mengantarkannya tepat di depan pintu kamar yang di diami Lastra.