Erik hanya bisa menunduk sejak tadi, bahkan saat makan pun ia tak berani menatap wanita di depannya ini. Malu, ia sangat malu sampai rasanya tak punya muka sekarang.
"Kalau makan duduk yang benar, lihat makananmu tercecer kemana-mana." Ucapan Debora tersebut sontak membuat Erik tersentak, lelaki itu terkesiap lalu secepat kilat membersihkan makanannya yang tercecer menggunakan tangan kosong karena panik.
"Apa yang kamu lakukan!" Debora mendelik, langsung menarik tangan lelaki itu. "Kalian bersihkan itu!" titah Debora pada pelayannya.
Erik meringis kaku saat sadar sudah membuat kesalahan kembali, ia memang norak dan katrok, karena dulu ia terbiasa menjadi tukang bersih-bersih di rumahnya tanpa sadar ia jadi melakukan hal seperti ini.
"Sepertinya kamu harus saya ajari tentang gaya hidup disini," Erik melirik takut-takut saat mendengarnya.
"Ma—"
"Maaf?" potong Debora membuat Erik makin gelagapan, "saya juga tidak suka dengan kebiasaan meminta maaf kamu ini, kamu lelaki seharusnya lebih menunjukkan harga diri kamu. Kamu mau diremehkan karena sedikit-sedikit meminta maaf?" penjelasan panjang lebar Debora itu bukan tanpa sebab, permasalahannya sekarang lelaki ini akan masuk ke dunianya, dunia yang kejam.
Erik makin menunduk dalam, layaknya bocah yang sedang dimarahi Ibunya ia tidak bisa membantah. Tapi Erik jadi takut kalau Tante Debora akan muak kepadanya, bagaimana jika ia dibuang? Ia benar-benar menyedihkan.
"Saya bingung." Erik bergumam pelan, "dulu saya hanya lelaki miskin yang berasal dari kampung, tiba-tiba menjadi lelaki kota dan tinggal di tempat semewah ini. S-saya ... saya benar-benar bingung harus bagaimana dalam bersikap." Ia mengeluarkan unek-uneknya, jujur ia memang cukup kaget dengan perubahan hidupnya yang drastis seperti ini, ia butuh waktu untuk beradaptasi.
Debora terdiam, ah ini salahnya karena tidak memberi waktu pada lelaki ini untuk menyesuaikan diri. Wanita berahang tegas itu menghela napas pelan, sebelum perlahan menggenggam tangan Erik tentu saja membuat Erik terkejut.
"Saya tidak tahu kalau kamu mengalami kesulitan, ini salah saya."
Erik langsung menggeleng cepat, "ini bukan salah Tante kok, ini salah saya karena tidak bisa beradaptasi."
"Ayo ikut saya!" tiba-tiba tangannya ditarik oleh wanita di depannya itu, membuat Erik membulatkan kedua matanya lebar.
Tangan Tante Debora ternyata sangat kecil, bahkan untuk menggenggam pergelangan tangannya saja tidak bisa seutuhnya.
'Lucu banget.'
Menyadari pikiran bodohnya Erik langsung menggelengkan kepalanya, ia tidak boleh terlena, ia harus sadar diri.
Karena ... ia tidak setara dengan wanita ini.
***
Kamar Tante Debora.
Glek.
'K-kenapa aku dibawa kesini?'
"Duduklah!" titah Debora, dengan cekatan Erik langsung duduk di sofa yang ada di tengah kamar.
Debora berjalan menuju rak buku yang tak jauh dari sana, lalu kembali sambil meneteng satu album lumayan besar.
"Ini foto saya dan keluarga saya," Debora mulai membuka satu demi satu halaman, di depannya Erik memilih diam menjadi pendengar. "Saya sejak kecil sudah terlahir kaya jadi saya kurang tau kehidupan susah itu seperti apa, tapi jadi orang kaya juga tidak sepenuhnya enak," Erik masih diam sambil mencerna satu demi satu ucapan wanita cantik di depannya ini. "Semua hal di hidup saya sudah diatur oleh kedua orang tua saya, sekolah, pekerjaan, bahkan hubungan asmara. Sebenarnya alasan saya menikahi kamu karena orang tua saya mendesak saya untuk memiliki keturunan."
Erik menelan ludah, keturunan? Kalau begitu ia dan Tante Debora harus—
"Tapi kamu tidak perlu khawatir, seperti kata saya dulu saya tidak akan memaksa kamu untuk melakukan hal yang tidak kamu sukai, kamu cukup jadi suami saya saja masalah keturunan itu akan menjadi urusan saya." Debora sudah memikirkannya, ia tidak akan memaksa lelaki ini menjadi seperti pemuas nafsu, jika erik tidak mau ia bisa mencari bayi di panti asuhan dan tinggal memanipulasi kehamilan pura-puranya sebaik mungkin agar orang tuanya percaya. Setidaknya orang tuanya pasti akan percaya karena ia juga sudah menikah.
"Tante tidak mau punya anak dari saya?" Erik bertanya pelan, mendengar penuturan Debora itu seperti maksud tersirat untuk tidak mau memiliki keturunan dari dirinya. Tapi Erik juga sadar diri, mana mungkin wanita sesempurna ini mau dengan dirinya.
"Saya mau, tapi kamu yang pastinya keberatan, seperti yang pernah saya bilang saya tidak akan memaksa kamu jadi kamu tidak perlu memikirkan hal ini, kamu cukup fokus saja untuk jadi suami saya."
"S-saya tidak keberatan kok!"
Debora memandangnya lekat membuat Erik jadi terkesiap diam, apakah ia seperti agresif? Erik menunduk kikuk.
"Kamu baru putus dengan kekasih kamu beberapa hari lalu, saya yakin sekarang kamu masih tidak baik-baik saja."
Erik tersentak, ah ... Dewi maksudnya, Erik bahkan muak jika membahas tentang wanita yang telah mengkhianatinya itu.
"Sudah malam kamu tidur—"
"Tante sendiri bagaimana?" Erik memotong, mendongak dengan kerlipan serius, "apakah sebelumnya Tante tidak pernah berhubungan dengan lelaki?" Erik tak peduli dianggap lancang sekarang.
Debora menghela napas panjang, "saya juga sama seperti kamu, saya diselingkuhi kekasih saya."
Erik membulatkan kedua matanya, bahkan sekelas Tante Debora yang sempurna begini saja masih diselingkuhi? Lelaki itu pasti sangat tidak tau diri.
"Tante baik-baik saja?"
"Yah anggap saja begitu, saya tidak mau terus sakit hati hanya demi lelaki b******n begitu." Jawab Debora tenang tapi Erik tentu tahu betul kalau wanita di depannya ini sedang merasakan sakit, seperti dirinya.
"Seandainya kita benar menikah, apakah keluarga Tante tidak keberatan? Saya kan sekarang hidup terlunta-lunta begini?" Erik mulai berpikir rasional, dari sinetron yang pernah ia tonton biasanya orang kaya pasti akan menentang pernikahan yang beda kasta.
"Keluarga saya sangat simpel, mereka hanya memerlukan keturunan dari saya, dan soal suami sepertinya justru kamu yang memenuhi kriteria." Erik makin bingung mendengarnya, "keluarga saya sudah kaya jadi tidak butuh menantu yang kaya, mereka hanya butuh menantu yang penurut dan tidak akan mengkhianati saya dengan merebut harta saya. Itu sudah cukup."
Erik berkedip tenang, mulai paham alasan kenapa dirinya yang dipilih oleh wanita ini. Ia memang penurut dan tidak mungkin mengambil harta mereka, pendidikan Erik saja sangat rendah.
"Apakah pernikahan ini ada tempo waktunya?"
"Kenapa kamu tanya seperti itu?" Debora langsung menyahut tak santai.
"Saya cuma bersiap-siap jika suatu saat saya dibuang maka saya bisa mencari uang dulu untuk bertahan hidup," Erik membasahi bibirnya, "lagian tidak mungkin seumur hidup saya akan menempel seperti benalu bagi Tante." Gumamnya.
"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan hal tidak berguna seperti itu, pernikahan ini tidak ada tempo tapi jika suatu saat ada hal yang mengharuskan kita bercerai kamu juga tidak perlu khawatir. Saya akan memberikan harta yang cukup untuk kamu hidup sampai 7 turunan."
Erik lagi-lagi dibuat tercengang, memang ya pemikiran orang kaya sangat di luar nalar.
"Apa masih ada hal lain yang ingin kamu tanyakan?"
Erik menggeleng, Debora tersenyum. "Malam ini kamu tidur saja disini."
Erik reflek menoleh, "saya tidur di kamar saya saja." Balas Erik langsung.
Debora mendecak, "jangan membantah, tidurlah disini."
Erik jadi tidak punya keberanian lagi untuk membantah, "cepat tidur sudah malam, besok saya akan ajak kamu ke suatu tempat." Titah Debora mulai membuka laptopnya.
"Tante nggak tidur?"
"Saya masih ada sedikit pekerjaan, nanti saya menyusul."
"Saya temani kalau begitu."
Debora melenguh, ternyata ada kalanya lelaki ini bisa keras kepala, tingkahnya benar-benar seperti anak kecil.
"Yasudah terserah kamu." Balas Debora sekenanya dan mulai fokus dengan pekerjaannya.
Dan begitulah Debora sibuk bekerja dengan Erik yang menunggu di sebelahnya.
***
"Menunggu apanya," Debora mendengus melihat Erik yang ketiduran di sebelahnya, ini kedua kalinya Erik tertidur saat ia sedang bekerja. "Apakah memang membosankan ya?" heran Debora, padahal menurutnya hal paling menyenangkan itu adalah bekerja.
Debora merapikan laptop dan berkasnya, lalu menunduk menatap wajah lelap Erik dari dekat. Memang benar kan, lelaki ini adalah bocah. "Menggemaskan." Guman Debora terkekeh pelan sembari membenarkan posisi tidur Erik, untung sofanya bisa di buat jadi kasur jadi ia tidak perlu membangunkan Erik dan menyuruh lelaki ini pindah.
"Harusnya kamu nurut apa yang saya bilang, kan lebih enak tidur di ranjang," gumam Debora sambil menyelimuti lelaki itu.
Cup.
Kecupan lembut mendarat di kening Erik. "Semoga mimpimu indah." Lalu Debora beranjak ke kamar mandi karena sebelum tidur ia harus gosok gigi dahulu.
Begitu sepeninggalnya Debora kedua mata Erik terbuka penuh, ia tadi memang sudah terbangun ketika Debora menyelimutinya.
Dan tiba-tiba seluruh wajah lelaki itu berubah merah padam.
Erik membekap mulutnya dengan jantung seperti akan meledak, tadi ... Tante Debora menciumnya!