Hari ini Debora membawa Erik pergi entah kemana, sebenarnya Erik juga penasaran tapi karena Debora tidak mau mengatakan tujuan mereka jadi ia tidak bertanya lagi. Dirinya lebih baik diam dan penurut saja.
"Kamu sudah atur jadwal seperti perintah saya kemarin, kan?"
Erik diam-diam menguping saat Debora berbicara kepada pengawalnya, rasanya dimanapun Debora berada pasti akan selalu ada pengawal.
'Apa orang kaya memang begini ya?' batinnya bertanya-tanya.
"Sudah Nyonya."
Debora mengangguk, lalu menoleh ke arah Erik. Erik yang merasa sedang ditatap langsung menegakkan punggungnya sempurna. "Ada apa ya, Tan?" tanyanya kikuk.
"Hari ini saya akan bawa kamu ke rumah keluarga saya."
APA?!
Erik hampir jantungan mendengarnya, "k-kok dadakan banget?" terlihat ia sangat kaget, lagian ia belum membuat persiapan apapun masa tiba-tiba disuruh ketemu keluarga Debora, bagaimana jika ia membuat kesalahan fatal nanti.
"Kamu tidak perlu merisaukan apapun, kamu cukup datang dan duduk manis." Jelas Debora melihat wajah panik Erik.
Pemuda itu tetap tidak bisa tenang, plis lah ini masalahnya ia akan bertemu dengan calon mertua yang kaya raya, "bagaimana jika saya membuat kesalahan?"
"Saya jamin tidak."
"T-trus bagaimana jika orang tua Tante tanya tentang latar belakang keluarga saya atau tentang hubungan kita, saya belum mempersiapkan jawaban apapun."
Debora menghela napas lelah melihat kekalutan Erik, "kamu tidak perlu khawatir, orang tua saya tidak akan repot-repot bertanya karena mereka pasti akan menyuruh detektif keluarga untuk menyelidiki kamu, jadi disana kamu cukup diam saja itu sudah cukup."
Erik makin terkejut, "berarti orang tua Tante akan tau tentang identitas saya? Dan tentang hubungan kita ini?" bukanya tenang pemuda itu makin panik.
"Hm, harusnya sih begitu."
"Tante kok santai sekali?"
Debora melirik Erik dengan bola mata coklatnya, "kamu pikir saya orang yang bergerak tanpa perhitungan matang? Jika saya sudah berniat mengajak kamu menikah dan membawa kamu ke keluarga saya itu artinya saya yakin kalau itu tidak akan menjadi masalah." Tidak diragukan lagi sebagai pebisnis ternama Debora tentu memiliki pemikiran yang tersusun rapi dan cermat.
Erik menunduk, meskipun terlihat mulai tenang tapi hati lelaki itu tidak bisa bohong, dulu pas ia pacaran dengan Dewi di kampung saja keluarga Dewi sering mencibirnya sarkas karena ia miskin. Apalagi sekarang ia akan menikah dengan Debora, wanita yang seperti datang dari dunia yang berbeda dengan dirinya.
Ckit!
"Sudah sampai Nyonya."
Jantung Erik makin berdegup kencang, bahkan saking tremornya keringat sebesar butir jagung sudah menetes di pelipisnya.
Srak.
Erik tersentak, bola matanya membesar saat sebuah sapu tangan menyapu permukaan kulitnya. Debora terlihat tenang mengelap keringat di wajah Erik, tanpa tau kalau wajah Erik sudah merah madam saking malunya.
"Kamu percaya kan sama saya?"
Erik menelan ludah, mengangguk pelan. Debora mengangguk puas, kemudian menatap lurus wajah Erik.
"Kalau begitu kali ini percayakan semuanya pada saya." Bisiknya membuat bulu kuduk Erik meremang.
***
Kusuma dan Regina, pasutri berusia lanjut yang kulitnya terlihat masih sangat terawat. Memiliki dokter pribadi khusus untuk menjaga kesehatan dan chef yang memasakkan makanan sehat tentu saja membuat mereka yang sudah menginjak usia kepala 6 masih segar bugar. Rahasianya hanya satu, mereka orang kaya yang memiliki banyak uang.
"Aku datang."
Kusuma dan Regina spontan menoleh saat mendengar suara Putri mereka yang hampir satu tahun ini tidak ia dengar, terlalu sibuk bekerja membuat ikatan keluarga mereka tidak seperti orang pada umumnya.
Erik yang berjalan di belakang Debora cuma bisa menunduk menatap ubin lantai, ia sedang menyiapkan mental jika nanti terjadi kemungkinan terburuk seperti diusir atau di siram air. Sepertinya ia kebanyakan menonton sinetron.
"Siapa lelaki di belakangmu?" tatapan mata Regina langsung jatuh pada Erik, tidak ada acara peluk haru meskipun sudah lama tidak berjumpa, itu hal yang tidak penting di keluarga mereka.
"Namanya Erik, lelaki yang akan menjadi suamiku."
Erik spontan melotot horor mendengar penuturan Debora yang tanpa basa-basi, astaga Erik makin ketar-ketir sekarang.
Kusuma yang tadi terlihat acuh langsung menatap serius anaknya, "hm, kenapa tidak sejak dulu, harusnya jika sudah menikah beberapa tahun lalu sekarang kamu sudah punya anak."
Erik makin terperangah bahkan hampir melongo, interaksi keluarga macam apa mereka ini? Bahkan sepertinya orang tua Debora tidak peduli siapa lelaki yang akan Debora nikahi, mereka hanya menginginkan cucu.
Debora tersenyum getir, "sekarang aku sudah menuruti permintaan kalian, jadi jangan ganggu aku lagi."
"Yang Ayah mau itu cuma cucu, jadi jangan senang dulu sebelum kamu kasih cucu ke Ayah."
Debora mendecih pelan, "tidak perlu khawatir, sebentar lagi aku akan kasih cucu buat kalian."
"Calon suami kamu itu gak bisu kan, daritadi diam terus?" julid Regina yang sedang mengamati Erik.
Erik terkesiap, langsung buru-buru membungkuk sopan. "M-maaf saya telat menyapa, perkenalkan nama saya Erik."
Regina menatap Erik beberapa saat sebelum akhirnya mengalihkan tatapannya pada Debora, "Mamah akan siapkan resepsi pernikahan kalian."
"Tidak perlu—"
"Kalau tidak mewah teman-teman Mamah akan mengejek Mamah nanti." Penjelasan Regina tersebut sudah cukup untuk membuat Debora paham, Mamahnya ini memang punya geng semacam Ibu-ibu sosialita jadi tidak heran begitu.
"Terserah kalau begitu." Balas Debora datar.
"Kalian atur saja baiknya, yang jelas pernikahan harus dilaksanakan secepat mungkin supaya Ayah segera dapat cucu." Kusuma masih saja mengulang-ulang kalimat yang sama.
Debora jadi berpikir sebenarnya ia ini anak atau mesin penghasil cucu. "Cuma itu alasan kedatanganku, aku pamit pulang." Tanpa menunggu balasan orang tuanya Debora langsung melenggang pergi begitu saja.
Erik awalnya juga hendak mengikuti Debora tapi entah dapat keberanian dari mana pemuda itu justru mendekati orang tua Debora dan mengulurkan tangannya untuk salaman, jujur ini salah satu adat sopan santun yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.
Melihat kedua orang tua Debora yang hanya diam menatapnya membuat ia meringis kaku, bodoh sekali mana mungkin mereka—
Tap.
Erik mengerjap tak percaya, uluran tangannya disambut!
"S-saya p-pamit." Suaranya sudah tidak dapat diajak kompromi saking tremornya, selanjutnya Erik buru-buru pergi mengejar Debora yang sudah berada di luar.
Gila-gila-gila!
Adrenalinnya benar-benar terpacu di rumah itu!
***
"Kamu lapar tidak?"
Erik yang sejak tadi melamun tersentak, "ah, tidak."
"Oke kita makan dulu kalau begitu, pergi ke restaurant langganan." Titah Debora pada bawahannya tentu saja membuat Erik membeo, trus apa gunanya tadi bertanya kepada dirinya?
Tak butuh waktu lama sampai mereka tiba di tempat tujuan, Erik mengerjap-ngerjap melihat bangunan megah di depannya. Untuk kesekian kalinya wajah terbengong-bengong Erik muncul.
"Ayo turun!"
"I-iya!" Erik buru-buru melepas sabuk pengamannya dan keluar mobil, seperti biasa lelaki itu berjalan membuntut di belakang Debora sejajar dengan bodyguard, ia tentu sadar posisinya.
"Selamat datang, reservasi atas nama siapa?" baru di pintu masuk seorang pegawai sudah menyambut mereka.
"Belum reservasi."
"Ah maaf kalau begitu Kakak tidak bisa masuk, mohon buat reservasi dahulu ya." Balas pegawai itu masih sopan dan ramah.
Debora merogoh dompetnya, dan sebuah kartu seukuran ATM berwarna gold terlihat. "Member VIP." Ujarnya singkat.
Pegawai tadi terkesiap kaget, langsung buru-buru menuntun Debora ke kursi kosong, kali ini bukan hanya sopan lagi tapi pegawai itu sampai segan.
"Lihat apa? Duduk!" Debora menatap Erik datar.
Erik buru-buru duduk di kursi dengan sangat hati-hati, kursinya sangat empuk dan nyaman, jelas sih lhawong ini restauran mewah.
"Kamu mau makan apa?"
Erik menatap menu di depannya, hanya bia mengernyitkan dahi dalam saat membaca nama-nama makanan yang menurutnya aneh dan tidak ia pahami itu.
'Ini semua makanan apa?' cengonya membatin.
"Kamu sukanya apa?" tanya Debora peka melihat kebingungan Erik.
"A-apa aja Tan, emm ... disamain kayak makanan Tante aja gak papa." Balas Erik tidak mau ambil pusing.
Debora mengangguk langsung berbicara pada pelayan disana, Erik sekarang benar-benar seperti kura-kura yang baru keluar dari tempurung. Ternyata kehidupannya selama ini masih seuprit dari semua yang ada di dunia, bahkan mungkin sewaktu di desa ia tidak pernah memimpikan akan bisa berada di tempat semewah ini. Betapa besarnya nikmat Tuhan yang diberikan kepadanya.
Tatapan mata Erik tiba-tiba tertuju ke arah Debora yang sedang menunduk menyelesaikan pekerjaan di iPad, wanita cantik itu dimanapun dan kapanpun memang tidak pernah lepas dari pekerjaan. Tapi ngomong-ngomong Erik jadi teringat kejadian di rumah Debora tadi, padahal ia kira keluarga yang kaya raya akan hidup harmonis tapi asumsinya itu sudah dipatahkan oleh penglihatannya tadi.
Ternyata mau kaya ataupun miskin belum menjamin keharmonisan dalam keluarga, ia sangat iri pada keluarga di luar sana yang bisa rukun dan harmonis.
"Kenapa lihat saya terus, ada yang mau kamu omongin?"
Erik mengerjap kaget, "ah, tidak." Erik buru-buru mengalihkan pandangannya, malu sekali kepergok begitu.
Debora memicing, tak lama menaruh iPadnya di atas meja. "Kamu pasti bertanya-tanya kan kenapa keluarga saya sepeti tadi." Erik spontan menoleh saat mendengar penuturan Debora, wanita itu tetap cuek seperti biasa seolah yang akan ia katakan bukan hal berarti. "Keluarga saya cuma mengharapkan cucu dari saya, jadi seperti yang pernah saya bilang kamu gak perlu memikirkan hal yang rumit karena mereka juga tidak peduli saya akan menikah dengan siapa."
"Saya boleh tanya sesuatu?"
"Hm."
Erik terlihat ragu tapi tetap memberanikan diri, "kalau saya boleh tau apa alasan mereka sangat menginginkan cucu?"
Debora diam beberapa saat. "Karena mereka ingin penerus laki-laki." Erik mengerjap, Debora menarik napas dalam. "Mereka ingin anak laki-laki tapi ternyata mereka dapatnya saya, dan apesnya rahim Mamah saya harus diangkat tak lama setelah melahirkan saya karena suatu hal. Jadi mereka sangat ingin memiliki cucu laki-laki."
"Bagaimana jika nanti yang lahir cucu perempuan?"
Debora mengerjap, meskipun samar tapi wanita itu cukup kaget dengan pertanyaan Erik. "Bukankah kita sudah pernah bahas masalah ini kemarin, saya akan mencari bayi di panti asuhan jadi—"
"Apakah Tante beneran keberatan kalau memiliki anak dari lelaki miskin seperti saya?" lirihnya.
"Saya melakukan ini demi kebaikan kamu, saya gak mau kamu melakukan hal 'itu' hanya demi balas budi atau apalah, karena melakukan hal 'itu' tanpa perasaan tidak semudah bayangan kamu."
"Tante sendiri bagaimana? Apakah keberatan juga melakukannya tanpa perasaan?"
"Saya tidak terlalu peduli akan hal itu, toh itu hanya menyatukan dua bagian tubuh manusia, teorinya simpel."
Wanita itu sungguh anti mainstream, bagaimana bisa membicarakan hal setabu itu dengan santainya. Apakah Debora sudah terbiasa melakukan hal seperti itu dengan laki-laki lain?
Erik langsung menyerapahi pemikirannya sendiri, itu bukan kewenangannya untuk ikut campur.
"Saya ... bisa mencobanya."
Debora reflek mengangkat sebelah alisnya, bertopang dagu lurus menatap wajah pemuda lugu di depannya. Pemuda ini benar-benar sangat polos.
"Oke."
Erik spontan mendongak, membuat matanya langsung bertatapan lurus dengan Debora.
"Kalau begitu saya tunggu kamu di malam pertama nanti." Dan senyuman penuh arti Debora berhasil menghantam seluruh wajah Erik sampai berubah merah padam.
'M-malam pertama?!'